Seingat saya, dalam ruang dingin bioskop hanya ada tiga deret sebelah atas yang terisi cukup penuh. Kok sepi di tengah menjamurnya kedai kopi hampir di seluruh kota-kota di Tanah Air?
Pada akhirya, keluar dari bioskop, saya berjalan dengan menyimpan sejumlah mengapa.
Mengapa Pertama. Ben dan Jody yang berkeliling dengan mobil kombi yang membawa "Filosofi Kopi" keliling kota-kota di Jawa dan Bali mengapa harus kembali ke Jakarta lantas merancang kebangkitan kedai mereka? Ben dan Jody tidak bisa lepas dari "sesuatu yang stabil, mapan dan menguntungkan secara bisnis"? Jiwa bertarung Ben yang berjuang keliling kota-kota Eropa dengan menyerap filsafat kopi dengan modal nekad itu kemana?
Dus, mengapa mereka tidak diceritakan berkeliling saja ke kota/desa yang jauh dari pusat kesenangan urban, mengalami pelbagai perjumpaan tradisi ngopi dan filsafat yang dititipkan pada tradisi-tradisi itu?Maksud saya, mengapa konsepsi filsafat kopi Ben tidak dibenturkan dengan filsafat kopi yang lain, misalnya dari Tanah Toraja?
Problem biaya tinggi dalam produksi film? Kalau sudah begini, meneketehe!
Mengapa Kedua. Hadirnya sosok Tara (Luna Maya) sebagai penyandang dana yang belakangan ketahuan sebagai anak dari pengusaha sawit yang merampas kebun kopi ayah Ben dan mengakibatkan wafatnya ibunda Ben, seharusnya menjadi konflik yang menarik.Â
Konflik itu bisa menunjukan pertarungan antara kemenangan industrial terhadap keberadaan pusat tradisi. Dengan bahasa lain, dari kekalahan ayah Ben dan kematian ibunda karena mempertahankan kebun kopi (baca: tradisi kopi), mengapa cerita tidak diarahkan untuk mengelaborasi ada jenis kopi yang memiliki masa lalu kelam sebelum dia difilsafatkan.
Kopi itu adalah jenis yang bertahan hidup melalui pengalaman tragis! Kopi yang sudah hadir dalam ruang kenikmatan Anda dengan bermacam-macam spekulasi filosofisnya bisa jadi menyamarkan sejarah kelam kopi tersebut. So, jika sisi ini dielaborasi, barangkali bangunan filsafat kopi Ben akan runtuh semua atau sebaliknya, menonjolkan/memperkuat cerita sebagaimana muncul dalan "sejarah penemuan" kopi Tiwus yang membuat Ben's Perfecto keok.
Mengapa Ketiga. Adanya Brie (Nadine Alexandra), perempuan yang jatuh cinta pada kopi karena kedai milik Ben dan Jody sebelum ditutup. Brie adalah barista baru lulus memiliki sejarah bekerja bersama petani korban bencana dalam "melahirkan kembali" kopi sebagai alat bertahan hidup dan sistem nilai komunalnya. Di sini, kopi hadir sebagai obat kultural paska-bencana.
Kehadiran kopi sebagai "pemulih manusia dari tragedi hidupnya"--atau mungkin teman melarikan diri dari stress gaya hidup urban?--sebenarnya memiliki akar dalam biografi Ben sendiri namun mengapa tidak dibangun cerita dimana kedai Ben&Jody meletakkan dirinya sebagai ruang yang memfasilitasi "kopi-kopi dengan asal-usul menyembuhkan diri dari tragedi"?
Ternyata, Ben dan Jody hanyalah nomad urban dengan filosofi Sukses adalah wujud kesempurnaan hidup!