Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama FEATURED

[Catatan Buku] Pangeran Diponegoro dan "Ratu Adil" sebagai Praktik

27 Mei 2017   20:22 Diperbarui: 8 Januari 2019   07:38 6662
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun perlu diperhatikan jika sebelum pecahnya Perang Jawa sudah terjadi perlawanan-perlawanan dalam skala yang lebih kecil, seperti yang dilakukan Raden Ronggo, sosok yang juga dikagumi Pangeran Diponegoro. Juga jenis-jenis perlawanan skala kecil yang menggunakan judul-judul Ratu Adil tetapi sesungguhnya terlalu mudah dipatahkan.

Kedua, selain menafsir situasi kala itu sebagai pertanda kemerosotan hidup yang menghancurkan tatanan lama Jawa, dimana warisan Islam menjadi bagain dari inti nilainya, Diponegoro juga menempuh tata cara tirakat untuk ‘menerima perintah dan memahami gerak zaman’.

Tirakat adalah proses menepikan diri, merenung, berdzikir ditempat-tempat tertentu. Tirakat yang dilakukan ditempat-tempat tertentu itu memfasilitasi perjumpaan-perjumpaan spiritual yang esoteris. Rangkaian dialog spiritual itu memberi dampak terhadap keyakinan diri sang Pangeran bahwa dalam dirinyalah perang besar harus dikorbankan, dalam dirinyalah takdir historis Islam dan Keraton ditentukan.

Sesudah rangkaian tirakat, Diponegoro lantas menggunakan nama yang lebih bernuansa Islami. Yakni Pangeran Ngabdulkamit (Abdul Hamid) yang ditambahi gelar Erucokro. Dua gelar ini menjelaskan dua identitas yang bersenyawa dalam satu tubuh dan spirit, yakni Islam dan Jawa. Oleh karenanya, "panggilan suci" dalam Perang Jawa adalah konsep menghadirkan lagi tatanan lama Islam Jawa yang sudah dirintis sejak era Sultan Agung.

Perang kemudian berkobar. Perang lima tahunan yang melibatkan sebagian besar pula Jawa. Dua juta orang terpapar kerusakan perang, seperempat dari seluruh lahan pertanian yang ada rusak, dan jumlah penduduk Jawa yang tewas mencapai 200.000 orang. Belanda sendiri harus membayar sangat mahal: sebanyak 7000 serdadu pribuminya tewas serta 8000 tentaranya sendiri tewas. Sedang biaya perang yang harus mereka keluarkan mencapai sekitar 25 juta gulden (setara 2,2 miliar dollar AS saat ini) (DeGraaf 1949:399, dalam Carey, 2016)

Melalui pergulatan diri Diponegoro, Ratu Adil menjadi konsep yang menubuh, hidup dan menggerakkan. Berhasil menjadi simpul yang mengikat kekecewaan dan kemarahan umum, dari kalangan ningrat, guru agama, rakyat jelata hingga bandit (wong durjono) dan menerjemahkannya ke dalam peperangan yang hebat.

Dengan kata lain, secara sosio-politis, Ratu Adil oleh Diponegoro menemukan bentuk konkrit, historis, dan politisnya. Ia tak sekedar aksi-aksi perang biasa dan berskala kecil, namun dituntun oleh keterpanggilan suci untuk menjungkirkan tatanan hidup yang merosot.

Melalui Diponegoro, Ratu Adil menjadi narasi sejarah faktual, tak lagi ramalan semata.

Catatan Penutup
Kisah Ratu Adil dan kemunculannya tidak pernah sepi dari narasi politik Nasional, khususnya di tanah Jawa. Bahkan, hingga kini, jika Indonesia diperhadapkan dengan situasi nasional yang menunjukkan tanda-tanda kemerosotan dalam wujud korupsi yang liar, pelanggaran hak-hak dasar, tatanan hukum yang jauh dari penegakkan keadilan, hingga hancurnya tata moral yang dianut, narasi Ratu Adil selalu muncul ke permukaan wacana publik.

“Kuasa Ramalan” yang bekerja Perang Jawa mungkin bisa dijadikan cermin generasi masa kini dalam merenungkan makna Ratu Adil pada alur sejarah perpolitikan masa lalu hingga ke era kontemporer.

Peter Carey, dalam pembacaan awam saya, berhasil menyajikan deskripsi sejarah yang utuh, yang memberi konteks kenapa Perang Jawa boleh terjadi. Perang yang menandai banyak perubahan dalam kebijakan kolonial yang pada akhirnya berdampak pada perjuangan kebangsaan dalam mencapai kemerdekaan nasional.

Perang lima tahun yang mengondisikan lahirnya generasi Kebangkitan Nasional.

(Sumber bacaan, Peter Carey, Kuasa Ramalan, I-II. KPG, 2011)

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun