Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Film Wu Kong dan Ujicoba Gaya Postmodern

13 September 2017   15:19 Diperbarui: 14 September 2017   06:20 4028
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film Wu Kong (2017) | Bestchinanews

Dalam novel berjudul Journey to the West karya Wung Cheng'en (1500-1582), sastrawan dari masa Dinasti Ming (1368-1644), kisah Sun-Wukung/Wu Kong a.k.a Sun Go Kong bisa kita ringkas dalam empat fase/masa yang penting sebelum mencapai Pencerahan Sempurna.

Pertama, Wu Kong lahir dari batu yang berada di kompleks Gunung bunga-bunga dan buah (Huaguo-shan). Gunung ini menerima saripati (qi) matahari selama beratus tahun. Wu Kong hidup bersama kawanan monyet yang kemudian mengangkat diri sebagai Raja Monyet yang Gagah (HandsomeMonkey King). Masalahnya, Wu Kong menyadari bahwa dirinya tak luput dari kematian (keberadaan yang fana). Karena itu ia berjuang secara gigih agar memiliki keabadian.

Fase kedua, masa dimana hasrat untuk abadi membawanya berkelana dan belajar pada salah satu pendeta Tao yang memberinya nama Sun-Wukung ("Sun" menunjukkan asal-usulnya sebagai monyet dan "Wukong" membawa pengertian sadar akan kekosongan).

Dari pengajaran ini, Wu Kong bisa menguasi seni bertarung, 72 perubahan bentuk, serta ilmu melompat ratusan mil jauhnya. Catatan lain menambahkan jika Wu Kong bisa mengangkut benda seberat 6750 Kg (13.500 jn). Memiliki kecepatan tinggi jika terbang, dapat menjelajah 108,000 li (54,000 kilometers) dalam satu lompatan serta mengetahui 72 transformasi binatang, benda dan sebagainya. Rambutnya memiliki kekuatan magis yang luar biasa, Ia juga dapat memerintah angin.

Sesudah menjadi Monyet Sakti, Wu Kong berkembang sebagai pribadi lupa diri dan angkuh, tumbuh sebagai siluman megalomania. Ia menciptakan kekacauan dan keresahan di istana langit. Untuk meredam aksi-aksinya, Kaisar Giok mengusulkan sejenik taktik "penjinakan". Yakni memberinya jabatan di kahyangan.

Ketiga, masa pemberontakan terhadap Istana Langit. Wu Kong yang berambisi hidup abadi berpikir ia akan dijadikan dewa. Ternyata hanya ditugasi mengurus kandang kuda. Si Raja Monyet nan Gagah ini tidak terima dan merancang pemberontakan pertama berhasil dijinakkan.

Pada pemberontakan kedua, Wu Kong tersinggung karena tidak diundang dalam jamuan Dewi Xiang Mu, Dewi yang mengatur Surga bagian Barat. Setelah mencuri persik keabadian milik Sang Dewi, meminum pil lanjut usia Lao Tzu, dan meminum anggur Kaisar Giok, Wu Kong kembali ke kumpulannya dan menyusun pemberontakan.

Keempat, masa hukuman dan penebusan dosa. Wu Kong tak pernah bisa mengalahkan kekuatan Istana Langit. Kaisar Giok memohon pertolongan Budha yang bukan saja mengalahkan tetapi juga menghukum Wukong dalam gunung batu selama lima abad. Sesudah lima abad, seorang pendeta bernama Xuanzang, seorang penziarah Dinasti Tang, ingin membuat perjalanan ke India untuk memperoleh sutra agama Buddha dan membutuhkan pengawal. Pada saat Wukong mendengar misi ini, dia menawarkan diri untuk ditukar dengan kebebasannya.

Wu Kong akhirnya diberi kesempatan namun dibekali dengan sejenis cekak/bendana yang menjadi alat kontrol kelakuannya oleh Dewi Welas Asih, Guanyin (Kwam In). Perjalanan Wu Kong dan Xuanzang ke Barat menghadapi 81 kesengsaraan sebelum berhasil dan kembali ke daratan Tiongkok. Wukong kemudian mendapat karunia Pencerahan Sempurna (Buddhabhva).

Empat fase dalam kisah Journey to the West dimana sosok Monyet Sakti ini dihidupkan dapat pula dilihat sebagai "epos-spiritual". Yakni kisah pencaharian seekor monyet demi mencapai pencerahan diri dengan melewati berbagai macam ujian, kemalangan, pemberontakan, dan hukuman. Ini juga bisa disebut sebagai novel bergenre Sufistik/Suluk, yang berkisah tentang pencaharian jalan ruhani seekor monyet demi bebas dari kukungan gairah-gairah hewani dalam dirinya.

Narasi kisah Wu Kong sedemikian yang akrab di ingatan saya dan rasanya pada banyak orang yang pernah mengikutinya.

Karena saya belum melakukan riset, tidak terlalu jelas apakah dalam banyak versi tentang Sun Wu Kong (karakter yang pernah diantaranya dibintangi Donnie Yen dan Jet Lee), terutama lewat media film, muatan "epos-spiritual" adalah inti nilai yang mengikat seluruh tafsir tersebut. Walau tanpa riset menyeluruh, pada film Wu Kong (2017) yang dibintangi oleh Eddie Peng dan Shawn Yue, saya melihat sesuatu yang berbeda dan penting dipercakapkan. 

Apa saja itu? Sekurang-kurangnya, ada dua alasan utama yang bisa diajukan.

Pertama, film yang disutradari Derek Kwok yang merangkap penulis naskahnya, diadopsi dari novel berjudul Wu Kong Biography. Novel yang ditulis oleh Zeng Yu dengan nama pena Jin Hezai ini merupakan salah satu yang popular di internet. Sejak tahun 2000an, novel ini laris dijual sebanyak dua juta kopi dan disebut-sebut sebagai "No 1 Internet Novel".

Wu Kong Biography menceritakan kisah 500 tahun sebelum Journey to the West. Sebagaimana terlihat dalam filmnya, Wu Kong diceritakan tidak dalam urutan kronologis (dari kelahiran hingga pencerahan) atau menjelajah satu episode dalam epos Perjalanan ke Barat .  

Laman china.org.cn mengatakan jika Biografi Wu Kong adalah narasi alternatif tentang Sun Wukong, Si Raja Monyet yang bersumber pada kisah klasik China, Perjalanan ke Barat. Ini menceritakan kembali kehidupan Sun Wukong dengan cara yang lebih liar dan lebih imajinatif dengan gaya post-modern. Beberapa karakter (tokoh) di dalam buku dan film berasal dari sumber asli (Perjalanan ke Barat), namun beberapa lagi merupakan hasil kreasi atau diinspirasi dari film "kultus-komedi" berjudul A Chinese Odyssey yang diperankan Stephen Chow.

Bagaimana persisnya melihat klaim di atas, khususnya tentang gaya post-modern itu?

Sejauh yang terlihat dalam filmnya, Wu Kong kali ini ditampilkan sebagai Monyet Sakti yang berkehendak menghancurkan "mesin takdir" yang membelenggu nasib manusia. Oleh gurunya, Wu Kong bukan saja diwariskan kesaktian namun juga cara pandang tentang relasi dunia dewa-dewa dan dunia manusia.

Cara pandang yang pada intinya mengecam dunia dewa-dewa sebagai kumpulan mereka yang sok kuasa dan menghambat kemerdekaan manusia sebagai makhluk yang berhak memilih jalan nasibnya sendiri-sendiri. Dunia dewa dan ajaran yang menuntut kepatuhan kepadanya adalah "sesuatu yang ideologis" dalam terma Marxisme: struktur kesadaran palsu yang dirawat untuk menyembunyikan realitas penindasan.

Misi Wu Kong adalah menghancurkan mesin takdir yang mengerangkeng kebebasan manusia. Karena "alasan sudah takdirnya" dan daerah hunian para iblis, kampung halaman Wu Kong yang dahulu berupa gunung dengan bebungaan dan buah-buahan dimusnahkan. Manusia yang masih hidup di sana dengan segala usaha dan ketabahan melewati penderitaan (selalu diserang siluman) tidak memiliki harganya di mata para dewa-dewi. Pembenaran takdir dewa-dewi adalah salah satu motivasi profetik yang memelihara perlawanan Wu Kong.

Pada ujicoba pertama, misi Wu Kong tidak berhasil. Bukan saja harus menghadapi tentara langit yang sakti, Wu Kong dijerat asmara Ah Zi, anak dewi yang mengendalikan mesin takdir. Seorang dewi yang keras hati dengan berprinsip untuk menjadi dewa, hilangkan segala perasaan terhadap ikatan-ikatan duniawi. Asmara telah melemahkan.

Kegagalan ujicoba pertama ini juga ditandai oleh terlemparnya Wu Kong, Ah Zi, Yang Jian/Erlang Sen dan Tiang Pen, dua pengawal elit Istana Langit. Yang Jian adalah pemuja rahasia Ah Zi sedang Tiang Pen adalah kekasih yang terpisah. Keduanya memiliki hambatan psikis untuk menjadi dewa, terutama Ah Zi dan Yang Jian.

Keterlemparan ke dunia manusia, ke kampung halaman Wu Kong membuat kekuatan-kekuatan super adimanusiawi mereka hilang. Bergabung dengan manusia biasa yang bertahan di lembah gunung yang hitam dan gersang, mereka berjuang melawan serangan siluman, merawat harapan, dan menikmati asmara manusia.

Ah Zi menjadi lebih rapat dengan Wukong, Tian Peng bertemu dengan kekasihnya yang ratusan tahun terpisah oleh keharusan reinkarnasi, sementar Yang Jian menemukan sosok ibu.

Perkembangan ini membuat gerah kuasa Istana Langit, khususnya sang Ddewi, ibunda Ah Zi. Pada saat bersamaan, si ibunda yang gemar berpakaian serba hitam, memiliki ambisi mengambil jantung batu Wu Kong yang dapat membantu menyempurnakan kesaktiannya. Maka dikirimlah pasukan elit untuk memusnahkan seluruh penghuni kampung hanya dengan mengubah salju menjadi potongan es yang tajam.

Lembah yang hitam dan gersang berubah ladang pembantaian dan para manusia fana di dalamnya menjadi serakan bangkai. Ah Zi dan Yang Jian dibawa pulang, Wu Kong dan Tiang Pen sekarat terkapar.

Dalam keadaan sekarat ini, Wu Kong didatangi gurunya. Ketika Wu Kong tersedu-sedu meratapi kekalahannya, sang guru justru mengatakan jika tragedi yang dialami adalah momen untuk melampui batasan dirinya. Kematian orang-orang tak berdosa yang menjadi tumbal, kampung halaman yang kembali dihancurkan, perpisahannya dengan Ah Zi, serta rasa sakit karena gagal adalah kondisi yang harus dialami sebelum bersua kekuatan terdalamnya.

Dialog seperti ini mengingatkan pada biografi Batman yang disutradarai oleh Christoper Nolan atau Raja Arthur dalam versi tafsir Guy Ricthie. Dua sosok imajiner-mitologis produk Barat itu juga berangkat dari kemalangan-kemalangan sebelum mencapai kondisi terhebat mereka sebagai individu atau pemimpin.

Kisah selanjutnya sudah bisa ditebak. Wu Kong kembali dengan kesaktian berlipatganda. Kuasa takdir langit bersama sang dewi dihancurkannya. Hanya Yang Jian yang tersisa. Keduanya kemudian berpisah dengan peringatan akan permusuhan abadi.

Dari ringkasan atas film yang sudah dirilis pada 13 Juli kemarin, Wu Kong kali ini tidak lagi tergambar sebagai sosok yang mencari keabadian dan hidup sebagai dewa di megahnya Istana Langit yang serba berkuasa atas nasib manusia. Berseberangan dari itu, simbol Wu Kong kini mewakili simbol Iblis (the Evil) yang akan selalu menciptakan perlawanan terhadap aturan-uturan langit yang dipandang hanya sebagai belenggu bagi kemerdekaan manusia.

Di titik inilah, apa yang disebut sebagai "post-modern style" oleh Chinese.org mungkin bisa dimengerti. Yakni gaya pembalikan pembalikan kategori antara yang baik dengan yang jahat (oposisi biner) sehingga persepsi lama mengalami sejenis dekonstruksi. Jika dalam narasi arusutama, Wu Kong adalah perlambang dari kebinatangan yang mencapai pencerahan spiritual melalui bermacam ujian, pada Wu Kong versi internet adalah perlambang dari usaha manusia untuk menjadi manusia dengan segala macam pergumulannya. Tanpa membutuhkan dewa-dewi. "Tuhan telah mati, kitalah yang membunuhnya!". Kata Nietzsche.

Mungkin karena karakter cerita yang seperti inilah, novel karya Ze Yu bisa laris manis. Karakter cerita yang mengisi kesadaran "generasi post-truth" yang telah muak dengan perintah atau ideal moral serba hitam-putih. Karakter cerita yang juga membuat sosok Joker rekaan Nolan selalu hidup dan tak tergantikan.   

***

Ringkasan cerita Sun Wu-Kung diambil dari Wikipedia, Panteon.org dan Budaya Tionghoa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun