Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Bersua Inggris, Saya di Garis Kroasia

10 Juli 2018   14:52 Diperbarui: 12 Juli 2018   12:28 732
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Modrid dan Kane, dua kunci di laga Kroasia vs Inggris | Forbes

We don’t fear England. He [Kane] is top scorer – he’s not easy to stop. But we have top centre-backs. We managed to stop Messi and [Christian] Eriksen so hopefully we can stop Kane

Zlatko Dalic (metro.co.uk)

Sekilas "The Three Lions": Sarat Bintang Tanpa Apa-apa

Kurang bertabur bintang apa Inggris di piala Eropa tahun 1996? Saat mereka menjadi tuan rumah? 

Ada Alan Shearer, Steve Mcmanaman, Robbie Fowler, Gary Neville, Jamie Redknapp dan Gareth Southgate yang rata-rata belum masuk kepala tiga. Di skuad yang sama, juga dihuni nama-nama top seperti Paul Gascoigne, Paul Ince, David Platt, hingga Teddy Sheringham sebagai barisan senior. Sebuah kombinasi antara pengalaman dan gairah muda. Terlebih, hanya Ince dan Gascoigne yang bermain di liga non-EPL. 

Tapi apa yang mereka capai di ajang yang berlangsung sejak tanggal 8-30 Juni itu? Mari kita kilas balik sebentar.

The Three Lions segrup dengan Skotlandia, Swiss dan Belanda. Saat partai pembuka melawan Swiss, hanya bisa seri 1:1, lantas membantai Skotlandia, 0:2. Mereka kemudian membantai Belanda, 4:1. Shearer adalah bintangnya. Ia menciptakan 4 gol di fase ini.

Pada babak quarter-finals, Inggris harus beradu penalti dengan Spanyol sesudah bermain seri, 0:0. Kemudian di semi-finals, Jerman mengkandaskan mimpi juara mereka juga lewat penalti. Penalti yang merawat trauma berpuluh tahun dalam diri Southgate, satu-satunya penendang yang gagal. Untung saja ada Alan Shearer, yang memang sedang ganas-ganasnya saat itu, yang menjadi top scorer dengan 5 gol alias peraih Golden Boot.

Di ajang inilah, slogan "Football Comes Home" dimunculkan. Termasuk lagu, "The Three Lions". 

Selanjutnya, pada piala dunia 1998 di Perancis. 

Pada event kali ini, seluruh penghuni skuad adalah mereka yang hanya bermain di liga domestik. Beberapa nama memasuki "usia matang" seorang pesepakbola. Sebut saja, di antaranya: Sol Campbell (23), Southgate (27), Beckham (23), Shearer (27), Steve Mcmanaman (27) dan Paul Scholes (23). Di dalamnya, ada dua anak muda yang kelak menjadi bintang terang: Rio Ferdinand (19) dan Michael Owen (18). 

Lantas, apa yang mereka capai?

Inggris asuhan Glen Hoddle ini adalah runner-up di grup G, di bawah Rumania. Inggris hanya bisa mengalahkan Tunisia dan Kolombia. Di babak 16 besarlah, kita diberi pertunjukan drama kartu merah Beckham oleh aksi "Drama Queen" ala Simeone dan munculnya sang binta muda, Michael Owen. Tapi Three Lions kalah adu penalti sesudah bermain imbang, 2:2. 

Di ajang yang dijuarai Perancis dengan melibas Brasil 3:0 ini, Inggris "hanya mendapat" penghargaan FIFA Fair Play Trophy. Yang juga menyedihkan adalah di daftar All-Star Team, yang dipilih oleh grup teknis FIFA, tak ada satu pun pemain Inggris yang masuk dari 16 nama yang dinilai bermain impresif.

Selanjutnya, pada Pildun 2010 Afrika Selatan, Inggris dibesut oleh salah satu jenius taktik yang pernah dilahirkan Italia. Fabio Capello.

Pada pildun yang dimenangi Spanyol, Inggris yang tergabung di grup C ini lolos ke putaran selanjutnya sebagai runner up di bawah USA. Lebih suram lagi, anak asuhan Capello hanya bisa menang 1:0 melawan Slovenia. Dua partai lainnya berakhir seri. 

Apa karena Afrika terlalu panas ya? 

Yang paling celaka adalah di babak 16 besar, Lampard, dkk ini langsung tiwas dihajar Jerman. Gak banyak sih, hanya 1:4. 

Inggris bukan tanpa perlawanan. Mereka sempat mengejar ketinggalan menjadi 2:1. Frank Lampard membuat gol yang dianggap tidak sah padahal dari tayangan video terlihat sudah melewati garis gawang. Siaal banget. 

Silakan simak videonya di bawah: 


Mengapa hanya skuad pada tahun 1996, 1998 serta 2010 yang di-flash back historisnya? 

Sebab, tim pada tiga episode ini, hemat saya adalah daftar skuad top yang pernah dilahirkan Inggris. Banyak dari mereka yang kemudian menjadi super star lapangan hijau. Salah satunya bahkan terus menjadi ikon sampai sekarang. Siapa lagi kalau bukan Beckham? 

