Kebanyakan orang menghindari misteri hidupnya sendiri.
Peringatan Kelima. Â Jangan pernah memaksakan apa yang kau mengerti ke dalam tubuhku dan berharap dia menjadi kesan yang sama di kepala yang membacanya.
Ini bukan soal pesan harus sampai secara utuh. Tidak juga tentang cerita harus diulang secara persis. Ini tentang bahaya yang akan selalu menjebakmu. Bahaya yang berpangkal pada pemaksaan yang sia-sia kepada sesuatu yang merupakan kesan-kesan terbatasmu atas perisitiwa dan karena itu juga menjadi terbatas pada yang membacanya.
Sadarilah, urusanmu tak lebih dari menceritakan bagian yang mungkin kau jangkau. Berlebih-lebihan hanya akan menjadi kutukan untukmu.
***
Pagi itu, Peristiwa mengakhiri tugasnya menyertai seorang pengarang yang menunda mati menanggung kebuntuan panjang.
Wajah pengarang itu terlihat lebih, pucat dan tampak jelas sekali, di wajahnya berkubang malam-malam resah. Mungkin juga malam-malam dimana si pengarang mengalami benturan keras oleh rapuh keyakinan yang dipegangnya bertahun-tahun lama. Segala yang dipercayanya kini rontok dan meninggalkan sakit. Dia melihat senjakala terus merah dalam bayang-bayang siluet. Â
"Sepanjang hayat, aku telah disilaukan oleh kesombongan yang mengerikan. Merasa selalu dipanggil melayani tugas-tugas nan gagah berani dengan kisah-kisah sesak heroisme serta daya juang adimanusiawi. Seolah saja aku melampaui peristiwa, memahami segala yang terkandung padanya dan mengerti apa yang dikehendaki, pada akhirnya. Aku lebih dungu dari Narsisus."Â
Kata-kata yang dibacakan hanya untuk dirinya sendiri. Sedang di depan mulutnya yang gemetar, sepasang mata lelah yang lain hanya menyisakan kebisuan. Mata itu telah membawa pergi hal terbaik yang dibutuhkan: kemampuan mendengar dengan sabar serta mengingatkan dengan gigih. Mata perempuan. Mata istrinya yang memilih menyerah dari balik selembar lukisan buram.Â
Pengarang yang malang. Yang mengilusi dirinya Nabi. Atau kepala bedil yang lebih sakti dari nurani.
Seutas tali menjadi prasasti kematiannya yang sepi.