Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Tiga Film "Anglosaxonian" dan Produser yang Kebingungan

11 Juli 2017   10:20 Diperbarui: 12 Juli 2017   07:23 1824
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Film King Arthur (2017) | Vanity Fair

Selain rekonstruksi "subyek Batman" yang dilakukan Nolan, ide dan narasi superhero produk industri film Hollywood mungkin sedang lesu gagasan. Kelesuan itu ditandai oleh kembalinya gairah untuk mengelaborasi elemen-elemen mitologi dari sejarah pembentukan bangsa Barat, khususnya dari puak Anglo-Saxon.

Bagaimana menggambarkan situasi ini?

Saya mengambil tiga film yang baru tayang di bioskop tanah air. Ketiganya adalah King Arthur: Legend of The Sword besutan Guy Ritchie, Wonder Woman besutan Patty Jenkins dan Transformers: The Last Knight besutan Michael Bay.

King Arthur-nya Ritchie bukan semata berkisah asal usul kemunculan legenda Raja Arthur dengan pedangnya yang superior, Excalibur. Ritchie, dalam pandangan saya, berusaha menunjukan konteks sosio-politis dalam sejarah kerajaan Inggris Raya (sejarah peradaban Anglo-Saxon). Konteks itu adalah aliansi bangsawan dan penyihir yang menopang tegaknya sebuah monarki. Karena itu, mantan suami Madonna ini, berusaha memberi bobot "yang mungkin secara sosiologis" dari kelahiran raja Arthur yang menjadi legenda.

Bobot itu adalah menyampaikan pesan bahwa tipe pemimpin seperti Arthur dilahirkan dari kehendak kekuasaan yang sakit, direpresentasi oleh adik ayahnya dan riwayat hidup Arthur yang terbuang dan tumbuh dari rumah prostitusi. Arthur memang memiliki trah raja namun porsi paling besar yang membentuk kualitas dirinya adalah lingkungan jelata yang keras. Tipe pribadi hebat yang dibentuk oleh kehidupan politik yang busuk.

Hanya saja, di tampilan visualnya, Ritchie sepertinya belum pergi jauh dari teknik visual Sherlock Holmes.

Ada pun Wonder Women, kisah komik dari garis produksi superhero Marvel, mengambil tilikan dari mitologi dewa-dewi Yunani. Khususnya adalah dendam kesumat dewa Ares yang tidak pernah percaya pada potensi manusia yang diciptakan ayahnya, Zeus. Manusia hanyalah sumber keburukan dan kejahatan. Dus, dalam teks teologi, Ares yang merupakan dewa perang adalah perlambang dari iblis yang melawan kehadiran Adam.

Sedangkan Wonder Women adalah sebaliknya, tentu saja. Ia adalah perlambang dari kepercayaan pada potensi manusia. Biografinya, dalam tafsir Jenkins, dibentuk oleh lokus budaya yang khusus: dunia penuh ksatria perempuan yang terpisah dari peradaban modern yang sedang terjebak perang melawan Nazisme.

Pertentangan nilai transenden seperti ini yang dihadirkan Jenkins dalam wujud konflik antara Amerika dan Jerman, antara pengusung humanisme dengan rasisme (jangan lupakan, Nazisme muncul dari kehendak memurnikan ras Arya ala Hitler). Sementara Amerika modern dibentuk oleh migrasi anak keturunan Anglo-Saxon. Singkat cerita, Wonder Women masih berdiri secara vulgar dalam cangkang lama idealisasi superhero Hollywood. Tidak menarik. 

Sementara Transformers, yang masih meneruskan kisah-kisah sebelumnya tentang aliansi robot-manusia dalam melindungi bumi dari kolonisasi robot yang jahat, "secara aneh" memasukkan legenda Raja Arthur ke dalam inti cerita. Michael Bay berusaha menunjukan jika persekutuan robot dan manusia sudah dimulai sejak kemunculan raja Arthur dalam memenangkan perang melawan pamannya.

Kisah pertempuran ini tertutup oleh narasi sejarah yang bukan saja membuat keterlibatan bangsa penyihir namun juga para robot terpinggirkan karena berfokus pada humanisme. Bay seperti hendak menunjukan "tragedi subyek pencerahan". 

Secara spekulatif, bagi saya, tiga film yang muncul dalam waktu bersamaan, memiliki "motif kehadiran" yang sama. 

Yakni, mengembalikan superioritas narasi Anglo-Saxon yang bukan saja perang melahirkan kerajaan dengan kuasa imperium. Tetapi juga menjadi rumah budaya dari lahirnya spirit manusia modern. Di dalamnya, ada semangat "cargo cult".

Cargo Cult adalah konsep antropologi yang menjelaskan kerinduan kolektif dalam kebudayaan Melanesia akan kedatangan penyelamat dari masa lalu, khususnya dalam kemunculan figur kharismatik, pada kekinian hidup yang sedang dalam krisis dan mengalami anomali menyeluruh. 

Dalam narasi tiga film di atas, maka spirit ini lahir oleh krisis yang diakibatkan oleh modernisasi yang merambah ke semua lini hidup, melahirkan fasisme (dalam Wonder Women) atau menciptakan perang habis-habisan (dalam Transformers). Simpul utama "penyelamat dari masa lalu" itu adalah Raja Arthur (superioritas kepemimpinan Anglo-Saxon) dan warisan kepahlawanan Yunani dalam sejarah peradaban barat. 

Karena kita tidak sedang membicarakan filsafat, di mana kegemaran menafsir mitologi ke dalam kerangka berpikir logis adalah ihwal biasa para filsuf, maka pertanyaannya adalah: dari tiga film yang tersimpul dari pemujaan masa lalu Anglo-Saxon itu, mungkinkah "ada sisi dalam ruang bawah sadar popular barat"atau "yang imajiner" dalam konsepsi psikologi Lacanian, mencerminkan gambar subyek yang kebingungan dengan misi sejarahnya sendiri?

Secara faktual, kondisi kebingungan ini, mungkin bisa diandaikan sedang mewabah, dengan melihat situasi nasional barat yang sedang digerayangi oleh mengentalnya politik neo-konservatisme bersamaan dengan kekacauan-kekacaun paska perang yang disponsori oleh barat. 

Semangat yang dulu disebut sebagai Civilization Mission kini berbalik arah, dan, anehnya--dalam konteks mengerasnya neo-konservatisme--justru kembali pada perayaan hasrat-hasrat purba/gairah subhuman yang dulu dituduhkan menjadi inti nilai kultural masyarakat non barat (Asia dan Afrika). 

Singkat kata, tidakkah yang dulu menjadi "alasan moral" melakukan kolonialisme kini justru bersemarak dalam batas tertentu di ruang kultural-politik Barat sendiri? Artinya, kerja sinematik Guy Ritchie, Patty Jenkins dan Michael Bay masih berkubang pada cangkang lama idealisasi. Di batas tertentu, mereka menuntun penonton untuk melihat sisi yang guncang dalam superioritas hero-hero itu: kembali pada idealisasi mitologi karena krisis modernisme, dimana semangat terakhir justru merayakan kelahirannya dengan membunuh yang pertama.

Dengan kata lain, pendekatan sinematik "merekonstruksi subyek" untuk kebutuhan mengisi narasi superhero yang dilakukan ketiganya masih ketinggalan dari usaha yang dilakukan Nolan lewat trilogi Batman.

Pada Batman, Nolan membangun tafsir yang mendekatkan kehadiran superhero ini ke dalam pengalaman-pengalaman manusiawi yang mengada, seperti tekanan trauma, kecemasan, rasa takut, cinta dan patah hati, serta perjuangan menjaga hidup yang rentan dengan kejatuhan. Nolan juga merekonstruksi sosok jahat dalam narasi yang sama, sebagai manusia yang gagal melawan kehendak subhuman dirinya. Ia juga memasukan bingkai "perjuangan ideologi" yang sedang faktual seperti dalam sosok Bane. 

Tidak ada upaya menafsir warisan mitologi di sini. Nolan menceritakan Batman sebagai yang kini dan di sini. Nolan menghindari "pemujaan Anglosaxonian" yang pada akhirnya menciptakan jenis subyek yang kebingungan. 

Subyek yang sudah seharusnya keluar dari cangkang lama idealisasi dirinya sendiri.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun