Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Tragedi dan Benda Mati atau Bagaimana Kita Ada

17 Maret 2018   07:40 Diperbarui: 17 Maret 2018   21:21 2415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Rumahku.com

Hanya kata-kata itu yang mengiringi. Matahari tak benar-benar terik hari itu. Gumpalan mendung di langit Selatan sebentar lagi akan tiba di sini. 

Kita berdua kehilangan kata-kata. Tapi hujan batal turun.

Kemudian, pada suatu pagi yang sebelumnya tenang. Rumah itu mendadak histeris. Tak bendera putih ditegakkan di pinggir jalan. Tak ada tenda sedang berdiri di halaman dan hampir menjadi atap kita berdua. Tak ada kursi-kursi plastik dijejerkan. Tak ada kumandang pengajian terdengar seperti dengung rombongan lebah. 

Hanya datang sebuah ambulans dan beberapa orang sepuh. Ada kematian. Siapa? Jarak tak memungkinkan melihat tubuh siapa yang sedang ditangisi. 

Sehari sesudah pemakaman yang sepi, ibu itu telah datang dengan keranjang yang penuh lembar-lembar pakaian bayi. 

"Aku harus menjadi nenek yang hidup lebih lama dari anak-anak dan menantunya."

Dia seperti tahu kita sedang didera penasaran. Hari itu, aku melihat tubuhmu yang biasanya tak bergetar diterpa angin keras, kini bergetar hebat. Aku yang terikat padamu harus bertahan dengan kokoh agar tak limbung. Kita sudah bertahun-tahun menghadapi badai namun kesedihan ini...

Ibu dengan kemalangan yang makin total.

Anak lelaki, perempuan, dan menantunya meninggal dalam kecelakaan beruntun saat pulang dari lokasi pertambangan tradisional. Truk yang ditumpangi mereka terguling di sebuah turunan curam karena menghindari muda-mudi yang belum sadar dari pesta Sweet Seventeen. 

Ibu itu kini hidup dengan dua cucu dan anak perempuannya. Yang mulai keseringan termenung dan menangis sepanjang waktu. Tiba-tiba disertai teriakan dan ketawa tanpa sebab-sebab yang lucu.

Perempuan bungsu yang berusaha untuk tabah dan melewatkan kesedihan dengan percaya bahwa saudaranya kini lebih tenang di dunia sana. Karena ia terus saja didera sangsi: bagaimana mungkin orang-orang yang meninggal karena kecelakaan, dengan kepala yang pecah, hidung yang sobek hingga kelihatan tulang penyangganya, bola mata yang hancur dan mengeluarkan darah tanpa berhenti atau kaki dan tangan yang patah tak berbentuk boleh tenang-tenang saja? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun