Ada tiga subyek yang bisa disebut dalam kebutuhan ini. Mereka adalah Nandan. Sang ketua kelas, pintar dan konon jagoan basket. Kemudian Susi, anak IPS yang katanya turunan tajir dan dicuekin Dilan serta Anhar,yang se-geng dengan Dilan dan menjadi "sansak pembuktian" dari cinta Dilan.
Dari penampilan Nandan yang berkacamata dan rapi, kita melihat remaja SMA yang bertipe tertib dan intelek. Tipe karakter yang bukan saja menjauhi masalah namun juga cenderung daur ulang dalam urusan ungkap romantika--ngasih boneka pas ultah, misalnya. Selain itu, tipe serupa ini cenderung konformistik dengan sistem sekolah. Hidupnya datar, kebanyakan rumus sin cos tangen. Membosankan.
Sedang Susi yang muncul sambil lalu, berada di kuadran sebelah. Secara ekonomi, konon tajir dan berada di kelas IPS. Remaja kekinian mungkin tidak tahu jika kelas IPS zaman itu hanyalah ruang bagi mereka yang dinilai lemah secara kognitif: yang payah matematika, fisika dan kimia. Posisinya setali tiga uang dengan siswa kelas Bahasa. Tambah lagi, Susi jauh gambaran perempuan yang lembut.
Ada pun Anhar, remaja tengil yang dalam kehadirannya berisi lukisan tentang mereka yang menjadi bayang-bayang jagoan dalam banyak hal. Bukan saja kalah dalam urusan berkelahi dan kepemimpinan dalam geng, namun juga kemampuan kognitif dan romantika terhadap lawan jenis semanis Milea. Pendek kata, sudah bodoh, bengal tak paham perempuan pula!
Sehingga jika kita percaya pada peringatan Ivan Illich terhadap sekolah dimana lulusan perguruan tinggi-lah yang menentukan espektasi hidup di masyarakat, seperti kerja, karir, kekayaan, gaya hidup, maka Nandan adalah barisan depan yang lebih menjanjikan masa depannya. Sementara, dua yang terakhir hanyalah masa depan dengan daftar kecemasan. Ketiganya adalah produk dari sistem sekolah 90an.
Apakah "kontra-karakter" dalam jalinan romantika Dilan-Milea yang mulus berdiri sendiri sebagai kualitas individual tanpa latar belakang yang lebih besar? Tentu saja, tidak.Â
Satu potret menonjol yang bisa diajukan sebagai latar itu adalah keseharian keluarga yang harmonis. Dari bapak yang tentara dan ibu yang seanggun Ira Wibowo dan Happy Salma. Tidak kaya tapi cukup bahagia. Dilan memiliki bunda yang boleh memberi toleransi terhadap kenakalan-kenakalan sedang Milea memiliki ibu yang selalu bisa menyediakan diri untuk berdiskusi. Jenis ibu yang terbuka dan penuh support terhadap pilihan anak-anak mereka.Â
Ada kesan, ibu dalam Dilan 1990 adalah tipikal yang memungkinkan keberanian menjadi individu sebagai peristiwa yang wajar. Figur sensorik yang mendikte dalam sosok ayah (apalagi militer) hampir tidak memiliki jejak. Karena itu, kita tidak melihat ada konflik orientasi dalam lingkungan domestik kedua remaja ini. Sementara pada tiga remaja yang kalah itu, kita tidak pernah tahu dari latar domestik kayak apa. Mereka hadir sebagai penanggung derita dari romantika panglima tempur geng motor dan sekretaris kelas.Â
Yang saya mau katakan, dari romantika SMA gaya Dilan dan Milea yang "sekuler", imajinasi kita juga dimasuki oleh imej keluarga yang utuh. Khususnya tentang kehangatan yang bersemi di dalam rumah dengan pembagian kerja yang tidak mengalami guncangan, ekonomi, sosial pun moral. Citra keluarga yang sangat dikehendaki oleh, konon, (bayang-bayang) keharusan kebudayaan Timur dan dipelihara negara orde baru.
Akan berbeda jauh situasinya jika kita menyaksikan Lady Bird (2017) yang juga berpusat pada dunia remaja SMA. Dunia yang labil, naif, penuh gelora dan kenekadan-kenekadan mengambil resiko. Saat yang sama, berhadapan kehidupan ekonomi keluarga sedang di masa kritis dan konflik yang meliputi hubungan ibu dan anak perempuannya. Si Lady Bird juga harus mengelola emosinya lantas menerima fakta saat mengetahui pacarnya yang gay.Â