Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Melihat Kerja Terbaru Liman dalam Film The Wall

30 Agustus 2017   11:17 Diperbarui: 3 September 2017   15:12 3427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Doug Liman baru menyutradarai film yang disebut sebagai karya yang membuatnya keluar dari zona nyaman. Film itu berjudul The Wall (2017), yang bertema "Perang Sniper" dalam latar besar perang Irak. Sebagaimana dimuat dalam denofgeek.com, selama 23 tahun berkarya, baru pada film yang dibiayai hanya $3 million, sutradara kelahiran tahun 1965 ini berusaha menunjukan kerapuhan manusia dalam ide besar bernama perang. Film yang mendialogkan sisi psikis di balik heroisme militeris, kurang lebihnya begitu.

Apakah Liman benar melampaui zona nyamannya? 

Sebagai penikmat karya Nolan, Ritchie dan Tarantino, Liman adalah kualitas sinematik yang tak terlalu familiar untuk saya. Hanya ada dua filmnya yang saya nikmati berulang kali. Yang pertama, adalah trilogi Jason Bourne, khususnya Bourne Identity (2002) serta Mr. and Mrs. Smith (2005). 

Pada film yang dibintangi dengan maksimal oleh Matt Damon ini, saya menikmati aksi kontra-intelijen mantan mesin pembunuh kelas wahid yang mengalami amnesia dan memburu masa lalunya yang hilang. Di film berbiaya $60 million, Liman berusaha menceritakan borok dari sistem operasi intelijen negara adidaya Amerika Serikat. Sedang pada yang kedua, film yang juga menandai dimulainya kisah cinta 14 tahun Brad Pitt dan Angelina Jollie, tema mesin pembunuh masih menjadi ciri utama. Berbeda dengan Bourne Identity, Mr. and Mrs. Smith menuturkan romantika sepasang pembunuh bayaran kelas mahal yang berbalik arah melawan organisasinya. 

Berbalik melawan sistem adalah benang merah dua film  tersebut.

Kali ini, Liman memang tampil berbeda. The Wall adalah kisah dua tentara yang sedang ditugaskan untuk menginvestigasi serangan terhadap para pekerja yang sedang membangun jalur pipa minyak di Irak paskaperang (maksudnya adalah paska penggulingan Saddam Husein). Dua tentara yang berfungsi sebagai penembak jitu ini justru terjebak dalam medan tarung yang dikondisikan penembak jitu musuh, seorang Irak yang pernah mendapatkan pelatihan dari Amerika.

Suasana gurun yang kering, pasir dan angin yang panas, dinding bekas sekolah yang hancur, jalur pipa dan mayat para pekerja serta satuan pengamanan memberikan gambaran tentang dua hal. Yang pertama, ambisi adidaya untuk mengendalikan ekonomi korban aneksasinya--dunia tahu alasan Perang Irak adalah alasan yang dicari-cari demi pemuasan ambis Kaum Neo-konservatif-Hawkish, AS--sekaligus, kedua, menunjukan wilayah yang asing dan tak sepenuhnya takluk walau telah porak-poranda. 

Dua tentara ini berada dalam ketegangan di atas. Mereka harus menjaga terwujudnya ide besar pembangunan ekonomi paska-perang di hadapan situasi yang tak mampu mereka kendalikan. Tak ada opsi lain selain berusaha survive di depan komedi tragis. 

Dengan karakter sinematik mengeksploitasi kerapuhan sistem adidaya sebagaimana dalam Bourne Identity, Liman berusaha menampilkan tema yang sama. Asiknya, kali ini ditampilkan tidak dalam aksi herois namun dalam percakapan antara musuh. Percakapan antara si penembak jitu Irak dengan Sersan Allan Isaac (Aaron Taylor Jhonson), sang Spotter. 

Percakapan yang disebut sebagai "permainan psikologi Kucing dengan Tikus". Dalam analogi kucing dan tikus, kita bisa membayangkan suasana psikis yang penuh dengan ketakberdayaan di depan malaikat kematian. Liman menunjukan suasana ini dalam kemampuan penembak jitu Irak masuk ke frekuensi lokal radio tentara Amerika dengan markasnya. Selanjutnya lewat percakapan dimana si penembak jitu Irak dengan enteng mengatakan jika ia sengaja menembak pembuluh darah besar dekat lutut untuk membuat Isaac mengalami pendarahan. 

Dia juga mengatakan jika ia menembak antena radio untuk mengisolasi Isaac dan Sersan Shane Matthews (John Cena) yang sudah lebih dahulu dibikin tiarap. Dan menembak botol air yang memaksa Isaac bertarung dengan dehidrasi. Ia sungguh-sungguh penembak jitu yang bukan saja mengendalikan medan. Ia juga mematikan.

Namun barangkali percakapan menohok yang menyindir nilai-nilai Amerika adalah ketika si penembak jitu mengatakan, "Kalian Amerika, kalian pikir kalian tahu segalanya." Lantas menambahkan, "Kalian telah datang ke negara orang lain. Menyarukan diri di tanah kami. Dari sudut pandangku, kaulah yang terlihat seperti teroris," sebagai balasan untuk Isaac yang menyebutnya teroris sialan.

Sedangkan kata-kata paling menghancurkan daya tahan psikis adalah manakala si penembak jitu Irak menggali alasan Isaac terus berada di Irak. "Perang sudah selesai. Apa alasanmu ada di sini? Sudah berapa banyak tur yang kau jalani? Mengapa kalian selalu kembali? Apakah karena Dean?"

Penembak jitu Irak ini ternyata adalah Juba, sosok hantu yang sudah membunuh 75 orang dan paling sulit dihabisi. Dialah Malaikat Kematian.

Dean adalah rekan Isaac yang tak sengaja ditembaknya. Dean dan Isaac berasal dari satu wilayah yang sama di tanah Paman Sam. Alasan Isaac kembali ke Irak adalah melarikan rasa bersalah dan mengawetkan kebohongan tentang kematian Dean. Atau dengan kata lain, Liman sedang menunjukan jika alasan prajurit Amerika terlibat perang tidak selalu bermotif patriotisme. Atau sebagaimana alasan para penguasa maniak, demi Demokrasi dan Perdamaian Dunia, bla..bla..bla.

Dan akhir cerita ini ditutup oleh penjemputan Isaac oleh dua heli yang kemudian jatuh. Juba menembaknya. Juba bukan saja memenangkan perang antar penembak jitu. Juba juga memenangkan perang psikisnya. 

Lantas, apakah Doug Liman benar telah keluar dari zona nyamannya?

Film bertema perang memang bukan hal baru bagi Liman karena ia pernah menggarap Edge of Tomorrow (2014) yang beraliran Sci-Fi. Namun, saya kira usahanya menggarap sisi psikis dalam perang modern Amerika seperti perang Irak adalah rintisan yang cukup berhasil. Terlebih jika mengingat biaya murah dibanding dengan Dunkirk (2017) milik Nolan yang berbiaya $100 million, Liman rasanya lebih ekspresif menjelajahi dunia batin serdadu yang terjebak perang. 

Jika eksplorasi dunia batin manusia yang tak berdaya adalah proyek baru sinematik Liman maka tampaknya dia sedang berusaha keluar.

Tapi jika melihat karakteristiknya yang gemar menguliti kerapuhan sistem adidaya dan dunia batin manusia yang suram, khususnya lewat tema-tema spionase seperti Bourne Identity, Liman belum kemana-mana. Kerja sinematik terbaru Liman masih menunjukan kritik-kritiknya terhadap klaim-klaim superioritas negara adidaya.

Tentu saja, itu semua menurut saya.

***

   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun