Digambarkan pada era Dinasti Ming, ada seorang pendeta Budha yang mampu melampaui pencerahan tertinggi spiritualitasnya. Sesudah mati, jasadnya terpisah dua namun utuh. Tubuh yang menjanjikan kesaktian dan keabadian. Kehendak untuk sakti dan abdi membuat sekte-sekte silat saling berebut. Â
Satu sekte yang paling tangguh dan berkuasa adalah sekte Batu Kegelapan (the Dark Stone). Sekte ini ketuai oleh Wheel King/Cao Feng (diperankan Wang Xueqi) dengan tiga asisten yang tangguh. Salah satunya adalah perempuan bernama Zeng Jing atau populer disebut Drizzle (diperankan Michelle Yeoh). Dua sisanya adalah pesulap sakti dan ahli sumpit.
Drizzle memiliki jurus pedang Ceceran Air. Jurus yang membawanya memenangkan sebagian tubuh si pendeta. Namun karena nasehat mantannya yang memilih menjadi pendeta Budha, potongan itu tidak diserahkan kepada ketua sekte. Ia sembunyikan. Drizzle mengubah identitas masa lalunya dengan melakukan operasi plastik, menyewa sebuah rumah, menjadi pedagang kain, dan hidup normal layaknya warga kota yang biasa-biasa saja.
Sepeninggal Drizzle, sekte Dark Stone terus melakukan operasi mata-mata. Segala informasi tentang Drizzle dan potongan tubuh sakti itu disaring setiap hari. Selain juga dengan menjadi kelancaran upeti dari hasil kerja sebagai pasukan bayaran. Untuk beberapa saat, Drizzle mampu menyamarkan dirinya, hingga kemudian jatuh cinta lagi sesudah mengalami kekosongan paska-kematian lelaki yang memilih jalan spiritualitas Budhisme. Jatuh cinta pada seorang pengantar paket dalam kota yang ternyata adalah korban yang selamat dari pembantaian Drizzle sendiri.
Penyamarannya terbongkar sesudah insiden di sebuah bank yang dikepung oleh bandit dari sekte saingan Dark Stone dalam perburuan jasad. Sang ketua sekte yang melatihnya segera saja mengumpukan kembali dua asistennya lalu memfokuskan operasi untuk membalas pengkhianatan Drizzle.Â
Potongan tubuh itu bila kemudian bisa disatukan maka ketua sekte Batu Kegelapan memiliki kemungkinan menjadi tak terkalahkan oleh kematian.
Sampai di sini, saya juga berpikir seperti di atas. Lantas kembali pada sensasi sinematik klise: halah, cinta-cintaan yang bersilat. Dendam yang dihapus cinta. Kemenangan kebaikan terhadap kejahatan. Kuasa fana yang berharap abadi di depan kematian. Udah basii!
Keliru.Â
Menjelang ending, si sutradara menunjukan satu dialog yang bikin ngakak. Dialog mengenai motif terdalam si ketua sekte sehingga mati-matian berburu tubuh sakti sang pendeta.
Ternyata, si ketua memiliki dua kehidupan yang saling bertumbukan. Kehidupan yang gelap sebagai ketua sekte sakti dan bengis dan kehidupan terangnya adalah seorang kasim rendahan yang hidup dengan perilaku menjijikan. Kasim yang berusaha mencapai puncak karir dengan menyogok serta kerelaan menanggung hinaan. Tak ada wibawa dan rendah harga diri.
Pangkal perkaranya ada di sini. Sebagai kasim, ia tak boleh memelihara kumis dan harus dikebiri. Jasad si pendeta, selain memiliki jejak aliran tenaga dalam hebat yang bisa dipelajari juga dapat menyambung bagian-bagian yang terputus. Jelaslah sudah, si ketua sekte bin kasim rendahan ini hendak mengembalikan organ vitalnya yang pernah terputus. Kehendaknya menjadi tak terkalahkan adalah paketnya.
Saya terus ingat hubungan antara tubuh, seksualitas dan spiritualitas manusia. Simbolisasinya berwujud pada jasad sang pendeta.
Si ketua sekte, yang hidup dalam dua dunia, adalah perlambang dari "tubuh yang jatuh". Adalah tubuh yang dipenjara oleh hasrat akan penguasaan duniawi. Ambisi menjadi orang sakti dan menjadi lelaki yang lengkap membuatnya tak mampu menjangkau sari-sari spiritualitas dari sejarah tubuh sang pendeta; sari-sari yang justru diperoleh Drizzle yang berani memilih jalan melewati penderitaan (karma buruk).
Kejatuhan tubuh yang seperti ini sama melambangkan kuasa patriarkisme yang rapuh. Si ketua sekte bukan saja seorang guru silat. Ia adalah sumber moral dan keputusan-keputusan strategis nan maskulin. Daya hidup dan keberlangsungan sekte berada dalam genggam superioritasnya. Namun, sebut saja untuk sementara ini, kegagalan menghindari kutukan "Penis Envy" membuat dia jatuh dalam kehinaan.
Kalau hadirin pembaca hendak memasuki percakapan yang membahas hubungan tubuh, seksualitas dan spiritualitas, barangkali bisa terbantukan dengan makalah berjudul Sejarah Seksualitas dalam Agama Timur, yang ditulis Saras Dewi.Â
Pada makalah ini, antara tubuh, seksualitas dan spiritualitas dalam filsafat Timur, khususnya yang bersumber dari Mistisisme Hindu, memiliki status yang luhur. Salah satunya, Saras Dewi yang juga dosen filsafat di UI, menunjukan telaah atas kitab Kama Sutra yang telah mengalami pendangkalan makna serius. Kama Sutra oleh tafsir tertentu telah di-vermaak seolah kitab porno.Â
Sata kutipkan fungsi fundamental Kama Sutra dalam pencapaian tujuan hidup manusia (hal: 9):
Bagian filosofis dari Kama Sutra terletak di bagian pengantar atau Bab kedua. Pada bagian ini Vatsyayana mengutip Veda, yaitu dalam hubungannya dengan Catur Purusarthas. Catur Purusarthas, atau Empat Tujuan Hidup merupakan pandangan hidup umat Hindu yang mengidealkan tahapan hidup yang seimbang. Catur Purusarthas terdiri dari pertama, Dharma atau kebaikan, kedua adalah Artha atau kesejahteraan materiil, ketiga adalah Kama, yaitu cinta dan kepuasan indrawiah dan yang terakhir adalah Moksha, atau pembebasan diri menuju Tuhan.
Vatsyayana menuliskan, "Dharma lebih baik dari Artha, sedangkan Artha lebih baik dari Kama."(Kama Sutra I.2.14) Melalui statemen singkat ini Vatsyayana menekankan bahwa kebaikan dan kebijaksanaan adalah pencapaian yang tertinggi apabila dibandingkan dengan kekayaan dan cinta. Kemudian apakah substansinya aktivitas Kama atau cinta, apabila tujuan utama dari manusia adalah Dharma atau kebaikan? Vatsyayana berargumentasi secara baik, dalam realitasnya manusia telah diberikan kemampuan dan keistimewaan untuk merasakan kenikmatan dan mengkontemplasikan kenikmatan, "Seksualitas adalah esensial dalam keberlangsungan hidup manusia"(Kama Sutra II.37).Â
Saya tidak terlalu paham dengan persis apa yang dimaksud dengan "Penis Envy (PE)". Saya menjumpai PE dari pembelajaran awal tentang pembagian kerja secara seksual yang ditulis Arief Budiman.Â
Asal usul PE berakar pada teori psikoanalisis Sigmund Freud. Saya memahaminya, dengan segala resiko salah paham, sebagai transisi psiko-seksualitas yang mengakibatkan kekosongan pada perempuan. Sebab tak memiliki alat reproduksi ini, "yang perempuan" seolah mengalami kekosongan dan mengalihkan rasa cemburunya dengan mencari perhatian pada figur ayah.Â
Secara terbalik, pada laki-laki, konsepsi PE menjelaskan hasrat tersembunyi untuk selalu dominan. Erich Fromm yang dikutip Arief Budiman dalam buku tersebut bahkan mengatakan jika asal-usul patriarkisme (ideologi selalu mengutamakan laki-laki) memiliki jejak psiko-seksual dalam hubungan seksual dimana laki-laki harus berjuang menegakkan organ vitalnya sementara tidak berlaku pada perempuan. Dalam humor populer, kita mengenal itu lewat cerita suami yang meminta istrinya menyediakan landasan sebab papah mo pulang beibeeh.Â
Dengan kata lain, perempuan telah menjadi subordinat sejak dalam masa-masa transisi psiko-seksualnya. Yang terjadi dalam dunia sosial seperti pemisahan kerja berdasarkan atribut gender hanyalah pantulan dari "hasrat tak sadar".
Tentu saja "pandangan yang ideologis" alias merawat kesadaran palsu ini sudah dikritik. Terutama dari kalangan feminis. Tapi kita tidak hendak berumit pikir di perkara ini. Cerita di atas pun sebatas usaha mengaitkan film dengan semesta pengertian yang lebih luas. Itu pun kalau nyambung.Â
Intinya, Jangan Main-main dengan Kelaminmu!
*** Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H