Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

"Perempuan Matic" di Tikungan Zaman

3 April 2017   13:14 Diperbarui: 4 April 2017   18:28 1647
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jelang makan siang. Kota Sampit, Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah.

Lampu merah itu berada di perempatan. Terletak di ruas jalan paling ramai. Ia seolah urat nadi, menghubungkan lalu lintas warga ke rumah sakit, beberapa pertokoan, gerai ATM, dan rumah makan sedang. Ruas jalan yang selalu hilir mudik, kecuali di akhir pekan atau libur dan malam hari sesudah masuk waktu salat Isya.

Barusan, saya sedang mengantri, menunggu giliran hijau. Di samping sebelah kanan, sebuah motor yang lain sedang mengantri. Di sebelah kiri, seorang ibu dengan motor matic sedang sama menunggu hijau. Lebar jalan itu tak terlalu besar, dengan tiga motor mengantri, sudah terlihat sempit. Artinya, jika ada motor keempat yang memaksa sejajar dengan kami bertiga, maka dipastikan akan sesak. 

Dalam keadaan mengantri, yang sedang mengalami giliran hijau adalah arus kendaraan yang datang dari arah kiri. Sesudah mereka, maka yang berhadapan dari arah kiri, lampu hijau akan melepas kendaraan yang mulai menumpuk. Dalam situasi inilah, saya terpana bukan main. 

Bersamaan dengan menyalanya lampu hijau untuk giliran arus dari sebelah kanan, tiba-tiba sebuah motor matic melaju dan melalukan zig zag kecil di samping kiri saya. Seorang ibu, pula. Ia seperti lupa mematian kompor atau mencabut colokan setrika, wuuuuus. Sepersekian detiknya, lepaslah arus dari arah kanan itu dengan si ibu di barisan depan. Ia layaknya Michael Doohan, legenda balap MotoGP dari Australia yang menjadi mentor Valentino Rossi, ngeeeeng. 

Luaaar biasa! Kalau kata kami di Jayapura, "Ibu, ko saja. Ko sudah. Ko trada lawan. Sumpah ni."

Saya jelas kaget, sebagai pengemudi motor belum bebas sepenuhnya dari trauma tersungkur di tikungan Skyline, Jayapura, yang punya kisah horor, saya tidak lagi seluwes ibu itu kala melakukan manuver zig zag di ruang sempit. Perasaan kedua yang muncul, saya tertawa geli. Teringat meme-meme yang marak di internet tentang ibu-ibu yang membawa motor. Salah satunya, seperti gambar di bawah itu.

Sumber: furnawan.com
Sumber: furnawan.com
Perasaan ketiga, pikiran dibuat mundur ke belakang. Jauh kebelakang, ke bilangan tahun 80-90an. Zaman ketika bermotor masih perkara maskulinitas dan kemacetan belum melahirkan ide perlunya motor automatic. Zaman di mana membonceng, naik ontel atau berjalan kaki masih dominan. Masih menjadi wajah sehari-hari, di kota, terlebih di desa-desa. Tahun-tahun dimana saya masih sering dibonceng ibu pergi ke pasar. Kangen juga dengan zaman itu.

[Cocokologi] Renungan

Sekilas, perkembangan alat transportasi yang "lebih ramah" perempuan memang telah membantu banyak hal. Perempuan lebih bisa membereskan urusan-urusan publik tanpa harus menunggu atau menumpang pada jasa tertentu. Terlihat lebih mandiri dan siap berkompetisi di dunia kerja. Singkat cerita, perempuan terbantukan untuk lebih siap menghadapi "balapan di tikungan zaman".

Ini seolah mengatakan model pembagian kerja tradisional dimana perempuan melulu bergumul dengan RSK alias ranjang, sumur dan kasur yang membuatnya "terpenjara" dalam wilayah domestik tak lagi relevan. Perkembangan motor matic telah mendorong runtuhnya batas-batas tradisional--tentu dengan disertai perubahan cara pandang--yang memungkinkan perempuan eksis di wilayah publik. Golongan feminis liberal mungkin setuju dengan perkembangan ini.

Secara faktual, dalam banyak kasus di  jalan raya, saya kira "perilaku sein kiri, belok kanan" tidak khas emak-emak. 

Jauh lebih mendidihkan darah ketemu pengendara laki-laki dewasa yang sudah terang lampu saya menyala ke kiri, masih saja melambung dari kiri. Dan ketika mata saya menatapnya, wajahnya seperti bilang, "Ko kenapa? Tra senang, kah? Bikin to." Kampreet. Atau ketemu anak SMP dengan kegilaan sinetron, di jalan yang agak sepi, adu ketangkasan dengan senyum nyengir yang lebih buruk dari kuda sedang kelelahan. Remaja ini hidup dalam ilusi, merasa sebagai Boy di televisi. Kampret yang sama!

Dengan kata lain, oleh kehadiran motor matic yang membuat jalanan tidak lagi sepenuhnya maskulin, para lelaki yang merayakan kebenaran meme-meme itu patut dicurigai sedang menyembunyikan "perasaan cemas yang serius". Kecemasan bahwa bertahun-tahun menguasai dan memberi pesan: jalanan adalah laki, kini mulai dirusak oleh "kengawuran lain" yang terekspresi dalam "sein kiri, beloknya kanan". 

Atau kecemasan bahwa lelaki kini tidak lagi malaikat penolong yang dinanti-nanti. Dinantikan ngantar jemputnya yang dengan itu, diam-diam tumbuh superioritas maskulinnya, "Tanpa jemputan aku, kamu nothing, Beibeh." Atau kegelisahan di mana bertahun-tahun turing dengan motor itu laki banget. Sekarang, emak-emak dengan matic pun bisa. Sesungguhnya turing bukan milik jenis kelamin. Lebih parah lagi, ketika ditilang polisi, perempuan jauh lebih bisa menyelamatkan diri ketimbang lelaki. Hmmm.

Singkat cocokologi, seolah ada dominasi yang tidak lagi tunggal. Ada citra yang kini retak. Di jalanan, jenis kelamin bukan identitas yang "melampaui sejarah".

Cuma saja, ya itu tadi, mbok ya kasih pengumuman kalau mau zig zag di lampu merah. "Minggir, minggir, Seniornya Rossi mau lewat." Itu mungkin cara yang jitu demi mengurangi kesalahpahaman sein ke kiri, beloknya hanya Tuhan yang tahu.

Selamat datang bulan April.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun