Lantas, apa yang bisa kita ungkap dari narasi seperti China Salesman? Apa yang bisa dicurigai bekerja sebagai, katakan saja itu: "inner capacity building" di dalam "hidden text'?
China Salesman: Soft Power, Afrika dan Citra Diri Tiongkok
Mari kita berangkat dari "permainan simbol yang mengambil konteks sistem dunia" dan sedari awal sudah dipertunjukan Tan Biang, si sutradara yang biografinya masih terbatas dibahas. Titik berangkat ini, semoga saja, akan menyambungkan secara terang usaha memperlihatkan "hidden text" dari film yang kualitas akting dan visualisasinya biasa-biasa saja ini.Â
Pertama, wakil Tiongkok dan Eropa mewakili dua lokasi negara-negara besar. Sementara tanah Afrika adalah wilayah yang berada di orbit pinggiran dari sistem dunia. Keduanya datang untuk mengambil manfaat ekonomi dari negeri yang kaya namun terus dipaksa berada dalam kategori negara berkembang.
Kedua, wakil Tiongkok telah sejak awal dicitrakan mewakili sikap-sikap yang bersahabat dan bersaing dengan jujur. Bahkan ketika situasi politik dan keamanan memburuk, wakil Tiongkok berani mengambil peran berbahaya demi menyelamatkan bangsa dari kehancuran berdarah-darah. Sebaliknya, di ujung yang antagonis, sang wakil Eropa adalah sosok yang culas, menghalalkan segala cara dan merayakan kemenangan di atas kehancuran bangsa lain; "The Real Evil"!
Walau begitu, wakil Eropa dalam China Salesman ditampilkan berwajah ganda sebab si perempuan bernama Susanna justru adalah protagonist. Ia merelakan diri, bersama Yan Jian menjemput bahaya demi menghindarkan perang saudara. Ada dialog dimana Yan Jian justru diingatkan agar tidak mengail keuntungan dari situasi oleh si Susanna. Artinya, Tiongkok tidak dicitrakan pahlawan tanpa cacat.
Ketiga, dimanakah posisi "Indigenous People" dalam relasi demikian? Selain pemerintah dan Kabba, ada seorang pemimpin suku kharismatik bernama Sheikh Asaid (Eric Ebouaney)? Mereka hanyalah obyek sejarah dari pertikaian dua negara adidaya ini. Ditentukan siapakah yang menang dari perjuangan Yan Jian atau sabotase si Kabba.
Relasi simbolis yang seperti ini jelas menurunkan jenis narasi sinematik yang sejatinya tidak sederhana walau mungkin tak mampu lolos dari kejadian-kejadian yang klise. Relasi simbolis itu sendiri mencerminkan situasi sistem dunia hari ini. Atau apa yang secara singkat bisa kita sebut "pertarungan geopolitik".
Dalam pertarungan yang secara rutin diberitakan sebagai persaingan Tiongkok versus Amerika Serikat di Afrika, China Salesman adalah jenis film yang memainkan fungsi dari apa yang disebut Joseph Nye sebagai Soft-Power.Â
Jika Soft-Power adalah kapasitas sebuah negara-bangsa menggunakan strategi dan teknik persuasif kepada bangsa lain (dengan memaksimalkan tiga basis utama yakni sumberdaya kultural, nilai-nilai politik dan kebijakan luar negeri) terhadap bangsa lain demi mencapai target-target kepentingan nasionalnya, maka China Salesman boleh diduga bagian dari strategi sinematik dalam menunjukan citra-diri Tiongkok di Afrika.
Denise E. Zheng dalam makalah berjudul China's Use of Soft Power in the Developing World (boleh dilihat dalam Laporan CSIS Smart Power Initiative yang berjudul China's Soft Power and Its Implications for the United States: Competition and Cooperation in Developing World; Maret 2009) menyebut jika perangkat soft-power Tiongkok sedikitnya terdiri dari lima komponen. Yaitu: Investasi, Bantuan Kemanusiaan, Program Pertukaran, Diplomasi dan Partisipasi di dalam lembaga Multilateral.
Ekspansi Tiongkok ke Afrika, kata Denise, didorong oleh kebutuhan sumberdaya energi, bahan mentah, dan akses untuk pasar baru dari barang-barang manufaktur murah. Ditambahkannya, dari tahun 1997 sampai dengan 2016, para pejabat pemerintah telah berkunjung ke ibu kota negara-negara di Afrika. Saat bersamaan, lebih dari 60 orang ketua-ketua partai di Afrika yang berkunjung ke Beijing. Kunjungan bolak-balik yang intensif.