Mumpung sedang berada di salah satu orbit budaya urban di Indonesia, saya menyempatkan untuk melakukan dua persiapan sebelum duduk terjaga di depan layar besar yang sedang menampilkan Filosofi Kopi 2.
Persiapan yang dilakukan adalah pergi ke toko buku dan membeli ulang Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade milik Dee yang dkasih judul utama Filosofi Kopi (Bentang, Cet.XI: 2016). Dengan begitu, saya sedang memasukkan lagi ide dasar yang menjadi rahim dari kelahiran film yang dibintangi Chicco Jerico dan Rio Dewanto. Ide yang merupakan pembacaan kedua saya atas cerpen yang ditulis Dee tahun 1996 itu.
Dengan membaca kembali, saya harus memberi perhatian khusus jika tokoh Ben adalah jiwa yang terobsesi dengan cita rasa kopi yang sempurna. Di cerpen Dee, untuk melayani obsesinya, Ben dilukiskan sampai pergi ke kota-kota di Eropa, masuk ke dalam dapur barista-barista dan bergaul dengan macam-macam eksperimen dan rasa kopi.
Ben's Perfecto yang merupakan mahakarya Ben adalah hasil dari pergumulannya paska-Eropa yang kemudian keok oleh cita rasa kopi bernama Tiwus.Kopi dari kebun seorang petani desa sederhana. Kesederhanaan dan keikhlasan desa yang mengalahkan ambisi urban akan mitos kesempurnaan rasa.
Berikutnya, di dalam cerpen itu, apa yang disebut filosofi kopi tercermin dalam hubungan imajiner antara karakter manusia dengan pilihan jenis sajian kopi. Misalnya dalam percakapan, "Seperti pilihan Anda ini, capucciono. Ini untuk orang yang menyukai kelembuatan sekaligus keindahan." Ben tersenyum seraya menyorongkan cangkir. "Anda tahu, capuccino adalah kopi paling genit?"
Dalam dialog dengan pelanggan soal Capuccino, Ben menambahkan, "Seorang penikmat Capuccino sejati, pasti akan memandanngi penampilan yang terlihat di cangkirnya sebelum mencicipi. Kalau dari pertama sudah terlihat acak-acakan dan tak terkonsep, bisa-bisa mereka enggak minum."
Kalau Anda penikmat jenis sajian Capuccino, pasti langsung bisa melihat diri Anda di pelukisan Ben di atas.
Saya sendiri penyuka sajian kopi tubruk, apa filosofinya? Kata Ben, "Lugu, sederhana, tapi sangat memikat kalau kita mengenalnya lebih dalam."Â
Ben melanjutkan, "Kopi tubruk tidak peduli penampilan, kasar, membuatnya pun sangat cepat. Seolah-olah tidak membutuhkan skill khusus. Tapi, tunggu sampai Anda mencium aromanya."
Pelukisan filosofis yang menyusun "argumentasi spekulatif selera, jenis kopi dan tipe-tipe karakter manusia" inilah yang memikat dari cerpen Dee. Keterpikatan yang mungkin bagi para barista, atau penggila kopi yang ideologis, akan segera berkata, "Udik Lu. Ketahuan enggak ngerti kopi!" Keterpikatan saya terlalu sederhana.
Narasi hubungan filosofis sedemikian yang membingkai cara pandang saya ketika duduk selama 108 menit dalam gedung dingin bioskop yang sepi. Menyaksikan bagaimana alur cerita dihidupkan oleh Chicco Jerico, Nadine Alexandra, Rio Dewanto dan Luna Maya.
Seingat saya, dalam ruang dingin bioskop hanya ada tiga deret sebelah atas yang terisi cukup penuh. Kok sepi di tengah menjamurnya kedai kopi hampir di seluruh kota-kota di Tanah Air?
Pada akhirya, keluar dari bioskop, saya berjalan dengan menyimpan sejumlah mengapa.
Mengapa Pertama. Ben dan Jody yang berkeliling dengan mobil kombi yang membawa "Filosofi Kopi" keliling kota-kota di Jawa dan Bali mengapa harus kembali ke Jakarta lantas merancang kebangkitan kedai mereka? Ben dan Jody tidak bisa lepas dari "sesuatu yang stabil, mapan dan menguntungkan secara bisnis"? Jiwa bertarung Ben yang berjuang keliling kota-kota Eropa dengan menyerap filsafat kopi dengan modal nekad itu kemana?
Dus, mengapa mereka tidak diceritakan berkeliling saja ke kota/desa yang jauh dari pusat kesenangan urban, mengalami pelbagai perjumpaan tradisi ngopi dan filsafat yang dititipkan pada tradisi-tradisi itu?Maksud saya, mengapa konsepsi filsafat kopi Ben tidak dibenturkan dengan filsafat kopi yang lain, misalnya dari Tanah Toraja?
Problem biaya tinggi dalam produksi film? Kalau sudah begini, meneketehe!
Mengapa Kedua. Hadirnya sosok Tara (Luna Maya) sebagai penyandang dana yang belakangan ketahuan sebagai anak dari pengusaha sawit yang merampas kebun kopi ayah Ben dan mengakibatkan wafatnya ibunda Ben, seharusnya menjadi konflik yang menarik.Â
Konflik itu bisa menunjukan pertarungan antara kemenangan industrial terhadap keberadaan pusat tradisi. Dengan bahasa lain, dari kekalahan ayah Ben dan kematian ibunda karena mempertahankan kebun kopi (baca: tradisi kopi), mengapa cerita tidak diarahkan untuk mengelaborasi ada jenis kopi yang memiliki masa lalu kelam sebelum dia difilsafatkan.
Kopi itu adalah jenis yang bertahan hidup melalui pengalaman tragis! Kopi yang sudah hadir dalam ruang kenikmatan Anda dengan bermacam-macam spekulasi filosofisnya bisa jadi menyamarkan sejarah kelam kopi tersebut. So, jika sisi ini dielaborasi, barangkali bangunan filsafat kopi Ben akan runtuh semua atau sebaliknya, menonjolkan/memperkuat cerita sebagaimana muncul dalan "sejarah penemuan" kopi Tiwus yang membuat Ben's Perfecto keok.
Mengapa Ketiga. Adanya Brie (Nadine Alexandra), perempuan yang jatuh cinta pada kopi karena kedai milik Ben dan Jody sebelum ditutup. Brie adalah barista baru lulus memiliki sejarah bekerja bersama petani korban bencana dalam "melahirkan kembali" kopi sebagai alat bertahan hidup dan sistem nilai komunalnya. Di sini, kopi hadir sebagai obat kultural paska-bencana.
Kehadiran kopi sebagai "pemulih manusia dari tragedi hidupnya"--atau mungkin teman melarikan diri dari stress gaya hidup urban?--sebenarnya memiliki akar dalam biografi Ben sendiri namun mengapa tidak dibangun cerita dimana kedai Ben&Jody meletakkan dirinya sebagai ruang yang memfasilitasi "kopi-kopi dengan asal-usul menyembuhkan diri dari tragedi"?
Ternyata, Ben dan Jody hanyalah nomad urban dengan filosofi Sukses adalah wujud kesempurnaan hidup!
Mengapa Keempat. Jody (Rio Dwanto) yang bertindak sebagai menejer kedai, sahabat yang selalu mengalah, akhirnya tiba pada konflik yang mengancam kelangsungan kongsi dagang bertiga, bersama Tara dan Ben. Konflik dikarenakan masa lalu orang tua Tara dan Ben. Konflik yang kemudian berakhir oleh dialog diri yang menerima nasib dan drama cinta muda-mudi. Terlalu mudah tuntas. Klise.
Mengapa Jody tidak dikisahkan berkonflik hancur-hancuran karena terjatuh pada keyakinan Sukses adalah wujud kesempurnaan hidup (material) yang bebas dari adanya Ben? Dengan kata lain, acuan filosofi yang dilabelkan pada Ben's Perfecto itu berbalik dan menghancurkan penemunya?
Mengapa Kelima.Para pengunjung yang datang di kedai Filosofi Kopi yang kembali dilahirkan. Mereka ini hampir tiada jejaknya. Statusnya hanya konsumen yang lewat begitu saja. Padahal, di cerpen Dee, mereka bukan sembarang manusia. Mereka terikat dengan kopi sajian Ben karena "Menemukan Dirinya di kedai Ben&Jody".
Lantas, mengapa mereka tidak diberi ruang yang cukup untuk menceritakan latar belakang biografis keintiman mereka dengan kopi sajian Ben. Misalnya saja, ada sosok yang menjadi 'ideologis' dengan Filosofi Kopi dikarenakan menemukan spirit baru kehidupan sesudah celoteh renungan dari setiap kopi buatan Ben dan Brie?Karena itu, kedai Ben&Jody menjadi semacam ruang psiko-kultural bagi penyembuhan patologi urban.Â
Mengapa Keenam.Sebagai pamungkas dari sejumlah mengapa. Mengapa Filosofi Kopi 2 menyibukkan diri dengan konflik anak manusia di balik bar barista? Konflik yang, misalnya, mula-mula terjadi antara Ben dan Brie sebagai barista pemilik paten dan barista baru bekerja yang kemudian berpacaran dan memilih mengembangkan benih kopi warisan ayah Ben? Atau, konflik Ben dan Tara yang menimbulkan sedikit guncangan sebelum akhirnya berdamai tanpa ada "dialog eksistensial" antar mereka dan Tara terus jatuh ke pelukan asmara Jody?
Sederhana sekali. Sesederhana kalimat motivator di televisi, cinta baru akan segera menyembuhkanmu. Ini jenis konflik tanpa gambaran kerumitan psikis tiap pelakunya. Konflik pragmatis bahkan terhadap 'yang tragis'.
Enam Mengapa di atas tentulah berakar pada preferensi selera yang saya acukan pada sosok imajiner Ben sebagaimana dibangun pada cerpen Dee. Saya juga menyadari jika keenam pertanyaan di atas dikerjakan semua--dimasukan ke dalam plot film (Ih, pede banget. Siapa elu?)--maka pada akhirnya tak jelas, tak ada happy ending,hal yang terlarang dari drama cinta-cintaan.
Atau, sebagai konsumen film nasional, mungkin kita sudah harus bertanya, apa pentingnya merawat happy ending pada drama cinta-cintaan yang begitu-begitu saja? Atau, bagaimana jika kisah Filosofi Kopi digarap serupa drama korea dengan kegemaran mengeksploitasi hubungan konflik yang kompleks antar aktornya? Kalau demikian, maka sebaiknya yang menjadi Tara adalah Chelsea Islan.
Terakhir, dari sejumlah mengapa yang saya ajukan suka-suka itu, kepada Filosofi Kopi 2, harus dikatakan berkisah dengan jalinan emosi cerita yang hambar. Rasa hambar itu mulai terasa ketika Ben dan Jody kembali pada pusat gaya hidup urban. Kembali pada nostalgia akan kejayaan mereka sebelumnya.
Ben dan Jody kali ini tampak sebagai cermin pemujaan ideologi sukses kaum urban yang kelelahan. Urbanisme gaya hidup ngopi yang tak berani lahir baru dengan "jalan anarkis": sebagai kedai yang bergerilya dan berjumpa dengan tradisi ngopi pinggiran/non urban (Jakarta).
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H