"Mati dalam enam langkah."
Diego Padilla mengatakannya kenapa Moreno di depan bidak catur dan mata puluhan penonton. Moreno adalah sang juara bertahan, sebaliknya Diego yang masih muda sebagai penantang. Moreno, pecatur tua yang sekedar membutuhkan remis demi mempertahankan titel juara.
Tak banyak cakap, Moreno hanya menjabat tangan Diego. Pertanda pengakuan kekalahan dan ucapan selamat. Diego mengalahkannya sebelum langkah menuju skak mat terwujud.
Di hari itu, November 1934, Diego bertemu dengan Marianne, perempuan yang kelak menjadi istri dan ibu dari anak perempuan satu-satunya mereka di Madrid. Marianne adalah seorang perempuan Perancis yang tertarik dengan persoalan politik. Sementara Diego, seorang yang a-politik. Mereka menikah tahun 1936, tahun dimana perseteruan antara kaum komunis dan fasis sedang meramaikan sejarah Eropa dengan peperangan.
Diego memiliki sahabat masa kecil bernama Javier. Javier adalah kawan yang aktif berpolitik dan terlibat perlawanan terhadap rezim fasis di Spanyol. Beberapa kali mencoba mengajak namun Diego tetaplah pada sikapnya. Ia hanya ingin mendalami hidup sebagai pecatur yang saat itu membuatnya terkenal dan membawanya bergaul dengan salah seorang Mayor bawahan Jendral Franco.
Sedang Marianne, yang hanya menjadi penjahit rumahan, mulai merasa gelisah dengan hidup di Madrid. Mamah muda ini juga anti-fasis walau tidak menunjukan sikap permusuhan yang terang-terangan, entah sebagai komunis atau anarkis. Sebuah surat yang belum sempat dikirimnya kepada Pierre di Paris yang menceritakan suasana hati yang tak betah dan permohonan mencari pekerjaan dibaca oleh Diego.
Diego merasa tidak cukup membahagiakan perempuan yang ditemuinya paska-juara catur. Diego dibekap cemburu.
Sedang di luar rumah tangga kecil mereka, fasisme terus merambah Eropa. Nazisme muncul sebagai kekuatan paling brutal. Javier sendiri terbunuh dan membuat si Mayor marah besar kepada Diego. Diego dianggap sebagai bagian yang sama: partisan gerakan komunis penentang rezim militer.
1940, bersamaan dengan jatuhnya Paris ke tangan Nazi, Diego harus mengalah pada keinginan Marianne pindah ke tanah lahirnya. Perpindahan yang mengakhiri babak bahagia keluarga juara catur. Perpindahan yang memulai kemalangan Diego.
Pada satu malam di meja makan, Diego menuduh istrinya menerapkan standar ganda. Alasan tidak betah hidup di bawah rezim fasis Spanyol, baginya, tidak relevan. Sebab ketika Paris dikuasai Nazi, Marianne toh tetap baik-baik saja. Tetap tampil modis dan manis. Tak ada tanda-tanda kehilangan kebebasannya.
Sebenarnya alasan ideologis ini adalah selubung dari rasa cemburu Diego karena kepulangan ke Paris membuat Marianne kembali akrab dengan Pierre yang memberinya pekerjaan pada sebuah sekolah. Tentu saja Marianne membantah, "Kami membenci fasisme, tapi kami  bisa berbuat apa? Maaf, aku tidak seberani yang kau harapkan."