Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bagaimana Kehilangan Melahirkan Manglehorn

5 Oktober 2017   20:31 Diperbarui: 5 Oktober 2017   20:38 670
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: www.etsy.com

Sebelumnya, kau sudah ku ceritakan sedikit pengggal rahasia Manglehorn yang menghabiskan kesepiannya dengan Fennie, sebuah kamar tanpa daun jendela, serta uban yang gigih di masa tuanya. Kau telah tahu bahwa lelaki yang ketampanannya tak pernah teringkus waktu, pada akhirnya, memilih terlahir baru dengan menghanguskan rahasianya. Tindakan yang terlambat.

Dari Manglehorn, kau telah kuberi tahu bahwa di batas terakhir daya tahan, manusia baru akan menyadari jika penderitaannya tidak diakibatkan siapa-siapa. Penderitaan manusia diakibatkan oleh pertanyaan yang salah atau jawaban keliru kepada hal-hal yang berharga--atau menurutnya berharga--  bagi hidupnya.

Akan tetapi, baiknya kita tidak mempercakapkan ini sebagai satu perkara yang akan digunakan salah satu dari kita sebagai daftar motivasi dan kisah-kisah inspiratif. Kisah Manglehorn bukanlah bahan untuk sejenis kursus hidup layak dan bahagia. Untuk yang terakhir ini, mari kita hargai dia.

Jadi, mari kita lihat penggal sejarah Manglehorn sebelum kamar rahasia ada dan Fennie menjadi satu-satunya yang dipanggil dengan, "Hai Cantik!"

Manglehorn muda datang dari jauh, datang dari kehidupan sederhana dengan pelajaran-pelajaran tentang kesetiaan dari leluhurnya. Kesetiaan bagi mereka adalah daya juang untuk menunjukkan kemampuan bertahan pada satu keputusan yang sudah diambil. Itulah harga hidup seorang Manglehorn.

Karena itu, sebenarnya, hidup Manglehorn sungguh sepi dari drama. Ia selalu tangguh, dengan senyum yang setia, melewati hari dengan begitu-begitu saja. Bahkan ketika ia harus berkali-kali mengatakan kepada rambutnya, "Aku telah tua, kota ini sama adanya, sadarkah kau jika kita tak pernah pergi kemana-mana?" ia akan melakukannya dengan gairah yang sama.

Demikian ketika Manglehorn muda datang ke kota yang menjadi penghabisan sisa waktunya. Dia hanya berbekal kemampuan sebagai tukang kunci. Kunci apa saja. Kunci dari zaman mana saja tak bisa menyembunyikan rahasia dari kecakapan Manglehorn. Dan pada suatu hari.

"Apakah Anda Tuan Manglehorn?"

Perempuan dengan wajah bundar yang sabar menatap cemas di depan bengkel kerja Manglehorn.

"Ya, saya Manglehorn."

"Bisakah Anda membantu saya? Saya akan membayar berapa saja. Saya butuh bantuan. Secepatnya, Tuan."

"Saya masih harus menemukan kunci untuk rumah di ujung jalan itu. Perempuan tua yang mulai pikun lupa meletakkan barang paling penting untuk masa tuanya. Sudah dua hari dia membuatku meragukan diriku sendiri, Nona...maaf, Anda belum lagi menyebut nama."

"Saya mohon Tuan, ini jauh lebih berharga dari hidup perempuan di ujung pikunnya itu. Please."

Apakah yang membuat wajah bundar yang seharusnya mampu bersabar tampak memaksakan dirinya sendiri jika bukan perkara hidup dan mati?

"Oke. Apa yang bisa aku lakukan, Nona..?"

"Tiara."

Tiara kemudian menceritakan sebab kecemasannya. Berkali-kali Manglehorn menatap mata hampir menyerah lalu kehilangan kemampuan memikirkan cara lain. Mata yang membuat Manglehorn menyadari bahwa hal-hal yang tampak remeh seperti tukang kunci tidak pernah benar-benar sepele.

Sumber kecemasan Tiara adalah dia lupa letak sepasang kunci dari lemari besi yang menyimpan dokumen yang menjelaskan dari mana asal-usulnya. Semacam dokumen yang menjadi bukti bahwa dirinya adalah keturunan yang sah. Karena itu memiliki hak waris.

Dalam seminggu ini, dokumen itu harus dihadirkan dalam persidangan. Tiara sendiri telah menghabiskan tiga hari mencari sendiri. Dua hari mencoba jasa seorang Gipsi dengan lampu kristal dan kartu. Gagal. Sehari lagi dengan histeris. Sehari sisanya---kini dia berharap keajaiban dari Manglehorn.

Manglehorn ingin sekali tersenyum mengenang enam hari Tiara yang kacau balau. Orang kota yang ketakutan tanpa warisan. Seolah saja hidup dimulai dengan kecukupan bahwa kita akan selalu baik-baik saja sampai kematian datang.

Membuat tiruan kunci untuk lemari besi? Hanya butuh sejam bagi Manglehorn. Sejam yang memenangkan hak waris Tiara. Yang menenangkan wajah bundar Tiara dari kecemasan akan masa tua berkekurangan. 

Tukang kunci selalu berhubungan dengan sesuatu yang privat dari hidup manusia. Sesuatu yang membuat dunia manusia menemukan kenyamanan diri atau menyembunyikan sesuatu yang hanya boleh diketahui tanpa kewajiban berbagi, ingatlah wahai Manglehorn!

Selanjutnya, hidup Manglehorn kembali mengurusi perempuan tua yang mulai pikun. Seorang petugas pasar malam yang kehilangan kunci kontrakannya. Seorang pemuda yang diusir dari rumah karena menghilangkan kunci kantor ayahnya. Seorang pejabat dari luar kota yang kehilangan kunci kamar tempat ia menghabiskan akhir pekan dengan sekretarisnya yang tergila-gila pada jalan pintas kesuksesan.

Begitu seterusnya. Orang-orang yang takut kehilangan kunci untuk melindungi privasinya datang silih berganti ke bengkel kerja Manglehorn. Anehnya, mereka selalu saja kehilangan kunci. Manglehorn bahkan tak bisa lagi menghitung beberapa warga yang telah bolak-balik memohon keajaiban darinya.

Lebih aneh lagi, Manglehorn belum sadar jika dialah sesungguhnya kunci bagi seluruh warga kota. Dialah malaikat penjaga yang tidak pernah meminta disebut dalam doa-doa. Manglehorn masihlah seseorang yang datang dari jauh dengan petuah-petuah tentang kesetiaan yang sederhana.

Kesetiaan pada pekerjaan yang tampak remeh. Kesetiaan menolong orang-orang kehilangan yang itu-itu saja. Tak pernah naik pangkat. Tak pernah merasa terhormat dengan sanjungan. Bahkan, beberapa dihadapi tanpa pernah mengucapkan terima kasih.

Lantas, di bagian mana dari hidup Manglehorn yang membuat terperangkap pada pertanyaan salah atau jawaban keliru itu? Pada bagian mana, perempuan bernama Kinasih hadir dan menciptakan penggalan dramatik bagi masa tua Manglehorn?

Sejujurnya, ini adalah bagian kisah yang sedikit rumit. Tapi, barangkali sebagai pengantar, kau harus membayangkan sebuah patahan dari sesuatu yang rutin. Kau juga harus bisa membayangkan apa yang bukan drama bagi hidup Manglehorn berbalik arah menjadi drama yang hampir menguras habis daya tahan si tukang kunci.

Kinasih adalah kehadiran yang samar-samar dan tipis batasnya dengan misteri. Kau masih ingat jika Kinasih adalah himpunan rahasia yang terarsip rapi dalam kamar tanpa daun jendela dengan hanya seorang Manglehorn yang boleh bolak-balik di sana?

Manglehorn memang pernah menulis surat seperti ini:

Kinasih, aku adalah tukang kunci paling setia yang dimiliki kota dengan orang-orang yang aneh. Mereka menjaga privasi dengan menghilangkan kuncinya. Tapi aku meragukan jika aku mampu menjadi tukang kunci yang tabah ketika kehilangan privasinya sendiri. Di hari kau pergi.

Karena itu, menurutku, Kinasih adalah kehilangan terbesar si tukang kunci yang membuatnya tak lagi melihat ada manusia lain di kota yang telah menjadikannya sesetia malaikat penjaga. Kehilangan yang terlalu berat sehingga terlambat menyadari jika setiap hari adalah pagi bagi kelahiran.

Dan aku tak memiliki tega demi mengetahui bagian ini. Sekali lagi, jangan menghina kemalangan Manglehorn dan Kinasih dengan membuat kisahnya sebagai daftar motivasimu.

Terlebih dari aku. Aku hanyalah menara pengawas yang membuat surat-surat Manglehorn tak pernah dibaca Kinasih. Sebelum Kinasih dimakan pikun. Sebelum aku berakhir di beranda rumah jompo.

***   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun