Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Wasiat Peristiwa Kepada Pengarang

27 September 2017   11:52 Diperbarui: 27 September 2017   12:20 591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebanyakan orang menghindari misteri hidupnya sendiri.

Peringatan Kelima.  Jangan pernah memaksakan apa yang kau mengerti ke dalam tubuhku dan berharap dia menjadi kesan yang sama di kepala yang membacanya.

Ini bukan soal pesan harus sampai secara utuh. Tidak juga tentang cerita harus diulang secara persis. Ini tentang bahaya yang akan selalu menjebakmu. Bahaya yang berpangkal pada pemaksaan yang sia-sia kepada sesuatu yang merupakan kesan-kesan terbatasmu atas perisitiwa dan karena itu juga menjadi terbatas pada yang membacanya.

Sadarilah, urusanmu tak lebih dari menceritakan bagian yang mungkin kau jangkau. Berlebih-lebihan hanya akan menjadi kutukan untukmu.

***

Pagi itu, Peristiwa mengakhiri tugasnya menyertai seorang pengarang yang menunda mati menanggung kebuntuan panjang.

Wajah pengarang itu terlihat lebih, pucat dan tampak jelas sekali, di wajahnya berkubang malam-malam resah. Mungkin juga malam-malam dimana si pengarang mengalami benturan keras oleh rapuh keyakinan yang dipegangnya bertahun-tahun lama. Segala yang dipercayanya kini rontok dan meninggalkan sakit. Dia melihat senjakala terus merah dalam bayang-bayang siluet.  

"Sepanjang hayat, aku telah disilaukan oleh kesombongan yang mengerikan. Merasa selalu dipanggil melayani tugas-tugas nan gagah berani dengan kisah-kisah sesak heroisme serta daya juang adimanusiawi. Seolah saja aku melampaui peristiwa, memahami segala yang terkandung padanya dan mengerti apa yang dikehendaki, pada akhirnya. Aku lebih dungu dari Narsisus." 

Kata-kata yang dibacakan hanya untuk dirinya sendiri. Sedang di depan mulutnya yang gemetar, sepasang mata lelah yang lain hanya menyisakan kebisuan. Mata itu telah membawa pergi hal terbaik yang dibutuhkan: kemampuan mendengar dengan sabar serta mengingatkan dengan gigih. Mata perempuan. Mata istrinya yang memilih menyerah dari balik selembar lukisan buram. 

Pengarang yang malang. Yang mengilusi dirinya Nabi. Atau kepala bedil yang lebih sakti dari nurani.

Seutas tali menjadi prasasti kematiannya yang sepi.

*** 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun