Saya terus ingat hubungan antara tubuh, seksualitas dan spiritualitas manusia. Simbolisasinya berwujud pada jasad sang pendeta.
Si ketua sekte, yang hidup dalam dua dunia, adalah perlambang dari "tubuh yang jatuh". Adalah tubuh yang dipenjara oleh hasrat akan penguasaan duniawi. Ambisi menjadi orang sakti dan menjadi lelaki yang lengkap membuatnya tak mampu menjangkau sari-sari spiritualitas dari sejarah tubuh sang pendeta; sari-sari yang justru diperoleh Drizzle yang berani memilih jalan melewati penderitaan (karma buruk).
Kejatuhan tubuh yang seperti ini sama melambangkan kuasa patriarkisme yang rapuh. Si ketua sekte bukan saja seorang guru silat. Ia adalah sumber moral dan keputusan-keputusan strategis nan maskulin. Daya hidup dan keberlangsungan sekte berada dalam genggam superioritasnya. Namun, sebut saja untuk sementara ini, kegagalan menghindari kutukan "Penis Envy" membuat dia jatuh dalam kehinaan.
Kalau hadirin pembaca hendak memasuki percakapan yang membahas hubungan tubuh, seksualitas dan spiritualitas, barangkali bisa terbantukan dengan makalah berjudul Sejarah Seksualitas dalam Agama Timur, yang ditulis Saras Dewi.Â
Pada makalah ini, antara tubuh, seksualitas dan spiritualitas dalam filsafat Timur, khususnya yang bersumber dari Mistisisme Hindu, memiliki status yang luhur. Salah satunya, Saras Dewi yang juga dosen filsafat di UI, menunjukan telaah atas kitab Kama Sutra yang telah mengalami pendangkalan makna serius. Kama Sutra oleh tafsir tertentu telah di-vermaak seolah kitab porno.Â
Sata kutipkan fungsi fundamental Kama Sutra dalam pencapaian tujuan hidup manusia (hal: 9):
Bagian filosofis dari Kama Sutra terletak di bagian pengantar atau Bab kedua. Pada bagian ini Vatsyayana mengutip Veda, yaitu dalam hubungannya dengan Catur Purusarthas. Catur Purusarthas, atau Empat Tujuan Hidup merupakan pandangan hidup umat Hindu yang mengidealkan tahapan hidup yang seimbang. Catur Purusarthas terdiri dari pertama, Dharma atau kebaikan, kedua adalah Artha atau kesejahteraan materiil, ketiga adalah Kama, yaitu cinta dan kepuasan indrawiah dan yang terakhir adalah Moksha, atau pembebasan diri menuju Tuhan.
Vatsyayana menuliskan, "Dharma lebih baik dari Artha, sedangkan Artha lebih baik dari Kama."(Kama Sutra I.2.14) Melalui statemen singkat ini Vatsyayana menekankan bahwa kebaikan dan kebijaksanaan adalah pencapaian yang tertinggi apabila dibandingkan dengan kekayaan dan cinta. Kemudian apakah substansinya aktivitas Kama atau cinta, apabila tujuan utama dari manusia adalah Dharma atau kebaikan? Vatsyayana berargumentasi secara baik, dalam realitasnya manusia telah diberikan kemampuan dan keistimewaan untuk merasakan kenikmatan dan mengkontemplasikan kenikmatan, "Seksualitas adalah esensial dalam keberlangsungan hidup manusia"(Kama Sutra II.37).Â
Saya tidak terlalu paham dengan persis apa yang dimaksud dengan "Penis Envy (PE)". Saya menjumpai PE dari pembelajaran awal tentang pembagian kerja secara seksual yang ditulis Arief Budiman.Â
Asal usul PE berakar pada teori psikoanalisis Sigmund Freud. Saya memahaminya, dengan segala resiko salah paham, sebagai transisi psiko-seksualitas yang mengakibatkan kekosongan pada perempuan. Sebab tak memiliki alat reproduksi ini, "yang perempuan" seolah mengalami kekosongan dan mengalihkan rasa cemburunya dengan mencari perhatian pada figur ayah.Â
Secara terbalik, pada laki-laki, konsepsi PE menjelaskan hasrat tersembunyi untuk selalu dominan. Erich Fromm yang dikutip Arief Budiman dalam buku tersebut bahkan mengatakan jika asal-usul patriarkisme (ideologi selalu mengutamakan laki-laki) memiliki jejak psiko-seksual dalam hubungan seksual dimana laki-laki harus berjuang menegakkan organ vitalnya sementara tidak berlaku pada perempuan. Dalam humor populer, kita mengenal itu lewat cerita suami yang meminta istrinya menyediakan landasan sebab papah mo pulang beibeeh.Â