Di dalam kompleksitas ceritanya, ada kisah tentang pembentukan identitas diri yang salah satu poros peristiwanya adalah menikmati papeda. Sekurangnya ada dua momen yang menandainya.Â
Pada fase pertama ini, menikmati papeda sama dengan membawa subyektifitas pada masa kecil dalam keluarga Papua Kristiani, di Serui. Pada seorang Mama yang selalu menyambut saya dengan sukacita ketika datang ke dapurnya dan mengatakan ingin makan. Bersama anak-anaknya, kami segera duduk melingkar dengan piring yang bersiaga. Sesudah kuah ikan dan papeda bersatu, kami akan makan dengan kegembiraan yang sederhana.Â
Pada mereka, saya diajari bagaimana berbagi kenikmatan bersama-sama. Di dalamnya, ada nilai sama rasa dan kebersamaan (egalitarianisme dan kolektivisme) yang memang kental dalam masyarakat suku di Papua, entah yang di dataran tinggi pun yang di pesisir.Â
Di lain waktu, di masa yang mulai bergerak ke kota, di fase kedua, papeda dan ikan kuah mengawetkan kenangan pada perkumpulan remaja laki-laki SMA di Jayapura. Kumpulan 7 orang lintas suku yang berusaha bisa berakhir pekan bersama dengan memasak dan nonton LCD. Salah satu menu andalannya adalah papeda dan ikan bakar.
Jika sebelumnya, saya mengalami "ekstase papeda" sebagai kreasi Mama, maka kali ini dihadapi sebagai buah dari inisiasi kolaboratif.Â
Persisnya adalah belajar taat pada pembagian tugas di dalam perkumpulan tujuh itu. Ada yang kebagian menyiapkan sagu dan menjarang air. Ada yang kebagian menyiapkan ikan untuk dikuah. Ada yang menyiapkan tempurung dan ikan yang akan dibakar. Ada yang menjadi kepala koki dari semua persiapan ini.Â
Pada kumpulan 7 siswa SMA ini, saya diajari merawat masa remaja dengan memahami pencapaian tujuan dengan ketaatan pada pembagian tugas. Di dalamnya, ada kerelaan memberikan sumbangsih dan kesediaan untuk mendengar yang lain. Atau tentang kepemimpinan dan kerja organisasi.
Selebihnya, ada cerita papeda yang saya temui di sebuah rumah makan kampung di Ternate, Maluku Utara. Yang masih bertahan di antara kota yang berubah ke dalam imajinasi "Water Front City" dengan masifikasi pusat jasa dan perdagangan modern, termasuk gerai makanan cepat saji.Â
Perjumpaan dengan ekstase papeda di sini adalah cerminan dari rumitnya hubungan produksi kuliner dengan kota yang mulai memasukkan diri ke dalam moda konsumsi baru. Melihatnya membutuhkan lensa penglihatan yang bening.
Sociology of Food, Sekedar Penglihatan
Sejarah kuliner memang tidak pernah sesederhana makan-makan. Termasuk juga, tentang segala yang berasal dari masa lampau.