Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

"Dua Tanda" Kekalahan Chelsea

17 April 2017   11:15 Diperbarui: 17 April 2017   22:03 936
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Antonio Conte | http://www.football.london

Ada yang berbeda dari kekalahan Chelsea tadi malam. Perbedaan itu sudah tampak sebelum pertandingan usai--seolah pertanda--Chelsea memang akan keok.

Pertama, perubahan starting eleven dikarenakan mendadak cedera Marcus Alonso. 

Alonso yang dibawa dari Fiorentina adalah bek sayap kiri yang memiliki keseimbangan dinamis kala menyerang dan bertahan. Ia juga dibekali kemampuan mencetak gol. Dengan tiadanya ia di sisi kiri, Cahill atau Hazard kehilangan elemen yang membuat "bertahan tidak panik, menyerang tidak monoton". Ini kehilangan yang serius. 

Apa buktinya?

"Perjudian" Conte dengan merotasi fungsi Moses yang terbiasa menyisir arena kanan malah membuat kekacauan kecil yang menghasilkan tanda tanya, "Hai Coach, apakah kau tak memiliki plan B?" Celakanya, saat bersamaan, si Jose "Serious One" Mourinho dengan jeli menjadikan Herrera layaknya jangkar kapal pagi pergerakan Hazard. Terhadap Hazard, hanya satu perintah, "Jika bolanya lolos, orangnya tinggal. Jika orangnya lolos, bola harus tinggal". Lalu lihatlah apa yang terjadi? Buah semangkaa berdaun sirih alias keputusan Conte--yang terbaca "buntu" itu tidak mengubah apa-apa.

Artinya, ketiadaan Alonso yang bergerak dinamis dalam pakem 3-4-3 membuat keseluruhan mekanisme kerja tim terganggu. 

Saat yang bersamaan, Mou menyuruh Valencia dan Fellani--bersama Herrera--menjadi tiga monster yang siap memakan Hazard beserta aksi-aksinya. Hazard terkunci. Di sisi yang lain, Pedro yang sering berlari bersama bola pun "dimakan" oleh Darmian yang sepertinya disuruh "kamu berkemah saja di sisi kiri". Darmian adalah eks bek kanan Torino yang, tentu saja, mengerti bagaimana bertahan ala Italia. Pedro perlahan mati gaya. Tambah lagi, Azplicueta tidak maksimal bekerja mengganti Moses sebagaimana kala berdiri di sebelah kanan David Luiz. 

Dengan kata lain, Mou tahu, jika cara membunuh 3-4-3 Conte adalah mematikan dua sisi, kanan kiri yang dinamis itu. Cara ini yang membuat Mou dengan PD merasa sudah menemukan kunci untuk menghentikan laju juara klub yang hampir dibikinnya degradasi di musim lalu. Hal laten yang saya mau bilang, rasa sakit karena dipecat itu sungguh energi kreatif yang luar biasa hebat. Mou adalah buktinya, Mbloo! 

Kondisi terkunci di sayap--atau kau bisa katakan, Chelsea dipaksa bertarung di tengah--diperparah dengan buruknya Matic melepaskan diri dari tekanan Fellani. Hanya Kante yang beberapa kali melakukan intersep dan manuver. Kante pun beberapa kali sukses merusak "sentuhan Pogba". Kondisi ini membuat Chelsea makin tak punya alternatif menyusun serangan dan manakala Fabregas masuk di babak kedua, sudah terlambat. MU sudah memarkir bus beserta setan-setannya di depan kotak 16 besar. 

Hal berikut yang diinstruksikan Mou tampaknya adalah bermain cepat dengan mengeksploitasi potensi Rashford. Anak muda 19 tahun yang dibekali dribbling ciamik bukan saja bikin gol. Ia membuat David Luiz dan Cahill jungkir balik dan kocar-kacir laksana tentara Romawi ketemu seorang Obelix di pinggiran hutan yang salah. Tambah lagi Lingard, yang kerjanya meneror sejak garis pertahanan Chelsea berfungsi dengan baik. Itulah mengapa Zlatan tidak bermain sejak awal, bukan karena kelelahan, ma meen.  

Bagaimana dengan Begovic? Wahai, selama menjadi kiper dan bermain di markas Setan Merah, ia selalu kalah!

Kedua, Conte yang sebingung patung pejuang 45 di jalanan Matraman yang sedang ramai tawuran abege. 

Tadi malam saya tidak melihat lelaki yang disebut Opa Marcelo Lippi sebagai "pemilik emosi yang kompetitif" ini meledak di pinggir lapangan. Di balik topinya, Conte tertangkap kamera beberapa kali memegang bibir tanda sedang berpikir. Matanya pun terlihat begitu sendu. Gerimis memang sejak awal sudah turun di langit Old Traffrod. 

Terkesan sekali, ketika Alonso mendadak cedera, ia tidak memiliki alternatif. Sama buntunya melihat Hazard dan Pedro yang keok. Tidak terlihat gaya Chelsea yang gemar mengeksploitasi sisi luar lapangan dan membuka ruang dan memberi kesempatan bagi manuver-manuver Hazard dan Pedro. Keputusan memasukkan Fabregas tiba di saat yang terlambat. Julukan taktik parkir bus itu milik Mou, bukan Conte. Maksud saya, lelaki yang menyebut Chelsea tim yang fenomenal dengan serangan balik ini, adalah pemilik paten taktik tersebut. 

Apakah Conte diidap perasaan inferior di stadion dimana ketika ia masih bermain, Delpiero pernah begitu mencemaskan Sir Alex Ferguson? Entahlah. 

Yang jelas, Conte di akhir pertandingan sudah mengatakan bahwa, "We must understand what was wrong today, address that together. I repeat today's performance the fault is mine."

Conte jelas akan berbenah. Ia mungkin akan menghabiskan ribuan detik untuk menyimak ulang video pertandingan hingga kekurangan tidur, sebagaimana dilakukan di Juventus seperti pernah dikatakan Pirlo. Mendiskusikan apa saja yang salah di pertandingan tersebut dengan staf dan pemain. Dan menemukan kembali energi berkompetisi. 

Ia dihadapkan dengan tantangan menemukan alternatif terhadap pakem 3-4-3 ketika tim lawan belajar dari cara Mou. Bukan semata dengan memikirkan jalan keluar jika Hazard dimatikan namun, barangkali, dengan memberi peran yang lebih Pirloism kepada Fabregas. Sayang sekali, Raja Assist ini hanya menjadi cadangan Matic yang hanya lebih pas sebagai "pengangkut air". Matic kurang kreatif. 

Dan penikmat liga Inggris tahu, satu-satunya pembuktian terbaik adalah meraih titel juara. 

Keberingasan dan konsistensi Tottenham harus ada sebagai sisi lain yang membuat Chelsea terus menemukan momen untuk selalu berkembang dan berkembang. Ini bukan Serie A dengan Juventus yang seperti hanya menjalani uji tanding di setiap pekan. Atau jenis La Liga, dengan tiga kasta: kasta pertama isinya Real Madrid dan Barcelona, kasta kedua, isinya tim yang berebut zona Champions, dan ketiga, kasta yang berjuang dari lubang degradasi. Ini juga bukan liga Indonesia yang......ah, sudahlah.

Ini liga Inggris, Coi. Liga yang membuat jenius Pep Guardiola lebih licin kepalanya dari yang sudah-sudah.

***

Rujukan Berita 1, 2 dan 3  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun