Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

"Deadpool 2", Emansipasi Cinta Berujung Hambar

27 Mei 2018   12:44 Diperbarui: 27 Mei 2018   23:57 2656
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengapa bisa, kehendak emansipasi dari cinta malah berakhir hambar?

Sesudah fase kelahiran diri yang digerakan oleh pembuktian cinta kepada kekasihnya (Deadpool 1), lelaki penuh cinta berwajah ubur-ubur kini melakoni peran pembunuh bayaran (Contract Killer).

Bersama kehidupan dalam rumah yang berbahagia dengan kekasih semlohai, ia menghabisi mereka yang bertahta di balik kuasa hitam sebuah kota, entah mafia Russia atau Yakuza, Jepang. Maksudnya, tubuh sakti mandraguna hasil malpraktik ini hidup dalam pemenuhan gairah akan darah dan ranjang yang rutin. Mulai menjalani hidup yang normal, tanpa visi muluk-muluk menyelamatkan dunia.

Lalu apa artinya jagoan yang mulai berada dalam zona nyaman? Apalagi sampai mengidealkan memiliki keluarga batih yang harmonis: menjadi bapak-bu yang bolak-balik ngantar anak-anak ke sekolahan, menemani bikin PR, atau, mengajak makan es krim dan camping saban akhir pekan? Tidak boleh, haram.

Ingatlah jika kebanyakan superhero memiliki kehidupan ganda, karena itu bukan saja terlarang bernyaman-nyaman dengan stabilitas perasaan. Mereka pun harus selalu berada dalam ketegangan dan sikap siaga satu di depan kejahatan dan krisis sosial. Selalu berada dalam situasi dimana pertimbangan pribadi harus tunduk pada keselamatan orang banyak.

Persis dalam konstruk psiko-ideologis yang seperti inilah, Deadpool yang sejatinya "anti-superhero" dibuat mengada dalam seri kedua. Sesuatu yang sejujurnya, fatal!

Deadpool 2 dimulai dengan matinya sang kekasih. Serbuan peluru nyasar mafia di apartemen mereka yang sesak seolah mengingatkan jika kekerasan terhadap kejahatan akan melahirkan lingkaran setan. Celakanya, kematian ini terjadi di hari ketika mereka merencanakan keluarga bahagia.

Deadpool kembali bergumul dengan kehampaan. Kehilangan alasan untuk mengada. Seolah saja takdir si John Wick sedang berulang pada dirinya. Bedanya John Wick tidak ingin bunuh diri walau hidup baginya sudah tak banyak bermakna. Sementara lelaki eks-satuan elit tempur ini malah kebingungan bagaimana caranya mati.

Ia sudah bertindak teroristik kepada tubuhnya sendiri. Dengan meledakkan diri dan terhempas ke dalam potongan-potongan daging. Tapi apa daya, tubuhnya tak bisa mati. Eksperimen medis membuat kanker dalam tubuhnya bermutasi layaknya ilmu Rawarontek.

Bagaimana kesaktian Rawarontek bisa diakhiri? Deadpool rasanya harus berguru kepada Thanos, tentu sesudah pemilik jurus Batu Akik Bersatu ini balik dari semedinya di alam persawahan seusai "Infinity War". Kalau pun enggak, mungkin Wiro Sableng bisa membantu.

Poin kita adalah kehidupan yang tanpa cinta hanyalah pergumulan kutukan bagi Deadpool. Seolah saja, kata-kata Rendra adalah satu-satunya yang mewakili: kau tak pernah tahu kesepianku, menjalani kemerdekaan tanpa cinta...duh.

Sementara itu, di belahan ruang dan waktu yang berjarak entah berapa ribu tahun ke depan, seorang ayah berusaha menghalau tragedy karena kematian anak dan istri. Anak istri yang terpanggang habis oleh sejenis mutan yang mungkin memiliki asal-usul dari Negara Api.

Bapak itu Cable, namanya. Menggunakan jam--agak canggih sedikit namun tidak lebih sakti dari kombinasi "the power of akik" milik Thanos--ia bepergian lintas waktu dan ruang. Cable datang ke dunia Deadpool dimana si mutan Pengendali Api itu masih berusia bocah.

Tiba-tiba saja, Deadpool yang merindukan kematian agar lekas bersatu dengan kekasihnya harus menghadapi misi penyelamatan keluarga dari masa depan. Seperti sedang memainkan lakon Terminator dalam dosis yang rendah. Motivasi penyelamatan yang makin dikuatkan oleh sikap acuh kekasihnya serta tembok gaib yang menghalangi.

Jika aku mengatakan cinta padamu, maka dalam dirimu aku mencintai berjuta-juta manusia. 

Kata-kata ini rasanya datang dari Erich From, pemikir Sekolah Frankfurt yang dikenal mengembangkan warisan gagasan Marx dan Freud. Kata-kata yang muncul dalam karyanya yang berjudul, The Sane Society. Kalau tidak salah mengenang.

Deadpool belum meletakkan hatinya dengan benar, kata kekasihnya. Ini masalahnya. Sama mengatakan jika pembuktian cinta Deadpool yang berdarah-darah terhadap Vanessa tidaklah cukup. Cinta sedemikian hanya akan berjuang mengamankan agendanya sendiri. Jenis cinta yang "egoistik".

Jelas bukan nilai dasar superhero. Kasta pahlawan super tidak dilahirkan dari hubungan heteroseksual begini. Bukan jenis "cinta yang kritis". Cinta yang meletakkan hakikat kemanusiaan sebagai energinya. Karena itu, Deadpool harus mengadopsi spirit cinta seperti yang dimaksud Fromm di atas.

Ia harus bisa menyelamatkan hidup si anak pengendali api sembari menyadarkan Cable bahwa menghabisi potensi masalah di masa lalu bukan solusi untuk masa depan yang damai dan penuh welas asih. Kita harus selalu percaya bahwa semua anak-anak pada dasarnya dirusak oleh lingkungan. Mereka tidak lahir sebagai calon-calon penjahat. Kita, orang-orang dewasalah yang membuat mereka menjadi jahaat.   

Persoalannya atau yang kemudian menjadi menjengkelkan adalah emansipasi cinta yang seperti ini membuat pewaris ilmu rawarontek ini kehilangan beberapa bagian dari karakternya yang kocak, liar, konyol, antiaturan dan suka-suka mood-nya.

Singkat cerita, kehilangan karakternya yang "anarkis": mengolok-olok bahkan menentang segala macam otoritas moral di luar dirinya, otoritas yang menentukan bagaimana dia berpikir, merasa dan bertindak.

Otoritas moral selalu menyiratkan hubungan-hubungan kuasa yang dipelihara dalam sistem nilai tertentu tanpa selalu disadari--termasuk pada ideology cinta yang membebaskan manusia tanpa memikirkan kebahagiaan sendiri--hingga terterima sebagai sewajarnya.

Di sinilah, usaha melahirkan Deadpool sebagai pejuang cinta humanis-universal justru bertentangan dengan sosoknya yang "anti-universalisme" itu. Ingatlah sekali lagi kawan, Deadpool di kemunculan perdana tidak dilahirkan demi menyelamatkan dunia. Lelaki berwajah ubur-ubur bersenjata pistol dan pedang plus bermulut jamban ini tidak punya visi mesias dalam hidupnya.

Selanjutnya, soal X-Force. Mereka inilah yang sedikit memberi keselamatan pada narasi Deadpool yang terkolonisasi kisah Terminator-nya Om Arnold.

X-Force adalah kombinasi dari niat baik dan usaha menjadi berguna dari segerombolan manusia. Kebanyakan dari mereka berakhir dengan tragedi yang konyol: pendaratan yang mematikan karena gagal mendarat. Selain itu, mereka bertindak tanpa desain operasi yang terukur. Sebagai yang sama dilahirkan Marvel, mereka adalah kasta alas kaki dari standar Avengers.

Sayang sekali, mereka yang biasa-biasa saja ini, tidak cukup digarap menjadi kehadiran yang membanggakan. Maksud saya, mereka hanya perlu diperlihatkan sebagai orang-orang biasa di tengah penyelamatan masa depan dari kekacauan masa kini karena negara api menyerang.

Bagaimana narasi seperti ini dimunculkan?

Rhett Reese, Paul Wernick (sebagai penulis naskah), David Leitch (sutradara, yang juga membesut John Wick), atau Ryan Reynolds  (produser sekaligus yang jadi Deadpool) hanya kurang melakukan studi banding kepada film Bodyguards and Assassins (2009).

Berlatar tahun 1905, film ini berkisah pengorbanan orang-orang kecil dalam mengamakan konsolidasi politik Sun Yat Sen. Konsolidasi yang menandai hancurnya sisa-sisa tatanan feudal Tiongkok di tengah jeratan kolonialisme Inggris.

Orang-orang kecil yang mengamankan konsolidasi yang sukses ini berakhir mengenaskan. Sebagai pahlawan yang sunyi.

Mereka tidak melibatkan diri karena memahami maksud konsolidasi itu atau membayangkan demokrasi dan tatanan republik akan memberi ruang bagi pemanusiaan manusia serta menghentikan perbudakan ala sistem dinasti. Mereka tidak berdiri dalam optimisme akan masa depan yang cerah yang mulai merayapi cakrawala.  

Tidak ada panggilan ideologis yang membara selain karena ingin menjadi berguna di sisa hidupnya.

Sayang sekali, X-Force di bawah komando Deadpool terlanjur berada dalam bayang-bayang kehendak penyelamatan dunia oleh Deadpool. Deadpool yang karena kematian kekasih semlohainya, berusaha mengemansipasi cintanya kepada sejenis humanisme-universal: bahwa mencintaimu adalah mencintai berjuta-juta manusia.

 Emansipasi yang gagal membuat laki-laki berwajah ubur-ubur bersenjata pedang ini terlahir baru. Deadpool 2 berakhir hambar. Mati gaya!!

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun