Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Tentang "Dilan 1990" dan Sebuah Bayang-bayang

21 April 2018   12:34 Diperbarui: 22 April 2018   06:07 3250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sutradara fim Dilan, Fajar Bustomi (kanan) bersama pemeran film Dilan saat berfoto dengan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil di Pendapa Kota Bandung, Rabu (17/1/2018) sore. (KOMPAS.com/DENDI RAMDHANI)

Sejak tayang Januari kemarin, Dilan 1990 telah menembus  6.315.096 penonton. Pencapaian seperti ini membuat saya ikut bingung, kok bisa ya? 

Pasalnya, di tengah persaingan film bertema religi, biopic, dan hantu-hantuan (ghost from the past), bagaimana boleh yang bertema cinta-cintaan remaja SMA bisa kembali menyedot atensi orang banyak? Khususnya sesudah kesuksesan Ada Apa Dengan Cinta seri pertama yang mengorbitkan Dian Sastro dan Nicholas Saputra?

Lebih membingungkan lagi, sesudah narasi Dilan-Milea tayang, saya membaca seliweran status yang mengutip kata-kata Dilan, seperti "Ini berat, kamu gak akan kuat. Biar saya saja" atau "Saya ramal, kita akan bertemu di...bla.bla.." Ini film apa, kok sampai bisa melahirkan kelatahan massal?

Saya berusaha tidak akan mengulang kritik Windu Yusuf dalam tulisannya yang berjudul Dilan 1990 adalah Film Horor. Dalam tulisan tersebut, salah satunya yang dikritiknya adalah narasi Dilan tak pernah pergi jauh dari Ali Topan Anak Jalanan (1977). Yakni tentang anak motor, bernyali besar dan jago gelut serta selalu bisa memenangkan pertarungan hati gebetan.  

Maksudnya, Dilan-Milea tidak menawarkan pengalaman sinematik yang berbeda dalam narasi cinta-cintaan gaya putih abu-abu dari masa sebelumnya. 

Tentang ini, kita boleh membahasakan dengan kalimat berbeda. 

Misalnya begini: pada Dilan, sikapnya yang bengal adalah potret dari anti-sistem. Bahkan berani mengadakan perlawanan terbuka. Apalagi terhadap Suripto yang salah memahami otoritas konseling terhadap murid dan kepala sekolah yang lembek. Saat yang sama, Dilan juga adalah siswa yang mewakili kelasnya dalam seleksi Cerdas Cermat. 

Bagaimana dengan Milea? Sikapnya yang lembut, manis serta anak rumahan dari lingkungan keluarga yang harmonis adalah "katup pengaman" bagi Dilan yang menentang kesewenang-wenangan Suripto dan panggilan dari solidaritas gengnya. Sisanya, dalam diri Milea, hidup kandidat istri yang penyayang keluarga dan garansi dicintai sepanjang hayat. 

Maka, bisa dikatakan film berbiaya 3 miliar ini adalah perkawinan dua imej: lelaki yang bernyali dan jago kelahi, anti-aturan sekolah sekaligus romantis berhadapan perempuan yang manis, lembut tutur kata dan sikap, manja serta anak rumahan; yang laki banged dengan perempuan banged. Apa yang baru dari "perkawinan imej" seperti ini?

Karena itu, kisah ini biasa-biasa wae. Hanya saja, yang biasa tidak selalu buruk. 

Bagi saya, tergantung dari bagaimana struktur cerita memelihara dinamika konflik. Salah satunya adalah dalam memilih padanan, semacam "kontra-karakter" yang tepat. Pun jika elemen konflik pada akhirnya adalah daur ulang semata, maka akhirnya akan bergantung pada penghayatan dari sosok di balik peran yang dilakoni.

Film Dilan 1990 | BookMyShow
Film Dilan 1990 | BookMyShow
Dari posisi seperti ini, saya lebih suka menyuarakan "kontra-karakter" pada tubuh cerita yang menunjukan bagaimana pemenang dan pecundang dipelihara dalam narasi cinta-cintaan SMA. Dilan 1990 tergolong yang berhasil dalam konteks ini. Oleh karena itu, saya akan memulai dengan mendekatinya dari pengalaman mereka yang dikalahkan Dilan-Milea. 

Ada tiga subyek yang bisa disebut dalam kebutuhan ini. Mereka adalah Nandan. Sang ketua kelas, pintar dan konon jagoan basket. Kemudian Susi, anak IPS yang katanya turunan tajir dan dicuekin Dilan serta Anhar,yang se-geng dengan Dilan dan menjadi "sansak pembuktian" dari cinta Dilan.

Dari penampilan Nandan yang berkacamata dan rapi, kita melihat remaja SMA yang bertipe tertib dan intelek. Tipe karakter yang bukan saja menjauhi masalah namun juga cenderung daur ulang dalam urusan ungkap romantika--ngasih boneka pas ultah, misalnya. Selain itu, tipe serupa ini cenderung konformistik dengan sistem sekolah. Hidupnya datar, kebanyakan rumus sin cos tangen. Membosankan.

Sedang Susi yang muncul sambil lalu, berada di kuadran sebelah. Secara ekonomi, konon tajir dan berada di kelas IPS. Remaja kekinian mungkin tidak tahu jika kelas IPS zaman itu hanyalah ruang bagi mereka yang dinilai lemah secara kognitif: yang payah matematika, fisika dan kimia. Posisinya setali tiga uang dengan siswa kelas Bahasa. Tambah lagi, Susi jauh gambaran perempuan yang lembut.

Ada pun Anhar, remaja tengil yang dalam kehadirannya berisi lukisan tentang mereka yang menjadi bayang-bayang jagoan dalam banyak hal. Bukan saja kalah dalam urusan berkelahi dan kepemimpinan dalam geng, namun juga kemampuan kognitif dan romantika terhadap lawan jenis semanis Milea. Pendek kata, sudah bodoh, bengal tak paham perempuan pula!

Sehingga jika kita percaya pada peringatan Ivan Illich terhadap sekolah dimana lulusan perguruan tinggi-lah yang menentukan espektasi hidup di masyarakat, seperti kerja, karir, kekayaan, gaya hidup, maka Nandan adalah barisan depan yang lebih menjanjikan masa depannya. Sementara, dua yang terakhir hanyalah masa depan dengan daftar kecemasan. Ketiganya adalah produk dari sistem sekolah 90an.

Apakah "kontra-karakter" dalam jalinan romantika Dilan-Milea yang mulus berdiri sendiri sebagai kualitas individual tanpa latar belakang yang lebih besar? Tentu saja, tidak. 

Satu potret menonjol yang bisa diajukan sebagai latar itu adalah keseharian keluarga yang harmonis. Dari bapak yang tentara dan ibu yang seanggun Ira Wibowo dan Happy Salma. Tidak kaya tapi cukup bahagia. Dilan memiliki bunda yang boleh memberi toleransi terhadap kenakalan-kenakalan sedang Milea memiliki ibu yang selalu bisa menyediakan diri untuk berdiskusi. Jenis ibu yang terbuka dan penuh support terhadap pilihan anak-anak mereka. 

Ada kesan, ibu dalam Dilan 1990 adalah tipikal yang memungkinkan keberanian menjadi individu sebagai peristiwa yang wajar. Figur sensorik yang mendikte dalam sosok ayah (apalagi militer) hampir tidak memiliki jejak. Karena itu, kita tidak melihat ada konflik orientasi dalam lingkungan domestik kedua remaja ini. Sementara pada tiga remaja yang kalah itu, kita tidak pernah tahu dari latar domestik kayak apa. Mereka hadir sebagai penanggung derita dari romantika panglima tempur geng motor dan sekretaris kelas. 

Yang saya mau katakan, dari romantika SMA gaya Dilan dan Milea yang "sekuler", imajinasi kita juga dimasuki oleh imej keluarga yang utuh. Khususnya tentang kehangatan yang bersemi di dalam rumah dengan pembagian kerja yang tidak mengalami guncangan, ekonomi, sosial pun moral. Citra keluarga yang sangat dikehendaki oleh, konon, (bayang-bayang) keharusan kebudayaan Timur dan dipelihara negara orde baru.

Akan berbeda jauh situasinya jika kita menyaksikan Lady Bird (2017) yang juga berpusat pada dunia remaja SMA. Dunia yang labil, naif, penuh gelora dan kenekadan-kenekadan mengambil resiko. Saat yang sama, berhadapan kehidupan ekonomi keluarga sedang di masa kritis dan konflik yang meliputi hubungan ibu dan anak perempuannya. Si Lady Bird juga harus mengelola emosinya lantas menerima fakta saat mengetahui pacarnya yang gay. 

Nah, yang tetap saja menjadi pertanyaannya, mengapa kisah ini boleh menembus 6 juta penonton?

Tidak kah kita boleh curiga pada kuasa sinetron dengan kisah yang berputar-putar pada yang itu-itu saja. Karena itu, golongan abege, baru melewati masa abege, dan yang belum bisa pergi dari kejiwaan abege melarikan diri pada sejenis "fiksi cinta SMA 90'an". Fiksi yang dimaksud adalah senada dengan pengertian yang barusan saja bikin heboh yakni sebagai kekuatan yang mengaktifkan imajinasi. 

Satu yang pasti, Dilan 1990 dihidupkan oleh yang terakhir: kemampuan akting. Iqbaal dan Vanesha wajib mendapat standing applause.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun