Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Wasiat Peristiwa Kepada Pengarang

27 September 2017   11:52 Diperbarui: 27 September 2017   12:20 591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Jon Peddie Research

Peringatan Pertama. Jangan pernah memahami aku sebagai ihwal yang mengatasi ruang dan waktu. Melampaui sejarah manusia dan dunianya, kemalangan atau kebahagian mereka. Yang fana dan faktual.

Aku hanya mungkin lahir oleh pergumulan yang khusus. Pada peristiwa-peristiwa yang mengitari dan mengisi keberadaanmu. Entah dalam masa tenang atau masa sarat gonjang-ganjing. Bahkan ketika kau merasa telah melucuti dan membebaskan aku ke alam khayalimu yang menari-nari, sadarilah bahwa itu tak lebih dari usaha memainkan kesan ke dalam percakapan yang tak lazim digunakan.

Peringatan Kedua. Jangan pernah percaya pada apa yang langsung ditampilkan oleh perisitiwa, oleh gambar-bambar  yang lekas kau cecap dengan mata atau menimbulkan getar-getar tertentu dalam sensasi emosimu.

Seseorang pernah mengingatkan jika rangkaian peristiwa selalu berada dalam hubungan kisah yang rumit. Manusia bercerita karena ingin menyederhanakannya.

Aku berada dalam "ketegangan seperti ini", yakni usahamu untuk selalu memiliki cerita tentang hidup atau dunia sekitarmu yang ketika kau terjaga dari tidur, beberapa penggal kisahnya telah terhapus tanpa pernah bisa kau tahan. Bercerita menjauhkanmu dari ketiadaan akibat kehilangan penggal-penggal kisah namun tidak lantas ceritamu adalah yang sebenarrnya cerita.

Peringatan Ketiga. Sadarilah selalu jika bercerita tentang sesuatu yang tak sepenuhnya tergenggam pengertian atau dalam kata-kata yang terang juga sama mengatakan bahwa selalu tersedia kondisi kosong. Paling kurang, kondisi remang dalam persilangan yang (tampak) terang.

Kosong  bukanlah bengong, yang lebih mirip suasana dimana kau kekurangan kata-kata untuk mengeluarkan cerita dari sebuah peristiwa.

Kosong adalah kondisi sunyi dalam mana lapisan tersembunyi peristiwa hanya bisa kau temui ketika kata-kata yang gelisah dan memaksa segera digunakan kau tangguhkan beberapa saat. Atau, kata-kata yang telah sering kau gunakan itu secara tiba-tiba dihancurkan oleh tenaga dalam peristiwa lantas yang tersedia kepadamu hanyalah keheningan yang berserak. Kau harus mengumpulkan keeping-keping itu!

Maksudnya, kau selalu harus bisa terlahir melalui kata-kata. Demikian kekosongan bekerja kepadamu.

Peringatan Keempat. Sebenarnya, peristiwa tak melulu ada di luar sana. Kau sendiri adalah peristiwa. Seluruh kau adalah hidup yang berjalan, rentetan yang berkelindan, kenyataan yang bersilangan.

Jika perisitwa yang tampak berada di luar sana selalu memiliki rahasia yang memandulkan perkakas kata-katamu, maka kemungkinan sejenis selalu tersedia untuk dirimu sendiri. Kau adalah misteri yang nyata.

Kebanyakan orang menghindari misteri hidupnya sendiri.

Peringatan Kelima.  Jangan pernah memaksakan apa yang kau mengerti ke dalam tubuhku dan berharap dia menjadi kesan yang sama di kepala yang membacanya.

Ini bukan soal pesan harus sampai secara utuh. Tidak juga tentang cerita harus diulang secara persis. Ini tentang bahaya yang akan selalu menjebakmu. Bahaya yang berpangkal pada pemaksaan yang sia-sia kepada sesuatu yang merupakan kesan-kesan terbatasmu atas perisitiwa dan karena itu juga menjadi terbatas pada yang membacanya.

Sadarilah, urusanmu tak lebih dari menceritakan bagian yang mungkin kau jangkau. Berlebih-lebihan hanya akan menjadi kutukan untukmu.

***

Pagi itu, Peristiwa mengakhiri tugasnya menyertai seorang pengarang yang menunda mati menanggung kebuntuan panjang.

Wajah pengarang itu terlihat lebih, pucat dan tampak jelas sekali, di wajahnya berkubang malam-malam resah. Mungkin juga malam-malam dimana si pengarang mengalami benturan keras oleh rapuh keyakinan yang dipegangnya bertahun-tahun lama. Segala yang dipercayanya kini rontok dan meninggalkan sakit. Dia melihat senjakala terus merah dalam bayang-bayang siluet.  

"Sepanjang hayat, aku telah disilaukan oleh kesombongan yang mengerikan. Merasa selalu dipanggil melayani tugas-tugas nan gagah berani dengan kisah-kisah sesak heroisme serta daya juang adimanusiawi. Seolah saja aku melampaui peristiwa, memahami segala yang terkandung padanya dan mengerti apa yang dikehendaki, pada akhirnya. Aku lebih dungu dari Narsisus." 

Kata-kata yang dibacakan hanya untuk dirinya sendiri. Sedang di depan mulutnya yang gemetar, sepasang mata lelah yang lain hanya menyisakan kebisuan. Mata itu telah membawa pergi hal terbaik yang dibutuhkan: kemampuan mendengar dengan sabar serta mengingatkan dengan gigih. Mata perempuan. Mata istrinya yang memilih menyerah dari balik selembar lukisan buram. 

Pengarang yang malang. Yang mengilusi dirinya Nabi. Atau kepala bedil yang lebih sakti dari nurani.

Seutas tali menjadi prasasti kematiannya yang sepi.

*** 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun