*Spoiler Alert!*
Wendy muda dan cantik juga yatim piatu. Dia menjalani hidup dengan kakak perempuannya secara terpisah di California. Sebabnya dikarenakan Wendy tak cukup memiliki kemampuan mengendalikan diri, khususnya ketika sedang mengalami rasa marah dan frustrasi. Bahkan memiliki kecenderungan melukai dirinya sendiri.Â
Kondisi "psikis yang pra-normal" sejak masa anak-anak ini dilengkapi oleh kekurangluwesannya bersosialisasi dengan dunia manusia di sekitarnya. Termasuk di dalamnya adalah lemahnya kemampuan menyerap dan menubuhkan apa yang disebut sosiolog sebagai "tipe-tipe pengetahuan resep". Yakni jenis pengetahuan yang berhubungan dengan rutinitas sehari-hari di masyarakat, yang mengintegrasikan dunia individu dengan dinamika kehidupan sosial  yang kompleks namun terpola serta tertib;semacam menderita Asperger Syndrome.
Singkat diagnosa, Wendy adalah pribadi yang retak dan harus hidup dalam semacam rumah "normalisasi".
Rumah normalisasi adalah rumah dimana Wendy dan yang menderita "kepribadian pra-normal" dibiasakan dengan aktifitas terjadwal. Ada jam untuk menyulam, ada jam untuk membaca dan bercengkrama selain jam yang mengatur makan dan istirahat.
Sistem yang seperti ini dirancangkan agar Wendy dan kumpulannya yang diisolir perlahan-lahan boleh mengadopsi hidup manusia normal kebanyakan. Sehingga mereka dapat kembali ke dunia di luar sana, tentu saja, setelah memenuhi syarat-syarat tertentu.
Yang unik pada Wendy adalah daya imajinasi yang khas seorang Trekkie alias fans Star Trek kelas berat. Pada saat bersamaan Paramount Picture mengadakan kompetisi menulis naskah untuk film yang memiliki massa pemuja dari generasi kelahiran 1960-an hingga kini. Dan perempuan muda yang tidak dipercaya kakaknya mampu menjaga ponakannya sendiri bisa menulis naskah setebal 400-an halaman!
Film "Please Stand By" (mungkin baru tayang di bioskop tanah air tahun ini) selanjutnya menuturkan bagaimana perjalanan Wendy bersama seekor anjing bernama Pete mengantarkan naskahnya melewati dunia manusia ramai sepanjang California ke Los Angeles. Dunia dari masyarakat yang sibuk dan "berwatak ganda": selalu saja tersedia jenis-jenis yang tega memanfaatkan situasi dan menciptakan kemalangan serta jenis orang-orang dengan empati dan ketulusan memberi pertolongan.
Perjalanan inilah drama utama dari film yang dibintangi oleh Dakota Fanning. Akhir bahagia dari kisah berdurasi sekitar 1 jam 30 menit ini adalah Wendy gagal menjuarai kompetisi menulis naskah film Star Trek. Namun kepercayaan yang diperoleh agar dapat memeluk ponakannya yang masih bayi.
Dus, film ini tidak menyelipkan romantisme hambar: ada sesosok lelaki penyelamat yang menemani Wendy menghindari kemalangan atau tragedi yang darinya cinta tumbuh. Wendy adalah penyelamat bagi dirinya sendiri.
Dan, sayangnya, tidak memberi pelukisan psikologis yang mendalam ketika mengisahkan bagaimana Wendy menempuh petualangan membawa karyanya. Â Petualangannya yang melukiskan anak manusia mengatasi keterbatasan yang terlanjur dikategorikan berkepribadian "pra-normal".
Maksud saya, film yang disutradarai Ben Lewin ini berpotensi memberi penonton kisah pergolakan individu di  depan masyarakat yang katanya normal namun sejatinya menyamarkan tipe-tipe manusia yang jauh lebih berbahaya dari mereka yang "bukan normal".
Karena itu juga, dalam daftar film drama sejenis yang pernah dibintangi Dakota Fanning, kisah ini kalah berkelas dari film "I Am Sam" (2001), yang berkisah seorang ayah dengan kapasitas intelektual setara anak umur 7 tahun berjuang mendapatkan hak asuh anak perempuannya. Anak yang dilahirkan dari seorang perempuan Tuna Wisma.Â
Lebih dari ini, "I Am Sam" bukan saja memberi penonton sudut pandang tentang dunia manusia dengan "IQ Minimalis" namun juga bagaimana tangan-tangan negara bekerja mengintervensi kehidupan domestik karena janji memenuhi amanat menjaga masa depan anak-anak.
Dengan maksud lain, konteks konfliknya tidak remeh. Film yang dibintangi Sean Penn dan Dakota Fanning saat masih bocah ini (sebagai Lucy Dawson) mampu mengantar penonton masuk ke dalam "konflik moral dan politis".
Yaitu perkara keabsahan moral dari negara yang memisahkan anak dari ayahnya karena alasan "IQ Minimalis" tak mungkin mengurusi anak hingga dewasa sekalipun seluruh kasih sayang sang ayah hanya dicurahkan pada si anak. Atau justru sebaliknya, bisakah kita percaya "IQ Minimalis" bisa mendapatkan hak dan kesempatan untuk melampaui keterbatasan dirinya dalam pengasuhan anak.
(Atau... Di film ini, Anda boleh curiga jika Starbucks dan Pizza Hut sedang mengkampanyekan dirinya sebagai institusi bisnis yang ramah terhadap pekerja dengan "IQ Minimalis" layaknya Sam Dawson?---peristiwa yang belum pernah terlihat dalam kenyataan manakala kita berkunjung ke dua satelit konsumsi global ala Amerika tersebut! Atau justru ini juga, menaruh curiga pada "karakter Sam" adalah simbolisasi daya juang seorang dengan keterbatasan intelektual atau tentang ideal yang lebih besar dari ini dari sebuah negara adidaya? Hehehe)
Hal lain yang hendak saya katakan adalah tentang pasang-surut daya pukau dari seni peran Dakota Fanning---memangnya ada yang lain?!---yang kini  bersaing dengan Jennifer Lawrence (dalam Mother! Bukan Red Sparrow) atau Dakota Johnson (Fifty Shades of Grey) atau  Alicia Vikander (Tulip Fever) atau Elizabeth Olsen (Liberal Arts), sekedar menyebut secara acak saja.
Di tahun 2016, aktris berambut pirang dengan mata indah bola pingpong ini bermain sebagai perempuan dengan lidah dipotong dalam film Brimstone. Perempuan yang dibisukan ini adalah seorang dari masa lalu yang kelam---katakan saja penuh dosa--- dengan hidup dalam pelarian, menghindari persekusi.
Persekusi dari sang Ayah yang mabuk berat puritanisme agama dan merasa sedang dalam tugas suci membersihkan dosa anaknya.
Di sini, Dakota Fanning tampil dengan kualitas seni peran yang menghidupkan narasi perempuan pejuang---tentulah juga anggun dan manis. Yang berjuang menggapai hidup sederhana dan tenang; yang sesudah masa-masa menjadi pelacur, membunuh ayahnya yang mabuk puritanisme, menikahi suami sahabatnya hingga berakhir narapidana yang memilih bunuh diri.
So, Brimstone adalah narasi perempuan yang bertahan dalam rentetan tragedi hidupnya karena perseteruan antara "yang bermoral vs yang berdosa". Dimana muncul tipe manusia (laki-laki) yang merasa sedang menjadi utusan langsung Tuhannya vis--vis manusia (perempuan) yang menjadi obyek dari jiwa payah berkubang dosa.
Mengapa kualitas Dakota Fanning terasa degradatif di Please Stand By,setidaknya bagi saya yang menonton kembali film-filmnya sejak masih bocah?
Saya duga lebih banyak pada kualitas cerita atau mungkin---ijinkanlah sikap sok tahu ini mengatakan---kurangnya seleksi naskah dari Dakota sendiri. Apakah Dakota sembarang saja memilih film karena harus membayar utang?
Sudah ah. Rasa ingin tahu yang salah sasaran hanya akan memelihara gossip.
*** Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H