Walau deretan nestapa kegagalan ini telah bertahan berpuluh tahun, dengan daftar super star yang silih berganti sia-sia, Inggris tetap harus diwaspadai. Mereka telah banyak berubah. Kata Davor Suker (dailymail), 

'They are hungrier for it. They have a better team than before. England have 11 warriors and have what is needed to win it. That is why they can be confident."

Tambah lagi, ini semifinal mereka sesudah 28 tahun, kawans.

Memilih di Garis Kroasia

Saya memang lebih suka membicarakan Kroasia. Lebih berpihak kepada mereka. Walau statistik head-to-head keduanya lebih dominan dimenangkan oleh Inggris. Perancis juga "inferior" di depan Argentina dalam statistik head-to-head selama delapan dasawarsa sebelum kejadian kemarin. 

Pasalnya, Kroasia kali ini adalah tim yang menyakitkan bagi dua pendukung. 

Pertama, pemuja Jerman di pildun 1998 dan kedua adalah pemuja Argentina di pildun 2018. Yang pertama dan kedua dibikin sama-sama mati gaya dengan skor besar. Lebih-lebih tim yang terakhir, yang dihuni sesosok "alien". Sisanya, ini laga semifinal.

Sebab itu, saya kira Kroasia yang sudah sukses menghentikan "sumber kreativitas" Argentina juga Denmark di babak sebelum semifinal ini akan menemukan solusi yang sama dalam meredam Harry Kane, si kandidat paling depan dalam berebut Adidas Golden Boot.

Memang, sependek hasil googling, tidak terlalu banyak kabar bisa diperoleh tentang kesiapan terakhir anak asuh Dalic ini. 

Sebagai awam(-setengah-sok-tahu), saya kira Modric, dkk akan bermain dengan pressing yang tinggi menghadapi skema 3-5-2 ala Southgate. Di dalamnya, akan terlihat ruang yang rapat. Khususnya dalam mengunci aliran bola kepada Kane--yang bisa bikin gol dengan gaya apa pun--juga kepada Sterling yang bermodalkan dribbling dan speed. 

Kroasia sudah cukup menyadari ini. 

Lovren yang terbiasa bertemu mereka di Premier League, rasanya akan berperan penting di sini. Namun jangan lupakan, Kroasia juga memiliki pemain-pemain yang terbiasa dengan defense system ala Gli Azzurri seperti Mandzukic, Perisic atau Pjaca yang bermain di Serie A. 

Karena itu, dengan poros Brozovic-Modric-Rakitic di tengah, Kroasia rasanya akan sangat rapat bermain di lini tengah sebagaimana saat mematikan Messi dan Ericksen. Inggris yang memiliki kreator seperti Delle Ali dan Lingaard dan sprinter seperti Rashford atau Sterling, akan disempitkan daya jelajahnya. 

Sisanya, rasa-rasanya, Modric, dkk akan mewaspadai taktik Inggris dalam memaksimalkan umpan crossing dan set-pieces dari bola mati yang menjadi senjata mereka. 

Dari sisi sebelah, Kroasia memiliki Perisic yang sangat cepat dalam melakukan counter-attack. Ini berkolerasi dengan kualitas Mandzukic yang tiba-tiba bisa menjadi penentu di saat tim sedang dalam kesulitan. Mandzukic sudah membuktikan kapasitas ini berkali-kali kala bermain untuk Juventus. Mandzukic pernah membuat Kane dan Hotspurs tersingkir dari liga Champions. 

Kurang lebih seperti ini gambaran teknisnya.  

Satu faktor yang tak boleh dipandang sebelah mata adalah alasan non-teknis. 

Untuk negeri yang presiden federasi sepak bolanya adalah pemilik masa lalu gemilang, Davor Suker, sekurangnya ada dua alasan.

Pertama,  Zlatko Dalic bersama pasukannya memiliki tingkat kepercayaan diri yang jauh lebih baik dari Inggris. Sebabnya bisa dilihat dari jawab atas pertanyaan, emang lawan berat apa yang dilawan Three Lions sejauh ini? Tidak ada. 

Kroasia sudah mengusir Argentina dan membuat Denmark tidak cukup banyak bicara. Terakhir, tim tuan rumah disuruh menjadi penonton yang baik dan penyelenggara yang sukses.

Kedua, ada motivasi kuat melampaui apa yang pernah dicapai senior mereka, 20 tahun lalu di Perancis. Saat itu, Kroasia meraih juara ketiga dengan mengalahkan Belanda. 

Saya kira, Modric, dkk akan berjuang habis-habisan mencapai final. Inilah saat generasi emas kedua melampaui bayang-bayang angkatan 98.

Jadi kita lihat saja nanti.

Saya sih memang dari zaman Cantona masih di Man Utd, tidak pernah yakin Inggris bakal juara di ajang besar sesudah tahun 1966 itu.

Kenapa boleh? Mungkinkah sudah takdir mereka?

Entahlah, lagian, buat apa dipikirin..Oh iya, Kalian, iyaaa kalian yang uwuwu, jangan pernah nonton piala dunia tanpa Kacang Garuda, yoo.

*** 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun