Kedua, Conte yang sebingung patung pejuang 45 di jalanan Matraman yang sedang ramai tawuran abege.Â
Tadi malam saya tidak melihat lelaki yang disebut Opa Marcelo Lippi sebagai "pemilik emosi yang kompetitif" ini meledak di pinggir lapangan. Di balik topinya, Conte tertangkap kamera beberapa kali memegang bibir tanda sedang berpikir. Matanya pun terlihat begitu sendu. Gerimis memang sejak awal sudah turun di langit Old Traffrod.Â
Terkesan sekali, ketika Alonso mendadak cedera, ia tidak memiliki alternatif. Sama buntunya melihat Hazard dan Pedro yang keok. Tidak terlihat gaya Chelsea yang gemar mengeksploitasi sisi luar lapangan dan membuka ruang dan memberi kesempatan bagi manuver-manuver Hazard dan Pedro. Keputusan memasukkan Fabregas tiba di saat yang terlambat. Julukan taktik parkir bus itu milik Mou, bukan Conte. Maksud saya, lelaki yang menyebut Chelsea tim yang fenomenal dengan serangan balik ini, adalah pemilik paten taktik tersebut.Â
Apakah Conte diidap perasaan inferior di stadion dimana ketika ia masih bermain, Delpiero pernah begitu mencemaskan Sir Alex Ferguson? Entahlah.Â
Yang jelas, Conte di akhir pertandingan sudah mengatakan bahwa, "We must understand what was wrong today, address that together. I repeat today's performance the fault is mine."
Conte jelas akan berbenah. Ia mungkin akan menghabiskan ribuan detik untuk menyimak ulang video pertandingan hingga kekurangan tidur, sebagaimana dilakukan di Juventus seperti pernah dikatakan Pirlo. Mendiskusikan apa saja yang salah di pertandingan tersebut dengan staf dan pemain. Dan menemukan kembali energi berkompetisi.Â
Ia dihadapkan dengan tantangan menemukan alternatif terhadap pakem 3-4-3 ketika tim lawan belajar dari cara Mou. Bukan semata dengan memikirkan jalan keluar jika Hazard dimatikan namun, barangkali, dengan memberi peran yang lebih Pirloism kepada Fabregas. Sayang sekali, Raja Assist ini hanya menjadi cadangan Matic yang hanya lebih pas sebagai "pengangkut air". Matic kurang kreatif.Â
Dan penikmat liga Inggris tahu, satu-satunya pembuktian terbaik adalah meraih titel juara.Â
Keberingasan dan konsistensi Tottenham harus ada sebagai sisi lain yang membuat Chelsea terus menemukan momen untuk selalu berkembang dan berkembang. Ini bukan Serie A dengan Juventus yang seperti hanya menjalani uji tanding di setiap pekan. Atau jenis La Liga, dengan tiga kasta: kasta pertama isinya Real Madrid dan Barcelona, kasta kedua, isinya tim yang berebut zona Champions, dan ketiga, kasta yang berjuang dari lubang degradasi. Ini juga bukan liga Indonesia yang......ah, sudahlah.
Ini liga Inggris, Coi. Liga yang membuat jenius Pep Guardiola lebih licin kepalanya dari yang sudah-sudah.
***