Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

"The Shape of Water", Usaha del Toro Menyuarakan Sang Liyan

6 Maret 2018   12:12 Diperbarui: 13 Agustus 2019   16:02 1287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengapa semua ini penting disampaikan sutradara yang juga membesut film Hell Boy sebagai monster sekaligus superhero?

Jawaban atas pertanyaan di atas tergambar dalam pilihan setting waktu TSW. 

Periode ini adalah waktu yang memecah belah. Tahun dari "racun maskulinitas", diskriminasi gender, diskriminasi ras, serta huru hara, (dan) Perang Dingin (= kapitalisme versus komunisme--tambahan redaksi ini dari saya). Bagi del Toro, suasananya sama dengan hari ini. Karena itu juga adalah cermin yang sempurna (perfect mirror). Khusus bagi masyarakat Amerika Serikat, manakala banyak orang sedang mengkristalisasi ide-ide mereka tentang Amerika yang Hebat, inilah tahun yang menyiksa, tegasnya.

Maka bisa dilihat lebih jelas jika del Toro hendak menghidupkan sosok monster yang hanyalah aset/obyek riset dari ambisi sains dengan Elisa sebagai kesenyapan yang saling mencintai itu sebagai dunia kecil yang tumbuh oleh sikap empatik. Lebih persisnya, keberanian untuk berempati kepada sang Liyan. Tegas kata, sang Liyan tidak bisa dimaknai selama kapasitas empatik itu tidak memunculkan tindakannya.

Sang Liyan adalah penampakan "the Beauty of Imperfection", bagi del Toro. Demikianlah inti gagasan di balik film TSW.

Dan kita bisa melihat jika gagasan demikian bukanlah sebatas perkara cinta dua identitas seksual. Atau khas masyarakat Amerika yang menjadi intensi utama dari keresahan del Toro yang seorang Mexican. Dalam wawancara itu juga, del Toro bicara tentang wujud politik kekinian dari "sang Monster" itu sebagai para imigran.

Kita tahu jika para imigran adalah subyek politik yang sedang menjadi sansak politik dari kebangkitan White Supremacy atau, katakanlah, populisme garis kanan di Barat. Mereka menjadi minoritas, sebagaimana warga keturunan di negeri kita, yang terus saja menjadi sasaran dari kemarahan-kemarahan politik dalam klaim ganjil tentang sang Mayor, sang Asli, sang Pribumi. 

Situasi yang meresahkan ini juga mengingatkan pada sindiran Slavoj Zizek, si filosof yang sedang beken itu. 

Dalam kumpulan banyolannya di buku Zizek's Joke's, (dieditori Audun Mortensen, MIT Press: 2014) , Zizek menyitir sebuah banyolan untuk menyindir populisme. Saya kutip penuh di sini:

Kita semua tahu banyolan lama tentang orang yang mencari-cari kuncinya yang hilang di bawah lampu jalan; saat ditanya di mana hilangnya, ia bilang di pojokan yang sana. Lalu ngapain cari di sini, di bawah lampu? Soalnya di sini lebih kelihatan...(hahaha). Trik semacam ini selalu ada dalam populisme. Ia mencari sebab-musabab dalam diri orang Yahudi, sebab mereka lebih kelihatan ketimbang proses-proses sosial yang kompleks.

(Karena itu, bagi Zizek) populisme dengan demikian per definisinya adalah sebuah fenomena yang negatif, fenomena yang berlandaskan penolakan, bahkan pengakuan implisit tentang ketidakberdayaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun