Juventus study their opponents with great detail. We know exactly what we need to do tomorrow night – Dani Alves
Perhelatan final liga Champions Eropa musim 2014-2015 adalah luka yang terus menganga bagi banyak Juventini. Di final yang berlangsung di Olimpiastadion, Berlin, Juventus diremuk Barcelona dengan skor meyakinkan, 3:1.
Dari delapan kali usaha menembus final, Juventus baru memenangkan dua kali, yakni tahun 1985 dan tahun 1996. Sementara lima pencapaian, yakni tahun 1973, 1983, 1997, 1998, dan 2003, La Vecchia Signora keok. Besar sekali harapan bisa juara lagi sesudah terakhir juara ketika dibesut Marcelo Lippi. Luka kekalahan oleh Barcelona tersebut lebih perih bila mengenang airmata sang Metronom, Andrea Pirlo yang sesudah final tidak lagi berseragam Hitam Putih.
Juventus saat itu bukanlah tim yang buruk. Bukan tim dengan komposisi pemain kelas medioker. Ada Pogba, Tevez, Morata dan juga Vidal—yang semuanya kini sudah hengkang. Selain juga diperkuat jangkar gerendel Italia, trio B+BBC (Buffon, Barzagli, Bonucci dan Chiellini) serta Pirlo dan Marchisio. Mereka pun sudah dilatih Allegri yang mencoba 4-3-3 di final tersebut. Dan, mereka hadir di final dengan menyingkirkan Real Madrid.
Tapi musim itu, musim gemilang bagi Luis Enrique, ahli taktik yang sebelumnya gagal berbuat banyak hal di Serie dengan AS. Roma. Musim itu adalah takdir bagi treble winner Barcelona sesudah Pep Guardiola.
Hingga laga tadi subuh waktu Indonesia, pada leg ke dua di Camp Nou, Si Nyonya Tua menunjukkan kelasnya. Sesudah menang 3:0 di Juventus Stadium, anak-anak asuh Allegri membuat trio MSN “mati gaya” di rumahnya sendiri. Harapan Barcelona boleh menciptakan “horror kedua” di Camp Nou tidak terwujud seperti kala menggulingkan PSG.
Orang banyak lupa, menghadapi Juventus adalah menghadapi tim yang paling baik dalam bertahan untuk musim liga Champions kali ini. Juventus baru kebobolan dua gol.
Apa rahasia kemenangan Juventus dan membuat ball possession Barcelona hanya sibuk di lapangan tengah? Bahkan—ini sebenarnya keputusasaan yang aneh-- suami Shakira, Pique “tiba-tiba mendadak striker” dan bermimpi memenangi duel udara melawan Chiellini dan Bonucci. Lu setres, Piq?
Atau, mengapa trio MSN yang mengerikan itu lebih banyak menari-nari ketimbang mengonversi gol sementara ini olahraga bukan tentang dunia balet? Ah, ah.
Saya kira ada dua modalitas utama.
Pertama, tentulah taktik Allegri.
Sesudah kalah di final tempo hari, Allegri datang dengan taktik yang kini menjadi pakemnya, 4-2-3-1. Taktik ini membuat Juventus bermain dengan 5 gelandang yang agak padat di tengah. Dua jangkar Pjanic dan Khedira serta tiga gelandang serang yang mampu menjaga marking kala ditekan, Mandzukic, Dybala, dan Cuarado.
Di belakang, Alves di kanan dan Alex Sandro di kiri dipaksa lebih focus pada disiplin bertahan, bahkan Alves beberapa kali “main injak kaki” untuk menghentikan saudara sebangsanya, Neymar. Bonucci dan Chiellini adalah dua menara kembar yang menghadirkan ketenangan lebih baik ketimbang Pique dan Umtiti.
Juventus memang kalah penguasaan bola, 60% berbanding 30%. Tapi dalam bahasa Ruud Gullit, ngapain ente orang main indah kalau kalah?
Atau, sebagai fans Barcelona, Anda akan bilang Juventus hanya lebih beruntung?
Heloooo. Memangnya berapa kali sepakan trio MSN yang bikin Super Buffon pontang-panting? Sory, Coi, seingat saya tidak sampai lima kali! Selebihnya ketemu tembok tebal, memantul, corner kick, atau entah kemana.
Messi bahkan harus tiba di tanah dengan kepala lebih dulu hingga membuat gambar biru di bawah mata kiri seolah habis dipukul. Suarez? Wahai, ia hanya bisa berlari diantara dua menara pengawas yang menguncinya dengan dingin. Hanya Neymar yang, yah, agak mendinganlah. Sayang, ia masih kalah ilmu melawan Dani Alves.
Singkat kata, opsi 4-2-3-1 Allegri adalah Anti-Barcelona yang tepat, paling kurang hingga tadi subuh. Dengan bahasa lain, Allegri sudah berhasil memberi filosofi dan identitasnya kepada Juventus paska Conte.
Kedua, kepercayaan diri dan disiplin pada filosofi Italia.
Bagi saya, Barcelona tetaplah tim terbaik di dunia sejak dilatih oleh Riijkard, diteruskan Pep Guardiola dan Luis Enrique.
Barcelona bukan saja bermain indah namun juga mengerikan. Fondasi total football yang diletakkan Cruyff menemukan bentuk sempurnanya dalam tiqui taca lewat tiga ahli taktik tersebut dan membawa sepakbola Spanyol menjadi penguasa Eropa. Bukan saja Barcelona, tetapi juga berefek pada prestasi tim nasional.
Karena itu, menghadapi tim yang pernah disebut seperti “alien”, tim manapun akan diidap perasaan cemas sebelum bertanding.
Tapi Juventus tidak datang dengan mentalitas inferior. Tidak ada alasan untuk merasa kecut duluan sekalipun Serie A bukan lagi liga nomero uno.
Dalam pernyataan Dani Alves yang dimuat pada laman akun twitter klub, menjelang pertandingan tadi subuh, terbukti benar adanya. Mereka bukan saja memahami dengan detil namun juga bertindak dengan benar menghadapi Barcelona.
Juventus bermain dengan tenang, percaya diri dan disiplin. Gelombang serangan yang bergerak, khususnya dari kiri dan tengah—alias dari kreasi Neymar, Iniesta atau Messi—tidak dihadapi dengan “asal sapu bersih” alias panik. Juventus hadir seolah Godfather yang dingin balik operasi mafia yang rapi.
Juventus bahkan tidak bermain dengan garis pertahanan tinggi, yakni dengan mem-pressure sejak bola dilepas oleh Stegen dari depan gawang. Juventus tetap bermain dengan menunggu di lapangan permainan sendiri. Bahkan bisa menciptakan peluang yang tidak diselesaikan dengan efektif.
Ini senada dengan pesan Arrigo Sacchi, master taktik yang disebut-sebut sebagai peletak system Catenaccio. Sacchi sudah bilang sebelumnya, untuk menang, Juventus harus bermain seperti leg pertama, jangan berikan ruang, tetap presing, dan agresif, seperti dimuat Football Italia.
Singkat cerita, Juventus tetap percaya diri dengan filosofi bermain Italia.
Menyingkirkan tim terbaik dunia membuktikan jika superioritas tim Hitam Putih yang juga disebut sebagai “Kekasihnya Italia” ini tidak selingkup kecil Serie A. Liga dengan kompetitor yang dalam enam musim terakhir hanya sibuk untuk tampil konsisten dan berebut posisi masuk zona liga Champions. Yah, kau tahulah tim-tim yang kumaksud itu.
Dus, inilah modalitas utama Juventus, tentu menurut pengamatan amatir diriku, yang menjadi kunci dari keberhasilan menyingkirkan Barcelona subuh tadi. Modalitas yang bikin Barcelona tidak bikin gol sebiji pun.
Juventus sudah juara, bagi saya. Anti-Barcelona yang secara sempurna mereka tunjukan tadi subuh sudah cukup untuk mengatakan, “Kalian sudah melawan dengan sebaik-baiknya. Sehormat-hormatnya, Barcelona.”
Fino Alla Fine. Forza Juventus!
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H