Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama FEATURED

[Catatan Buku] Pangeran Diponegoro dan "Ratu Adil" sebagai Praktik

27 Mei 2017   20:22 Diperbarui: 8 Januari 2019   07:38 6662
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Engkau sendirilah sarana itu
Tetapi tidak akan lama
Hanya agar terbilang di antara leluhur
[Ramalan Parangkusumo, sekitar tahun 1805]

Ada satu pengharapan yang berbicara dari masa lalu manakala kehidupan politik nasional sedang berada dalam kondisi yang mencemaskan dalam banyak ekspresinya. Pengharapan itu adalah kelahiran akan datangnya kepemimpinan Ratu Adil. Dalam versi yang popular, Ratu Adil disebut muncul pertama kali dalam ramalan Prabu Jayabaya (1335-1157) dan Ranggawarsito (1802-1875), seorang pujangga keraton Surakarta.

Ramalan Prabu Jayabaya, misalnya, mengatakan:
Akan datang satu masa penuh bencana. Gunung-gunung akan meletus, bumi berguncang-guncang, laut dan sungai, akan meluap. Ini akan menjadi masa penuh penderitaan. Masa kesewenang-wenangan dan ketidakpedulian. Masa orang-orang licik berkuasa, dan orang-orang baik akan tertindas. Tetapi, setelah masa yang paling berat itu, akan datang jaman baru, jaman yang penuh kemegahan dan kemuliaan. Zaman Keemasan Nusantara. Dan jaman baru itu akan datang setelah datangnya sang Ratu Adil, atau Satria Piningit. 

Tetapi bagaimana sesungguhnya Ratu Adil itu? Atau lebih persisnya, bagaimanakah ramalan akan kedatangan Ratu Adil mewujudkan diri dalam praktik sejarah sehingga membuatnya bukan sekedar ramalan?

Tulisan ini tentu tidak memiliki kapasitas apalagi kehendak mengurai menyeluruh seluk beluk kepercayaan akan ramalan ini, termasuk juga asal-usul atau sejenisnya dalam sejarah Nusantara yang demikian panjang berlikunya.

Sedikit catatan yang hendak disampaikan hanyalah narasi Ratu Adil yang begitu sentral dalam sejarah Perang Jawa (1825-1830) di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro. Ratu Adil adalah salah satu tema yang menjadi inti dari buku Kuasa Ramalan (KPG, 2011) yang ditulis oleh Peter Carey, sejarawan berkebangsaan Inggris.

Catatan ini adalah usaha menulis buah pembacaannya.

KemerosotanTatanan Hidup
Ratu Adil bukanlah sosok mitologis yang lahir dari ketiadaan sebab-sebab kondisi material-historis. Ia “konsep” yang hadir atau dihadirkan dalam konteks kemerosotan tatanan hidup kolektif, baik karena bencana alam pun bencana sosial politik. Dalam konteks yang terakhir, ia ditandai kepemimpinan politik korup, ekonomi yang eksploitatif dan menindas hidup kawula serta  hancurnya sistem moral dan anomi sosial.

Sebab itu, bila mengingat tanggungjawab zaman dan mandat perubahan yang harus diembannya, maka secara logis, Ratu Adil adalah sosok yang mewakili ideal akan pemimpin memiliki kepribadian luhur sekaligus sosok yang dirindukan menghantarkan perbaikan-perbaikan, membawa masyarakatnya kembali pada kehidupan yang sepantasnya, ke zaman bahagia.

Tegas kata, ia akan menjadi panutan dan inspirasi bagi tindakan orang banyak. Kehadirannya mewakili kekecewaan umum dan kehendak untuk menghancurkan belenggu kekecewaan itu. Ia adalah pemimpin pemberontakan, pengayom kaum tertindas, dan, teropong menuju jalan baru.

Lantas, pertanyaannya, bagaimana praktik Ratu Adil yang ditemukan oleh riset Carey?

DiponegoroRatu Adil sebagai Praktik
Dalam catatan Carey, Pangeran Diponegoro adalah sosok yang sejak awal memahami kehadiran dirinya mewakili citra diri Ratu Adil.

Pangeran yang lahir 1785, sudah sejak awal percaya pada ramalan Sultang Agung yang mengatakan tanah Jawa akan dijajah kolonial selama 300 tahun dan akan ada keturunannya yang melawan namun kalah. Diponegoro juga percaya pada ramalan kakeknya, Mangkubumi I, jika kehadiran dirinya hanyalah sementara untuk kemudian disejajarkan dengan para leluhurnya. 

Ramalan yang dikenal sebagai Ramalan Parangkusumo.

Akan tetapi ramalan-ramalan awal ini tidak serta merta membawanya kedalam sikap percaya membabi buta. Ada rangkaian pergulatan diri yang ditempuh untuk mengorbarkan perang besar tersebut. Seawam bacaan saya, paling tidak ada dua proses besar.

Pertama, Diponegoro muda harus terlebih dahulu diperhadapkan dengan kehidupan keraton Yogyakarta yang terus merosot wibawanya, yang lemah dihadapakan tuan kolonial Inggris seperti Raffles,yang rakyatnya hidup dalam penderitaan dan kehancuran harga diri. Diponegoro juga harus menyaksikan penghancuran moral yang dihasilkan dari kolaborasi aparatur kolonial dan ningrat keraton yang hedon.

Kebijakan pemerintah kolonial bukan saja menghina wibawa keraton, namun turut membunuh rakyat kecil lewat kerja paksa dan mekanisme pajak. 

Misalnya, kebijakan sewa tanah bagi perluasan perkebunan yang didorong oleh motif menarik keuntungan dari perdagangan lada, nila, dan sejenisnya, memaksa keraton mengorbankan hak-hak serta membunuh perlahan rakyatnya. Tak cukup itu, secara internal, kuasa kolonial turut menghancurkan tata upacara keraton yang demikian sakralnya dengan reformasi hukum gaya Eropa yang sejatinya adalah siasat mengendalikan kuasa keraton.

Sebagai penganut Islam, kemerosotan ini dimaknai sebagai contoh dari kehadiran Zaman Jahiliyah juga Zaman Edan. Situasi demikian bukan saja menghancurkan martabat keraton tetapi juga membinasakan ajaran dan praktik Islam.

Pangeran Diponegoro sendiri adalah saksi hidup dimana ia harus dipinggirkan dari lingkaran dalam kekuasaan Sultan Yogyakarta karena sikapnya yang kritis. Pilihannya hidup di Tegalrejo adalah “ruang yang mendidiknya” terus bersikap kritis terhadap perilaku dan kebijakan keraton terutama sejak ayahnya, Sultan Hamengkubuwono II wafat. Lama kelamaan seiring situasi kemerosotan yang semakin parah, sikap keras dan kritisnya bertransformasi menjadi pengkondisian pemberontakan terhadap Belanda dan Keraton.

Pangeran Diponegoro sepenuhnya sadar dan meyakini ramalan bahwa dalam dirinyalah ramalan Sultan Agung itu akan mengambil bentuk, mewujudkan historisitasnya. Ia juga percaya bahwa akan kalah tetapi itu hanyalah sarana demi menggapai kemulian: disejajarkan dengan para leluhurnya. Singkat cerita, Dipenogoro percaya bahwa dirinyalah pengejawantahan sang Ratu Adil akan bekerja.

Namun perlu diperhatikan jika sebelum pecahnya Perang Jawa sudah terjadi perlawanan-perlawanan dalam skala yang lebih kecil, seperti yang dilakukan Raden Ronggo, sosok yang juga dikagumi Pangeran Diponegoro. Juga jenis-jenis perlawanan skala kecil yang menggunakan judul-judul Ratu Adil tetapi sesungguhnya terlalu mudah dipatahkan.

Kedua, selain menafsir situasi kala itu sebagai pertanda kemerosotan hidup yang menghancurkan tatanan lama Jawa, dimana warisan Islam menjadi bagain dari inti nilainya, Diponegoro juga menempuh tata cara tirakat untuk ‘menerima perintah dan memahami gerak zaman’.

Tirakat adalah proses menepikan diri, merenung, berdzikir ditempat-tempat tertentu. Tirakat yang dilakukan ditempat-tempat tertentu itu memfasilitasi perjumpaan-perjumpaan spiritual yang esoteris. Rangkaian dialog spiritual itu memberi dampak terhadap keyakinan diri sang Pangeran bahwa dalam dirinyalah perang besar harus dikorbankan, dalam dirinyalah takdir historis Islam dan Keraton ditentukan.

Sesudah rangkaian tirakat, Diponegoro lantas menggunakan nama yang lebih bernuansa Islami. Yakni Pangeran Ngabdulkamit (Abdul Hamid) yang ditambahi gelar Erucokro. Dua gelar ini menjelaskan dua identitas yang bersenyawa dalam satu tubuh dan spirit, yakni Islam dan Jawa. Oleh karenanya, "panggilan suci" dalam Perang Jawa adalah konsep menghadirkan lagi tatanan lama Islam Jawa yang sudah dirintis sejak era Sultan Agung.

Perang kemudian berkobar. Perang lima tahunan yang melibatkan sebagian besar pula Jawa. Dua juta orang terpapar kerusakan perang, seperempat dari seluruh lahan pertanian yang ada rusak, dan jumlah penduduk Jawa yang tewas mencapai 200.000 orang. Belanda sendiri harus membayar sangat mahal: sebanyak 7000 serdadu pribuminya tewas serta 8000 tentaranya sendiri tewas. Sedang biaya perang yang harus mereka keluarkan mencapai sekitar 25 juta gulden (setara 2,2 miliar dollar AS saat ini) (DeGraaf 1949:399, dalam Carey, 2016)

Melalui pergulatan diri Diponegoro, Ratu Adil menjadi konsep yang menubuh, hidup dan menggerakkan. Berhasil menjadi simpul yang mengikat kekecewaan dan kemarahan umum, dari kalangan ningrat, guru agama, rakyat jelata hingga bandit (wong durjono) dan menerjemahkannya ke dalam peperangan yang hebat.

Dengan kata lain, secara sosio-politis, Ratu Adil oleh Diponegoro menemukan bentuk konkrit, historis, dan politisnya. Ia tak sekedar aksi-aksi perang biasa dan berskala kecil, namun dituntun oleh keterpanggilan suci untuk menjungkirkan tatanan hidup yang merosot.

Melalui Diponegoro, Ratu Adil menjadi narasi sejarah faktual, tak lagi ramalan semata.

Catatan Penutup
Kisah Ratu Adil dan kemunculannya tidak pernah sepi dari narasi politik Nasional, khususnya di tanah Jawa. Bahkan, hingga kini, jika Indonesia diperhadapkan dengan situasi nasional yang menunjukkan tanda-tanda kemerosotan dalam wujud korupsi yang liar, pelanggaran hak-hak dasar, tatanan hukum yang jauh dari penegakkan keadilan, hingga hancurnya tata moral yang dianut, narasi Ratu Adil selalu muncul ke permukaan wacana publik.

“Kuasa Ramalan” yang bekerja Perang Jawa mungkin bisa dijadikan cermin generasi masa kini dalam merenungkan makna Ratu Adil pada alur sejarah perpolitikan masa lalu hingga ke era kontemporer.

Peter Carey, dalam pembacaan awam saya, berhasil menyajikan deskripsi sejarah yang utuh, yang memberi konteks kenapa Perang Jawa boleh terjadi. Perang yang menandai banyak perubahan dalam kebijakan kolonial yang pada akhirnya berdampak pada perjuangan kebangsaan dalam mencapai kemerdekaan nasional.

Perang lima tahun yang mengondisikan lahirnya generasi Kebangkitan Nasional.

(Sumber bacaan, Peter Carey, Kuasa Ramalan, I-II. KPG, 2011)

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun