Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

"Red Sparrow", Siasat Perempuan dan Kontra-Etatisme

27 April 2018   12:48 Diperbarui: 28 April 2018   10:49 3324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun 2017 kemarin, ada dua film bertema fiksi spionase yang menjadikan perempuan sebagai subyek utama dengan latar ketegangan Perang Dingin. Film pertama, dibintangi oleh Charlize Theron, berjudul Atomic Blonde. Diadaptasi dari novel berjudul Coldest City, karangan Anthony Jhonston (2012) sedang kedua, dibintangi Jennifer Lawrence, berjudul dan juga diadaptasi dari novel berjudul sama yang dikarang Jason Matthews (2013). 

Atomic Blonde dimulai dari ditembak matinya agen lapangan MI6 bernama James Gascoigne oleh agen KGB. Agen MI6 ini membawa microfilm yang berisi daftar nama agen yang beroperasi di Berlin. Situasinya saat itu menjelang runtuhnya tembok Berlin, 1989, yang menandai kolapsnya imperium Soviet. Lorraine Brougthon, adalah agen perempuan yang ditugaskan oleh petinggi MI6 dan CIA untuk mengambil microfilm tersebut. Termasuk menyelamatkan seorang double agent yang bekerja untuk KGB dan MI6/CIA bernama "Spyglass" yang memberi microfilm ke agen lapangan MI6 itu.  

Sementara  Red Sparrow dimulai dari hidup seorang balerina yang sedang naik daun. Hidupnya dilewati bersama ibu yang sakit-sakitan walau memiliki paman yang juga seorang petinggi di Service of the Russian Federation (SVR RF). Pada malam pertunjukan yang naas bagi si balerina bernama Dominika Egorova, saat yang sama, agen lapangan CIA sedang menemui seorang sumber dari dalam SVR (alias double agent). 

Dari pamannya, Dominika mengetahui jika patah kaki yang menghancurkan karirnya adalah peristiwa yang dirancang oleh pesaingnya di dalam tim. Dominka pergi menghajar dua orang tersebut. Balerina yang anggun dan cantik ini seketika berubah menjadi sadis. Dia tidak pernah tahu jika balas dendamnya adalah skenario lain yang sedang disiapkan pamannya. Dominika sedang dipersiapkan menjadi satuan elit intelijen bernama Red Sparrow.

Dua cerita ini, dengan fokus pada agen perempuan yang cantik adalah tentang kemenangan skenario di balik skenario. Tentang perempuan cerdik yang memenangkan agenda sendiri di balik otoritas intelijen yang didominasi rezim laki-laki. Perbedaannya, Atomic Blonde melukiskan Lorraine sebagai mesin pembunuh yang makin sangar dihajar kekerasan. Sebaliknya, Red Sparrow memilih cara bertutur yang lebih "lembut". Tak banyak adu kelahi dan tembak-tembakan. Jadi, seperti apa karakter Dominika? 

Saya akan mencoba mengungkap pesan yang bermain di balik ketegangan antara agen perempuan dan struktur politik etatis, ketegangan yang membuat film berbiaya 69 juta dolar Amerika ini terasa lebih membutuhkan "penglihatan ke dalam jeroan di balik tubuh cerita". 

Mari kita mulai, kawans..

Menjumpai Dominika: Pelajari Background, Motivasi Dasar dan Kehendak Etatisme!

Sebelum masuk ke dalam kaderisasi satuan intelijen, penonton akan diberi latar singkat tentang hidup Dominika sebagai balerina muda yang berjuang untuk mengatasi kemiskinan harian dan ibu yang sakit-sakitan. Di dalam rumah, Dominika adalah pusat dari daya hidup keluarga. Di atas panggung, dirinya adalah pusat dari pertunjukan. Karena itu, ketika ia mengalami patah kaki yang direncanakan, sosoknya berubah menjadi sadis dan memiliki dendam terhadap kemiskinan. 

Potret peran, latar sosial, dan situasi psikis seperti ini adalah kekuatan yang dinilai merupakan aset intelijen perempuan dalam sudut pandang pamannya, Ivan Vladimirovich Egorov atau dalam kepentingan spionase SVR sebagai unit yang bekerja untuk kebutuhan eksternal Rusia. Syaratnya, elemen-elemen emosional dalam diri Dominika haruslah dilenyapkan, setidaknya dalam kontrol, sebelum melahirkannya sebagai mesin spionase yang berbahaya. 

Sekurangnya ada dua nilai yang harus dijadikan basis moral dalam kaitan ini. Jenis moralisme yang merujuk pada Etatisme.

Pertama, bahwa dalam hubungan dengan negara, semua yang ada pada diri agen spionase hanyalah instrumen. Imperatif "tubuhmu adalah milik negara" adalah nilai utama yang harus hidup dalam laku keseharian. Imperatif ini diperkuat dengan metode manipulasi psikis yang wajib dikuasai oleh setiap agen. 

Adegan paling jelas dalam menunjukan imperatif di atas adalah ketika Dominika secara tiba-tiba menyediakan dirinya untuk disetubuhi seorang siswa di depan ruang kelas. Siswa yang sebelumya dibikin babak belur ketika hendak memperkosanya di kamar mandi. Tantangan bersetubuh di depan kelas itu batal karena kemampuan Dominika mendominasi suasana dengan kata-kata yang merusak birahi. 

Eks-balerina yang culun ini berhasil mengatasi hambatan-hambatan psikis yang lazimnya dibebani oleh acuan moral individual--misalnya, berikan kenikmatan tubuhmu hanya dengan yang kau cintai--lantas sukses menjadi tuan atas tubuh sendiri.  Lebih canggih lagi, ia berhasil mengolok-olok mitos purba bahwa perempuan hanya diciptakan sebagai obyek seksual laki-laki; semacam laku "penis envy".

Kedua, kesetiaan tertinggi hanyalah tunduk pada "national-interest". Ini adalah klaim yang jamak ada dalam setiap satuan intelijen dimana pun berada. Bahkan atas nama yang satu ini, negara tak segan-segan menghabisi warga negara sendiri yang mengajukan gugatan atau perlawanan terhadap kebijakan yang diproduksi. 

Satuan SVR memiliki kepentingan untuk melacak siapa agen ganda yang berhubungan dengan Nate Nash, agen CIA yang hampir tertangkap di Taman Gorky di malam ketika Dominika mengalami patah kaki di atas panggung. Karena itu, petinggi SVR menyiapkan pengawasan berlapis terhadap misi yang diembankan kepada eks-balerina untuk mendekati Nate, meraih kepercayaan dan memperoleh identitas Mole, si sumber yang mengancam kepentingan nasional Rusia. Tentu saja, pengawasan ini disertai rencana eksekusi jika dinilai telah membelot.

Karena itu, lewat kaderisasi Red Sparrow, Dominika dididik meletakkan negara sebagai pusat dari sikap patriotik. Sebagai otoritas yang memutuskan takdir hidupnya. Sebagai satu-satunya cinta yang dilayani sepanjang hidupnya. Dominika pun harus hidup dengan identitas ganda: sebagai penerjemah di kedutaan dalam kehidupan publiknya (non-spy identity) dan sebagai teknologi pengawasan terhadap musuh kepentingan nasional dalam kerja bawah tanahnya (spy identity). 

Masalahnya, Dominika tidak datang kepada pamannya dengan motivasi sebagai alat-alat dalam perseteruan Perang Dingin di era Rusia Modern (maksudnya Putin vs Trump?). Wajah cantik, belum menikah dan pemilik tubuh molek yang anggun ini hanya ingin memastikan sang ibu menjalani hidup yang layak. Menginginkan jaminan ekonomi dan kesehatan yang rutin. Keinginan yang memang tidak pernah mudah sejak dalam niatan.

Motivasi kasih anak terhadap ibu yang seperti ini kini berhadapan dengan ketegangan baru. 

Jika sebelumnya hanya berpusar pada persaingan di dalam kelompok balet, kini mulai berkembang pada hubungan yang makin rumit, politis dan berbahaya. Ditambah lagi, sang paman tidak pernah tampil sebagai pengganti ayahnya. Sang paman hanyalah state apparatus yang dingin dan serba terukur, representasi negara sebagai bapak yang jarang tersenyum dan telarang ditentang. 

Perlawanan Dominika: Apa yang Berbahaya dari yang Tampak Lemah?

Selanjutnya, bagaimanakah Dominika melawan kehendak etatisme dan instrumentalisasi tubuh perempuan? Yang paling menonjol adalah penerapan metode manipulasi psikis yang bertindak di luar prosedur dan berani mengambil resiko di margin paling ekstrim.

Pertama, dalam usahanya mendekati Nate Nash, Dominika tidak menggunakan nama samaran. Ketika telah masuk ke dalam dunia agen lapangan CIA yang tergila-gila dengan perempuan berambut pirang, dia juga menceritakan apa adanya dirinya--informasi yang sudah diketahui oleh Nate dan bos-bosnya--termasuk "motivasi cinta ibu" yang memaksanya hidup dalam bahaya. Bahwa tubuhnya kemudian dikorbankan, peristiwa ini hanyalah keniscayaan. Poinnya, Dominika tidak melakukan banyak" rekayasa sosial" agar masuk ke dalam rasa percaya Nash (yang juga laki-laki, yang juga dingin, yang konon selalu rasional, yang konon selalu terkontrol..preet).

Kedua, manakala Dominika mulai memainkan peran agen ganda dengan menawarkan kesepakatan baru kepada CIA. Yakni dengan membocorkan sumber dari dalam pemerintahan Amerika yang menjalin kerjasama dengan seorang agen Rusia dengan syarat dia dan ibunya boleh migrasi ke Amerika. Maka dia merancang "jebakan" dalam pertukaran informasi dengan si sumber yang seorang sekretaris senator AS.

Jebakan ini tidak mulus. Pertukaran informasi memang terjadi namun si sumber mati tertabrak saat sedang dibawa pulang oleh Dominika. Bersiap disiksa karena dicurigai bermain berperan ganda. Dia berhasil lolos sesudah memainkan manipulasi psikis paling tinggi di depan siksaan--mengingatkan kita pada cerita Evelyn Salt. Tubuh molek dan wajah cantik direlakan menanggung siksaan yang dekat dengan kematian. Semacam penebusan demi meraih kepercayaan yang lebih tinggi.

Di sinilah, kita boleh melihat sebuah pesan tentang perlawanan perempuan yang rapi dan mematikan. Perlawanan yang secara telak mengangkangi kehendak etatisme dalam politik spionase. Persisnya seperti apa?

Di balik wajah manis dan tubuh molek, Dominika Egorova adalah tipe agen yang tidak bertindak seperti Lorraine Brougthon (bayangkanlah sosok Charlize Theron) atau Evelyn  Salt (maka bayangkanlah tante Angelina Jolie). Mereka jago berkelahi, lihai menembak, berdarah-darah seolah Jason Bourne dalam kelamin perempuan. 

Sedangkan karakter Dominika di tangan J-Law dihadirkan dengan mengeksplotasi sisinya yang identik dengan "sang feminin" (dalam pandangan patriarkisme, tentu saja). Yakni kehadiran dari jiwa yang sentimentil, rapuh, butuh bahu bersandar, dan hanya akan bikin kacau urusan. Singkat kata, film Red Sparrow seperti ingin ngasih tau klean jika atribut-atribut jender boleh menjadi senjata yang mematikan karena statusnya yang dipandang sudah dari sononya. 

Apa kerusakan yang dihasilkan dengan model perlawanan perempuan seperti Dominika, yang tanpa banyak kelahi dan tembak-tembakan?

Dia berhasil mencapai posisi Mole sebagai agen ganda, yang mengatur urusan tingkat tinggi diantara dua badan intelijen negara adikuasa. Dia berhasil mengelabui otoritas laki-laki di puncak pengambilan keputusan strategis. Dia berhasil menyelamatkan hidup ibunya, menuntaskan dendamnya terhadap kemiskinan. Sebagai penyempurnanya, dia berhasil mengambil hidup pamannya: lelaki yang hanya melihatnya sebagai aset dan perkakas dalam Perang Dingin baru.

Apakah diantara Anda, ada yang merasa akrab dengan model perlawanan yang seperti ini? 

*** 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun