Keempat, tentu kau akan bertanya, seperti apa ibuku? Terimakasih, aku tak lupa. Ibuku bisa menelurkan aku bersama saudara-saudaraku sampai 70.000 butir dan menyimpannya dalam lubang yang dalam. Lubang itu bukan sembarang lubang. Ia dalam dan bercabang-cabang. So, kalau kau pekerja tambang, jangan sombong. Kami juga bisa membuat lubang bahkan lebih rumit dari kalian. Bedanya, bumi tidak bersedih karena perbuatan kami. Karena itu, aku heran, mengapa manusia masih percaya tambang itu memakmurkan.
Ketujuh, oh ya, aku karnivora. Tentu aku hanya memakan yang lebih kecil dan lemah dariku. Bukan kayak bangsamu, segala hal dimakan. Bahkan, andai saja, kapal selam bisa dikunyah, kalian akan melahapnya juga. Hahahaha— dasar manusia! Earth provides enough to satisfy every man's needs, but not every man's greed, pesan Gandhi. Aku tak akan cerita panjang lebar soal ini.
Kedelapan, nah ini yang tak kalah penting.
Aku adalah kehadiran dari sebuah mitos tua di satu tempat di wilayah kepulauan Melanesia. Mitos yang terutama tumbuh dalam kesadaran bocah-bocah sungai. Mereka percaya dengan memakan aku, maka boleh berenang segesit dan setangguh aku. Mereka bisa hidup melampaui “hambatan darat dan air”. Hahaha, ada-ada saja. Tentu saja bocah-bocah itu tak pernah bisa menangkapku. Tapi aku senang kok, aku penting dalam imajinasi bocah-bocah.
Mitos itu tumbuh lama di kepala lelaki yang menulis cerita ini. Dia menju besar bersama sungai dan tentu saja, lapangan sepakbola. Masa kecilnya dibentuk oleh kebudayaan pesisir suku-suku laut di Serui, Papua.
Pagi ini dia dikejutkan oleh tayangan di Nat Geo. Tayangan yang menceritakan betapa luar biasanya makhluk yang sering dipandang tak ada, makhluk kecil yang tak penting. Bukan lumba-lumba yang cantik dan gemulai—tapi hidupnya dihabiskan sebagai binatang sirkus untuk menghibur hidupmu yang stres! Atau hiu yang cool dan bengis, yang dibikin filmnya dimana-mana. Padahal makin sering dibikin film, makin dia tak punya rahasia, hihihi.
Orang-orang di Barat menyebutku Mudskipper. Di Indonesia, aku disebut Tembakul, Gelodok atau Bloso. Bocah-bocah di Serui itu memanggilku ikan Motor.
Aku punya banyak nama. Aku kecil dan sering tak terlihat. Tapi aku bahagia. Aku abadi dalam kepala lelaki yang menulis ini.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H