Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Latar Besar Kebijakan Full Day School dalam Dua Kritik

16 Juni 2017   05:46 Diperbarui: 16 Juni 2017   17:15 1557
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wacana "Full Day School (FDS)" yang sedang ramai menjadi polemik di media massa beberapa hari berselang tentu tidak berdiri sendiri sebagai urusan dunia pendidikan nasional. 

Petunjuk pertama dari situasi ini dapat dibaca dari pernyataan menteri Pendidikan Nasional sendiri sebagaimana termuat pada detiknews.com, "Ini bukan full day school, tapi program penguatan karakter. Bahwa delapan jam guru berkaitan dengan kerja guru, fungsi delapan jam tidak berarti mengajar, tapi bisa mengawasi murid, itu beban dia. Delapan jam tidak berarti di dalam kelas, tapi juga di luar sekolah."

Sehingga, untuk sementara dapat dikatakan bahwa kebijakan FDS--sebut saja begini--adalah usaha negara (pemerintah) untuk memimpin usaha pembangunan karakter bangsa. Dalam konteks yang lebih spesifik, ini bisa diasumsikan usaha ini memiliki payung besar "revolusi mental" atau yang paling dekat, "membangun karakter Pancasilais" yang akhir-akhir ini menjadi keprihatinan nasional paska pilkada DKI.

Petunjuk kedua, bila membaca Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 23/2017, pada pasal 2, dikatakan bila Hari Sekolah dilaksanakan 8 (delapan) jam dalam 1 (satu) hari atau 40 (empat puluh) jam selama 5 (lima) hari dalam 1 (satu) minggu. Sementara pada pasal 3, Hari Sekolah digunakan oleh Guru untuk melaksanakan beban kerja Guru. Apa sajakah beban kerja Guru itu? 

Pada pasal 3 ayat 2 dijabarkan, hal itu meliputi: merencanakan pembelajaran atau pembimbingan; b. melaksanakan pembelajaran atau pembimbingan; c. menilai hasil pembelajaran atau pembimbingan; d. membimbing dan melatih Peserta Didik; dan e. melaksanakan tugas tambahan yang melekat pada pelaksanaan kegiatan pokok sesuai dengan beban kerja Guru.

Dari dua petunjuk ini, mari kita lihat latar yang lebih besar alias kondisi-kondisi yang lebih kompleks dari mengapa dorongan FDS harus diambil oleh negara. Latar besar yang menjadi semacam "context of justification". Dua latar yang sekaligus memuat poin kritik di dalamnya.

Tentu saja yang PERTAMA adalah kecemasan kolektif terhadap dinamika sosio-politik yang menyerat komponen bangsa ke dalam ketegangan paska Pilkada DKI. Ketegangan yang meresahkan dikarenakan mengancam eksistensi kebangsaan yang plural--karena itu menafikan arti "menjadi Indonesia"-- dan saat yang bersamaan memberi teguran jika "proyek pluralisme" yang begitu marak dikerjakan paska-OrdeBaru oleh banyak elemen/organisasi masyarakat sipil (civil society) sepertinya tidak berkontribusi banyak. 

Kerasnya kompetisi politik yang menggelorakan sentimen-sentimen primordial, terlepas dari kemungkinan dieksploitasi secara sengaja, terstruktur dan massif oleh blok politik tertentu, ternyata belum bisa diorganisir oleh kelompok-kelompok dalam masyarakat sipil kedalam gerak kualitatif dalam koridor main konsensus nasional. Situasi ini sejatinya ironis mengingat secara teoritik-normatif, keberadaan masyarakat sipil justru diproyeksikan sebagai ruang kerjasama warga dan "antitesa terhadap negara". 

Masyarakat sipil justru menjadi "sumber kegaduhan", lebih-lebih di jagat social media.

Situasi ironik sejenis ini, manakala kita mengenang peringatan Hegel, justru menjadi alasan yang paling sering bagi masuknya tangan-tangan negara dengan kepentingan untuk menertibkan dan mendisiplinkan. Dengan bahasa Hobbesian, situasi yang memicu lahirnya Leviathan. 

Atau, dalam kritik yang lebih "radikal", masyarakat sipil itu secara teoritik-operasional telah menderita disfungsi. Paling ekstrim, jangan-jangan eksistensinya memang tidak pernah ada di sejarah politik Indonesia, dahulu dan kekinian. Dalam bahasa lain, konsep ini statusnya khayali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun