Secara spekulatif, bagi saya, tiga film yang muncul dalam waktu bersamaan, memiliki "motif kehadiran" yang sama.Â
Yakni, mengembalikan superioritas narasi Anglo-Saxon yang bukan saja perang melahirkan kerajaan dengan kuasa imperium. Tetapi juga menjadi rumah budaya dari lahirnya spirit manusia modern. Di dalamnya, ada semangat "cargo cult".
Cargo Cult adalah konsep antropologi yang menjelaskan kerinduan kolektif dalam kebudayaan Melanesia akan kedatangan penyelamat dari masa lalu, khususnya dalam kemunculan figur kharismatik, pada kekinian hidup yang sedang dalam krisis dan mengalami anomali menyeluruh.Â
Dalam narasi tiga film di atas, maka spirit ini lahir oleh krisis yang diakibatkan oleh modernisasi yang merambah ke semua lini hidup, melahirkan fasisme (dalam Wonder Women) atau menciptakan perang habis-habisan (dalam Transformers). Simpul utama "penyelamat dari masa lalu" itu adalah Raja Arthur (superioritas kepemimpinan Anglo-Saxon) dan warisan kepahlawanan Yunani dalam sejarah peradaban barat.Â
Karena kita tidak sedang membicarakan filsafat, di mana kegemaran menafsir mitologi ke dalam kerangka berpikir logis adalah ihwal biasa para filsuf, maka pertanyaannya adalah: dari tiga film yang tersimpul dari pemujaan masa lalu Anglo-Saxon itu, mungkinkah "ada sisi dalam ruang bawah sadar popular barat"atau "yang imajiner" dalam konsepsi psikologi Lacanian, mencerminkan gambar subyek yang kebingungan dengan misi sejarahnya sendiri?
Secara faktual, kondisi kebingungan ini, mungkin bisa diandaikan sedang mewabah, dengan melihat situasi nasional barat yang sedang digerayangi oleh mengentalnya politik neo-konservatisme bersamaan dengan kekacauan-kekacaun paska perang yang disponsori oleh barat.Â
Semangat yang dulu disebut sebagai Civilization Mission kini berbalik arah, dan, anehnya--dalam konteks mengerasnya neo-konservatisme--justru kembali pada perayaan hasrat-hasrat purba/gairah subhuman yang dulu dituduhkan menjadi inti nilai kultural masyarakat non barat (Asia dan Afrika).Â
Singkat kata, tidakkah yang dulu menjadi "alasan moral" melakukan kolonialisme kini justru bersemarak dalam batas tertentu di ruang kultural-politik Barat sendiri? Artinya, kerja sinematik Guy Ritchie, Patty Jenkins dan Michael Bay masih berkubang pada cangkang lama idealisasi. Di batas tertentu, mereka menuntun penonton untuk melihat sisi yang guncang dalam superioritas hero-hero itu: kembali pada idealisasi mitologi karena krisis modernisme, dimana semangat terakhir justru merayakan kelahirannya dengan membunuh yang pertama.
Dengan kata lain, pendekatan sinematik "merekonstruksi subyek" untuk kebutuhan mengisi narasi superhero yang dilakukan ketiganya masih ketinggalan dari usaha yang dilakukan Nolan lewat trilogi Batman.
Pada Batman, Nolan membangun tafsir yang mendekatkan kehadiran superhero ini ke dalam pengalaman-pengalaman manusiawi yang mengada, seperti tekanan trauma, kecemasan, rasa takut, cinta dan patah hati, serta perjuangan menjaga hidup yang rentan dengan kejatuhan. Nolan juga merekonstruksi sosok jahat dalam narasi yang sama, sebagai manusia yang gagal melawan kehendak subhuman dirinya. Ia juga memasukan bingkai "perjuangan ideologi" yang sedang faktual seperti dalam sosok Bane.Â
Tidak ada upaya menafsir warisan mitologi di sini. Nolan menceritakan Batman sebagai yang kini dan di sini. Nolan menghindari "pemujaan Anglosaxonian" yang pada akhirnya menciptakan jenis subyek yang kebingungan.Â