Di rumah sakit tersebut, kami harus melewati prosedur administrasi dari satu loket ke loket yang lain sebagaimana kebanyakan pasien. Prosedur seperti ini bukan saja bermaksud menciptakan proses yang tertib namun juga (diniatkan) menjamin efisiensi dan efektifitas walau yang masih terjadi di rumah sakit pemerintah adalah birokrasi yang bertele-tele.Â
Peristiwa paling menohok adalah ketika teman tersebut harus di-CT scan.
Dia harus berhadapan dengan jenis layanan yang bekerja dengan "dingin seperti mesin". Tak ada banyak percakapan selain pemeriksaan berkas, perintah untuk puasa, dan diantar kedalam ruangan. Dia terasa seperti obyek yang harus dilayani karena ketentuan. Tak ada percakapan yang meletakkan dirinya sebagai manusia sakit dengan dimensi psikis yang perlu dipertimbangkan. Bukan seonggok daging yang sedang ngantri ke dalam mesin cuci (ciri depersonalisasi).Â
Bahkan ketika dia harus membuka jarum yang menjadi saluran obat lewat jalan darah, itu pun berlangsung dalam suasana minus tanya-jawab yang mungkin basa-basi tapi dibutuhkan. Dalam hati, saya hanya mengatakan, mungkin mereka lelah.
Saya lantas ingat sebuah kasus yang lain. Yakni cerita seorang teman yang membawa istrinya ke salah satu rumah sakit swasta besar. Istrinya yang sedang mengandung anak pertama mereka. Atau dengan kata lain, kelahiran yang pertama. Teman saya ini mengisahkan jika di rumah sakit tersebut, paramedis bekerja cekatan. Kualitas layanannya maksimal memuaskan. Tetapi?
Pasien harus lebih dahulu membayar jenis layanan sesuai dengan rekomendasi yang disarankan oleh paramedis yang menangani, tentu saja.Â
Saya terus bertanya padanya, sebagai awam, sejauh apa kita bisa percaya bahwa rekomendasi tersebut tepat? Maksudnya, semata-mata karena pertimbangan medis dan bebas dari motif ekonomi? Tidak ada yang bisa memastikan. Satu-satunya yang pasti, siapkan uang Anda! Anda membayar lebih, mendapatkan layanan lebih. Ekonomis sekali.Â
Satu hal yang penting bahwa gelombang McDonaldisasi sangat erat berhubungan dengan logika keuntungan (profit), penumpukan (accumulated) dan perluasan wilayah atau jaringan kerja organisasi (expansive). Tujuan terbesarnya adalah menjadikan tata-nilai McDonald sebagai, apa yang disebut pemikir fenomenologi, kesadaran sehari-hari /Pra-Ilmiah dan membentuk labenswelt (dunia-kehidupan) warga dunia. Itu sama artinya dengan mendorong global monoculture. Â
Ketika tata nilai tersebut menjadi kesadaran sehari-hari yang rutin, kita akan menerimanya sebagai ihwal yang biasa, sudah begitu, sudah dari sananya. Seolah saja itu sesuatu yang alamiah bukan by design. Kita tidak lagi melihat ada sesuatu yang tidak selalu bisa diterima dalam konteks pemenuhan layanan dasar yang bukan semata-mata dikarena perkara administasi bertele-tele. Namun karena "relasi kuasa dan fungsi-fungsi tersembunyi" yang non-medis. Sekali lagi, ini sesuatu yang berciri struktural tak semata moral.
Berhati-hatilah pada yang seolah Homo Socius namun menyimpan hati penyembah Homo Economicus.
***