The Shape of Water (selanjutnya akan saya singkat saja dengan TSW) adalah bintang pada perhelatan Academy Award ke-90 kali ini dengan 13 kategori di mana empat dimenangkan.
Keempat itu adalah untuk kategori Best Picture, Best Director, Best Original Music Score dan Best Production Design. TSW menyingkirkan Dunkirk-nya Nolan yang berbiaya $100 million. TSW diproduksi hanya dengan ongkos $19.5 million.Â
Mengapa TSW boleh menang? Mengapa Dunkirk yang dipuji habis begitu dirilis ternyata hanya memenangkan kategori Penyuntingan Terbaik dan Penyuntingan Suara Terbaik?Â
Salah satunya, barangkali karena "miskin gagasan".Â
Melihat Dunkirk di layar bioskop memang menyelamkan diri ke dalam nuansa yang mencekam. Penampakan langit yang diselingi deru mesin pesawat dan desing peluru, laut yang bergelora dan pesisir yang dipenuhi ketakutan para tentara membuat kita menyadari jika ambisi dan pertikaian politik manusia adalah mesin penghancur paling bengis.Â
Bersamaan dengan itu, ada patriotisme membara namun senyap dalam sanubari jelata, para nelayan kecil, yang pergi melakukan evakuasi. Para jelata yang membuat "Operasi Dinamo" sukses melahirkan "Miracle of Dunkirk".
Tapi itu tidak membuat saya melihat Nolan terlahir baru lewat film bernarasi sejarah perang.Â
Saya terbiasa dengan kesukaan Nolan mengelaborasi konsep-konsep psikologi dan filsafat lewat medium film. Dunkirk belakangan malah tampak sebagai romantisasi patriotisme jelata rakyat Britania Raya. Mungkin sebab ini juga, pendekatan "makroskopik" Nolan malah membuat kesan hambar di ruang subyektif saya, sebagaimana sudah tertulis di Film Dunkirk, "Makrokopisme" dan Nolan yang Hambar.
Melalui Darkest Hour-lah, kita bisa melihat persilangan patriotisme jelata dengan pilihan Churchill untuk tetap menolak tawaran berunding dengan Nazisme-Hitler. Ada adegan di mana Churchill memilih pergi bercakap-cakap dengan warga biasa di kereta pada saat tekanan untuk berunding dan makin menipisnya dukungan dari dalam Kabinet Perang. "Kau tidak bisa berunding dengan kepala di dalam mulut singa." Demikian Churchill berfatwa.Â
Sementara TSW, sekilas seolah bertutur tentang romantisme cinta yang ganjil.
Antara perempuan bisu dan ikan 1/2 manusia di tengah masyarakat Amerika yang sedang berada dalam suasana Perang Dingin, 1960an awal. Ikan 1/2 manusia yang dipuja layaknya tuhan oleh penduduk lokal Amazon, Amerika Selatan, hanyalah aset sebuah laboratorium riset yang sedang adu kemajuan dengan capaian-capaian Soviet. Â
Fantasi del Toro lumayan unik dalam hubungan konteks seperti ini. Pertanyaannya, gagasan apa yang hendak disampaikannya lewat film berdurasi 123 menit?
Saya baru mengetahui gagasan itu dari sebuah wawancara yang dimuat laman kutv.com. Dalam wawancara yang dimuat 11 Desember 2017, del Toro menggamblangkan jika TSW adalah film yang berbicara tentang empati terhadap sang Liyan (the Other). Ikan 1/2 Manusia yang berasal dari masyarakat udik seperti Amazon adalah simbolisasi dari "monster". Tetapi bukan monster yang selama ini hadir dalam imajinasi kita sebagai sesuatu yang bukan saja asing, namun juga mengerikan dan berbahaya.Â
Tipe imajinasi yang berakar dalam riwayat cara pandang Barat terhadap negeri-negeri non-Barat.
Cara pandang yang menjadi sejenis "context of justification" bagi kolonialisme dan imperialisme. Leonard Y. Andaya lewat buku Dunia Maluku: Indonesia Timur Pada Zaman Modern Awal telah menunjukan jika bangsa seperti Portugis dan Spanyol memang telah sejak lama mengimajinasikan penduduk di negeri-negeri yang jauh sebagai lokasi hidup para monster.
Kedunguan seperti ini juga dibahas oleh Ben Anderson.Â
Dalam karyanya yang berjudul Di Bawah Tiga Bendera: Anarkisme dan Imajinasi Anti-Kolonial (Marjin Kiri, cet ke III. 2017), Indonesianis yang wafat di Malang ini menceritakan sosok Isabelo de los Reyes yang menunjukan jika peradaban Barat yang diwakili Spanyol masih hidup dengan tahayul yang bikin ngakak guling-guling kasur. Isabelo adalah pribumi Filipina yang merupakan intelektual dunia ketiga pertama yang terlibat dalam pengembangan awal ilmu Folklor di dunia.Â
Guillermo del Toro berada dalam usaha mengkritik kontruksi monster yang seperti ini.Â
Dalam wawancara itu, ia bilang kalau monster yang hendak direpresentasikan ke dalam diri si Ikan 1/2 Manusia adalah kehadiran yang memiliki kapabilitas untuk mencintai dan empati. Sejenis monster yang lembut, welas asih, dapat menjadi sahabat manusia dalam menghadapi pasang surut kehidupan. Namun, TSW tidak dibuatnya jatuh pada sakit jiwa lain berwujud superhero ala Avatar yang dibuat James Cameron, 2009 silam.Â
Menghindari "kultus superhero" atau "Whitewashing", kita bisa melihat jika del Toro lebih banyak mengelaborasi dunia psikis dan sosial Elisa Esposito dan Zelda Fuller yang bekerja sebagai tukang bersih-bersih laboratorium hingga perjumpaan mereka dengan sang Monster. Elisa yang bisu jelas adalah sebuah simbol juga. Simbol yang sunyi, bukan karena secara fisik bisu.
Simbol yang sunyi ini mengekspresikan keberanian untuk memilih berempati dan memenuhi nasib dari jalan cintanya. Elisa memang tidak dikisahkan sebagai lesbian namun jatuh cintanya pada ikan 1/2 manusia adalah simbol dari keberanian membela kebebasan orientasi seksual.Â
Mengapa semua ini penting disampaikan sutradara yang juga membesut film Hell Boy sebagai monster sekaligus superhero?
Jawaban atas pertanyaan di atas tergambar dalam pilihan setting waktu TSW.Â
Periode ini adalah waktu yang memecah belah. Tahun dari "racun maskulinitas", diskriminasi gender, diskriminasi ras, serta huru hara, (dan) Perang Dingin (= kapitalisme versus komunisme--tambahan redaksi ini dari saya). Bagi del Toro, suasananya sama dengan hari ini. Karena itu juga adalah cermin yang sempurna (perfect mirror). Khusus bagi masyarakat Amerika Serikat, manakala banyak orang sedang mengkristalisasi ide-ide mereka tentang Amerika yang Hebat, inilah tahun yang menyiksa, tegasnya.
Maka bisa dilihat lebih jelas jika del Toro hendak menghidupkan sosok monster yang hanyalah aset/obyek riset dari ambisi sains dengan Elisa sebagai kesenyapan yang saling mencintai itu sebagai dunia kecil yang tumbuh oleh sikap empatik. Lebih persisnya, keberanian untuk berempati kepada sang Liyan. Tegas kata, sang Liyan tidak bisa dimaknai selama kapasitas empatik itu tidak memunculkan tindakannya.
Sang Liyan adalah penampakan "the Beauty of Imperfection", bagi del Toro. Demikianlah inti gagasan di balik film TSW.
Dan kita bisa melihat jika gagasan demikian bukanlah sebatas perkara cinta dua identitas seksual. Atau khas masyarakat Amerika yang menjadi intensi utama dari keresahan del Toro yang seorang Mexican. Dalam wawancara itu juga, del Toro bicara tentang wujud politik kekinian dari "sang Monster" itu sebagai para imigran.
Kita tahu jika para imigran adalah subyek politik yang sedang menjadi sansak politik dari kebangkitan White Supremacy atau, katakanlah, populisme garis kanan di Barat. Mereka menjadi minoritas, sebagaimana warga keturunan di negeri kita, yang terus saja menjadi sasaran dari kemarahan-kemarahan politik dalam klaim ganjil tentang sang Mayor, sang Asli, sang Pribumi.Â
Situasi yang meresahkan ini juga mengingatkan pada sindiran Slavoj Zizek, si filosof yang sedang beken itu.Â
Dalam kumpulan banyolannya di buku Zizek's Joke's, (dieditori Audun Mortensen, MIT Press: 2014) , Zizek menyitir sebuah banyolan untuk menyindir populisme. Saya kutip penuh di sini:
Kita semua tahu banyolan lama tentang orang yang mencari-cari kuncinya yang hilang di bawah lampu jalan; saat ditanya di mana hilangnya, ia bilang di pojokan yang sana. Lalu ngapain cari di sini, di bawah lampu? Soalnya di sini lebih kelihatan...(hahaha). Trik semacam ini selalu ada dalam populisme. Ia mencari sebab-musabab dalam diri orang Yahudi, sebab mereka lebih kelihatan ketimbang proses-proses sosial yang kompleks.
(Karena itu, bagi Zizek) populisme dengan demikian per definisinya adalah sebuah fenomena yang negatif, fenomena yang berlandaskan penolakan, bahkan pengakuan implisit tentang ketidakberdayaan.
Maka, sebagai pamungkas, boleh dikatakan, film The Shape of Water adalah narasi sinematik yang menyuarakan keresahan zaman. Usaha del Toro menyuarakan cinta dan empati pada sang Liyan serta dekonstruksi terhadap sosok monster.Â
Usaha menyentuh yang membuatnya memang pantas juara.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H