...kebanyakan tragedi mungkin lebih baik dipercakapkan dengan benda-benda mati. Setidaknya, tampak mati...
Aku butuh latar belakang yang sederhana. Untuk menjelaskan bagaimana sehari-hari kita mengada.
Kita hanyalah sepasang tali jemuran dan tiang kayu yang bertahan di musim instabil pada sebuah halaman tanah. Sementara setiap pagi dan, sesudah malam pertamanya, sesudah anak lelaki lalu dua anak perempuannya menyusul, seorang ibu yang kini rambut putihnya disamarkan warna merah datang dengan pakaian baru dicuci. Sambil menggantungnya di tubuhmu, ia akan bercakap-cakap. Atau barangkali hanya tersenyum dan mengembus napas.Â
Aku ingat ibu itu pernah menggantung jeans sembari mengatakan,"Dia sudah harus mencari pasangan hidup yang membersihkan celana ini. Setidaknya, ia bersihkan sendiri. Tenagaku kini menyusut jauh."
Tapi kita berdua tahu, kasih sayangnya tak pernah susut bagi anak lelaki satu-satunya yang masih saja bangun kesiangan dan bekerja serabutan. Bahkan masih memintanya membelikan sebungkus kretek.
Ibu itu juga pernah datang lantas menggantungkan sebuah daster yang sebelumnya penuh dengan jejak noda darah--soal darah, maksudku, kau tentu tahu ini harus disebut bukan karena darah adalah sejenis kotoran atau dosa yang laknat. Ia hanya harus dibersihkan. Kau akan tahu mengapa--sembari menahan air matanya.Â
"Remaja sekarang terlalu gampang terlibat kerumitan-kerumitan yang belum waktunya dimasuki," gumamnya. Terdengar kecewa dan bersedih.
Waktu itu kita berdua turut merasakan haru. Anak perempuannya yang belum lagi melepas seragam abu-abu harus berhenti demi mengurusi janinnya. Terlalu dini bagi remaja yang rapuh. Tapi tak ada penghakiman atau kalimat-kalimat moral yang menambah retakan pada jiwa yang butuh dipeluk dengan hangat.
Tidak lama berselang dari pagi dengan daster yang belum sepenuhnya mengugurkan jejak merah di bawah terik matahari, ibu itu telah menjemur daster lain yang mirip. Kali ini anak lelakinya. Tiba-tiba pulang dengan wajah lesu darah. Seorang remaja perempuan berdiri di sampingnya, dengan air muka yang sama. Seolah saja mereka baru meloloskan diri dari jebakan maut.
"Aku mungkin dipilih menjadi nenek kepada cucu-cucu yang ayah dan ibunya masih tak bisa hidup sendiri, dengan caranya sendiri."
Hanya kata-kata itu yang mengiringi. Matahari tak benar-benar terik hari itu. Gumpalan mendung di langit Selatan sebentar lagi akan tiba di sini.Â
Kita berdua kehilangan kata-kata. Tapi hujan batal turun.
Kemudian, pada suatu pagi yang sebelumnya tenang. Rumah itu mendadak histeris. Tak bendera putih ditegakkan di pinggir jalan. Tak ada tenda sedang berdiri di halaman dan hampir menjadi atap kita berdua. Tak ada kursi-kursi plastik dijejerkan. Tak ada kumandang pengajian terdengar seperti dengung rombongan lebah.Â
Hanya datang sebuah ambulans dan beberapa orang sepuh. Ada kematian. Siapa? Jarak tak memungkinkan melihat tubuh siapa yang sedang ditangisi.Â
Sehari sesudah pemakaman yang sepi, ibu itu telah datang dengan keranjang yang penuh lembar-lembar pakaian bayi.Â
"Aku harus menjadi nenek yang hidup lebih lama dari anak-anak dan menantunya."
Dia seperti tahu kita sedang didera penasaran. Hari itu, aku melihat tubuhmu yang biasanya tak bergetar diterpa angin keras, kini bergetar hebat. Aku yang terikat padamu harus bertahan dengan kokoh agar tak limbung. Kita sudah bertahun-tahun menghadapi badai namun kesedihan ini...
Ibu dengan kemalangan yang makin total.
Anak lelaki, perempuan, dan menantunya meninggal dalam kecelakaan beruntun saat pulang dari lokasi pertambangan tradisional. Truk yang ditumpangi mereka terguling di sebuah turunan curam karena menghindari muda-mudi yang belum sadar dari pesta Sweet Seventeen.Â
Ibu itu kini hidup dengan dua cucu dan anak perempuannya. Yang mulai keseringan termenung dan menangis sepanjang waktu. Tiba-tiba disertai teriakan dan ketawa tanpa sebab-sebab yang lucu.
Perempuan bungsu yang berusaha untuk tabah dan melewatkan kesedihan dengan percaya bahwa saudaranya kini lebih tenang di dunia sana. Karena ia terus saja didera sangsi: bagaimana mungkin orang-orang yang meninggal karena kecelakaan, dengan kepala yang pecah, hidung yang sobek hingga kelihatan tulang penyangganya, bola mata yang hancur dan mengeluarkan darah tanpa berhenti atau kaki dan tangan yang patah tak berbentuk boleh tenang-tenang saja?Â
Berkali-kali ia mencoba membenturkan kepalanya ke dinding dan selalu diselamatkan ibunya.
"Seperti kematian yang tidak pernah kita ketahui saat dan bagaimana dia datang, kehidupan di sana sama adanya. Kita hanya bisa berharap, cara meninggal yang tragis itu adalah pertanda hidup mereka akan bahagia dari ketika bersama-sama, Nak."
Tapi si bungsu terlanjut dibekap histeria. Ia berubah gila dan berbahaya bagi dirinya sendiri.
Rumah itu kini berhuni dua jiwa yang harus disusui dan ditidurkan, selain dibersihkan dari berak dan kencing. Seorang perempuan muda gila dan perempuan yang berusaha menyamarkan rambut yang terus memutih. Ibu.
***
Aku rasa kebutuhan itu salah. Seharusnya, aku butuh latar belakang yang bahagia, bukan?
Bahwa kita adalah jemuran yang hidup di pekarangan yang luas. Dengan penghuni sebuah rumah yang setiap hari diisi dengan tawa dan kejutan-kejutan ceria. Mula-mula seorang perempuan datang membawa cucian, lalu perempuan yang lebih muda menggantikannya. Sementara perempuan yang pertama sedang bercengkrama dengan bayi di dalam kereta, perempuan yang kedua membereskan pakaian kotor sambil berdendang. Mungkin lagu Judika dan istrinya atau Pasha Ungu dengan istrinya. Karena, sekurang-kurangnya, dua artis itu belum bercerai.
Sepanjang cucian dijejerkan di tubuh kita, tak ada gumam-gumam yang resah atau kalimat yang berusaha ramah dengan kesedihan.
Juga, anak lelaki yang dulu rajin kesiangan, kini telah menjadi bapak muda yang berwibawa. Ia selalu terjaga tengah malam dan mengganti pempers yang kotor sementara istrinya nyenyak dengan senyuman. Ia selalu berhasil mengalahkan kantuk, pagi bekerja dan pulang tepat waktu. Ia pun sudah mengurangi asap rokok berkejaran dalam rumah.Â
Ia selalu mencium kening ibu dan istrinya dan mengatakan, "Lelaki dimulai hidupnya dengan asuhan kasih perempuan. Kelak, kau akan bekerja untuk berusaha membalas semua itu, Nak. Tapi kau harus tahu, kau dan aku tak pernah bisa membalasnya. Tumbuh dengan sehat dan bersaksilah bahwa aku adalah ayahmu yang bertanggungjawab. Yang membuat ibu dan nenekmu bersyukur telah memiliki kita," kepada bayinya.Â
Sementara dua saudaranya yang perempuan, telah pula bersuami orang-orang yang mencintai keluarga. Mereka masih hidup di kota yang sama. Setiap pekan mereka akan berkumpul dan merayakan syukur kecil bersama-sama kita.Â
Akan tetapi..
Jika kebahagiaan seperti ini yang melatari kita, mungkinkah kita masih tegak mengada?Â
Aku pikir, tidak. Kita akan digantikan jemuran dari besi yang mudah dilipatpindahkan. Pekarangan tanah ini mungkin juga telah berlantai semen dan kolam ikan. Kita mungkin sudah lama berakhir di pembuangan sampah. Bersama plastik, makanan busuk, dan besi-besi berkarat. Mungkin juga telah membusuk kedalam tanah.
Aku pasti tidak punya cerita. Kita tidak pernah dianggap ada.Â
Lantas, mengapa orang-orang bahagia mudah melupakan kita --sepasang tali dan tiang kayu yang menjadi jemuran? Kau ingin bertanya seperti ini, Sayang?
Aku pikir tidak begitu. Bukan bahagia atau kesedihan yang menjadi urusannya. Aku kira, kebanyakan tragedi mungkin lebih baik dipercakapkan dengan benda-benda mati. Setidaknya, tampak mati.Â
Di situlah, kita baru ada. Kau setuju?
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H