Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membaca "O", Mengalami Inversi

26 Maret 2017   11:14 Diperbarui: 26 Maret 2017   21:00 562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak banyak novel yang saya baca, memang.

Hanya ada trilogi Ahmad Tohari, yang saya dengan kesadaran remaja SMA. Kemudian Pramoedya dengan tetraloginya. E.S Ito—yang sempat disebut-sebut the New Pramoedya—dengan Rahasia Meede dan Negara Kelima, dan, Leila Chudori dengan Pulang-nya. Kemudian ada Mario Puzo dengan Orang-orang Sisilia, Leo Tolstoy dengan Orang-orang Kuzack serta Robert Harris dengan dua novel sejarah hidup Cicero, yang dibaca dengan kesadaran perguruan tinggi. Lalu terakhir, Dee dengan Supernova dan Filosofi Kopi-nya.

Dari beberapa sosok itu, belakangan saya baru menyadari kalau kekaguman kepada mereka bukan semata disebabkan pelukisan kisah yang memikat. Pelukisan yang membuat paragrap pertama sudah langsung bekerja seperti sihir, membetot habis perhatian pembaca. Namun, mungkin ini yang prinsipil, dikarenakan ada pergumulan ide yang mirip di karya-karya di atas, yakni tema-tema kekuasaan, orang-orang terbuang, dunia pinggiran, penindasan dan pemberontakan moral, penderitaan dan tragedi serta perjuangan manusia menegakkan martabatnya.

Dari pergumulan ide yang mereka tawarkan bersama struktur narasi yang dikembangkan, saya membaca dunia manusia yang sangat kompleks dimana banyak peristiwa tidak bisa dimaknai secara tunggal atau hitam putih lekas-lekas. Mereka pun menggunakan strategi narasi yang memaksa pikiran memeriksa ulang pengertian yang terlanjur terbentuk dan membatu dalam kepala. Atau menghadirkan pengertian baru yang sebelumnya tak terenungkan.

Singkat kesaksian, karya mereka, bagi saya, tergolong sebagai sastra yang menantang kesadaran untuk berani masuk kepada sistem pemaknaan yang berbeda. Karena itu, ia menawarkan “pencerahan diri”. Rasa-rasanya begitu.

Berjumpa Eka Kurniawan, Meruwat Kegairahan

Sesudah mengalami perjumpaan dengan para pencerita hebat itu, cukup lama saya tidak membaca novel dengan serius. Baru nanti, dalam beberapa bulan terakhir, saya bergumul dengan novel yang mencerahkan. Novel-novel yang ditulis oleh Eka Kurniawan.

Dari Eka, saya dihidupi lagi oleh kegairahan mengoleksi karya-karya sebagaimana dulu terhadap Pramoedya. Gairah yang merawat rindu dan penasaran ini bersemi lagi terhadap produk kreativitas sastra anak muda yang alumnus filsafat UGM yang dipuji habis oleh Ben Anderson.

Alhamdulillah, saya sudah memiliki Cantik itu Luka, Lelaki Harimau, Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas dan O di perpustakaan pribadi. Selain itu, ada kumpulan cerita Corat-coret di Toilet dan Kumpulan Budak Setan yang merupakan kolaborasi Eka dengan dua cerpenis.

Novel Lelaki Harimau (2004) adalah yang pertama saya habiskan, dilanjutkan dengan Cantik itu Luka (2002), terus Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas (2014), dan terakhir yang baru saja selesai adalah O (2016).

Dari membaca novel-novel di atas, rasa dirasa rasa-rasanya, saya sudah punya bayangan kasar untuk menjelaskan apa ciri khusus yang membuat Eka Kurniawan berbeda dan karena itu memiliki maqom—pencapaian dan kualitas pencerahan—sendiri yang khas.

Kekhasan yang bertumpu, sebaut saja, pada strategi narasi Eka yang ketika berwujud karya, ia membuat sastra tanah air hingga dunia gembira, kagum dan penuh rasa hormat. Indonesia yang dipelihara rezim takut buku ternyata masih bisa melahirkan pencerita hebat. Strategi narasi yang dengan itu juga pembaca serius atau sekedar-sekedar saja, sukses dibuat hanyut sekaligus terhenyak ketika tiba pada ujung cerita. Kalimat-kalimatnya seolah memiliki mantra pesugihan!

Strategi narasi yang juga begitu luwes menghadirkan kompleksitas sejarah kelam Indonesia ke dalam jalinan cerita manusia-manusia yang menertawakan kesimpulan-kesimpulan klise lagi monoton. Jenis kesimpulan yang sering dengan sukarela riang gembira diterima para penggunjing politik dan pengkhotbah moral di pantat kekuasaan atau penikmat dongeng kon(g)spirasi di kamar tanpa buku.

Lantas, apa saja pokok ciri dari strategi alumnus filsafat UGM yang skripsinya membahas Pramoedya dan Sastra Realisme Sosial(is)? 

Saya belum mampu dan berani menjawabnya. Jawaban atas pertanyaan ini membutuhkan riset serius dan jelas akan memakan ketekunan serta waktu yang lama.

Oleh sebab itu, sebagai pengantar (kekaguman) amatir dalam mencari jawaban terhadap pertanyaan di atas, saya hendak melihat kekhasan Eka dalam novel yang baru selesai saya habiskan. Novel itu adalah O. Bila pembaca budiman sudi melihat catatan pengantar ini, silahkan. Saya senang sekali.  

O, Sebuah Inversi

Semua dongeng diciptakan oleh monyet-monyet tua untuk menciptakan masalah-masalah besar bagi monyet-monyet yang lahir belakangan

O adalah nama seekor monyet betina. Ia memiliki kekasih bernama Entang Kosasih, monyet muda jantan yang memiliki kehendak sangat kuat menjadi manusia. Kehendak yang mula-mula muncul dari dongeng turun temurun leluhur di masyarakat monyet yang hidup di Rawa Kalong.

Ambisi gila Entang Kosasih  menjadi pemicu, pintu masuk dari perjalanan panjang O. Kehendak menjadi manusia membuat O belajar pada dunia manusi menempuh jalan derita, menjumpai tragedi, hingga mengalami pencerahan diri.   

Tapi O tidak tentang monyet semata.

O adalah kisah masyarakat monyet yang berdamping hidup dengan masyarakat manusia. Di dalam O, ada kisah polisi Sobar yang jatuh cinta kepada Dara, pacar seorang kriminal bernama Toni Bagong. Sobar memiliki sahabat polisi,  Joni Simbolon yang mati ditembak Entang Kosasih. Ada kisah suami istri pemulung dan pawang topeng monyet, tuannya O, yang melambangkan potret harian manusia-manusia gembel. Sepasang laki-bini yang menyimpan balas dendam namun dikembalikan ke jalan Tuhan oleh seekor Beo yang pernah dipelihara seorang alim. Ada pula kisah Rudi Gudel yang hendak melampiaskan dendam sahabatnya terhadap seekor anjing bernama Kirik, sahabat O.

Ada seekor tikus betina yang memiliki kemampuan membaca peristiwa dari masa depan. Ada Kaisar Dangdut yang lelah dengan kemunafikan moral dan popularitas lantas jatuh hati pada suara perempuan dalam layanan kencan online. Ada perempuan, istri yang suaminya membenci anjing habis-habisan. Ada banci yang tak pernah bisa membenci kekasinya, si penipu yang hanya datang ketika butuh pertolongan. Banci pinggir jalan yang membawa O berjumpa si Kaisar.    

Pendek kata, jalinan ceritanya sangat kompleks. Cara pandang pun dipaksa untuk tidak tunggal.

Sebab itu, sementara ini dapatlah dikatakan O mewakili narasi persilangan dunia monyet dan dunia manusia dengan masalah-masalah yang berbeda-beda namun terikat dalam energi yang sama: perjuangan cinta, ambisi, dendam serta kemalangan dan tragedi yang menyertai. Tidak ada happy ending yang klise.

Sehingga, walau berjudul O, Eka membuat pembaca tidak hanya penasaran dengan perjuangan O. Semua tokoh berikut dunianya dalam novel bertotal 470 halaman adalah subyek di perjuangan dunianya masing-masing, perjuangan mencapai bahagia. Sebab itu, imajinasi dan geliat rasa yang hadir di benak pembaca pun dibuat tidak tunggal atau sekedar “catatan kaki, ampas semata” dari narasi inti bernama O.

Eka membuat jalinan dunia manusia dan dunia hewan itu dalam pelukisan kisah yang memiliki berjejali dalam kerumitan emosi dan pengertian. Dunia manusia bukan saja tak sederhana yang tampak oleh mata telanjang. Selalu ada hal-hal tak terduga, peristiwa yang tiba-tiba hadir, dan menciptakan kemungkinan baru. Demikin pula dunia hewan. Moralisme individual yang serba hitam putih dan cara pandang yang sejenis dipastikan akan muntah membaca novel seperti ini.

Hal menakjubkan lain adalah Eka membuat dunia monyet dalam representasi O dan Entang Kosasih begitu “hidup dan berbicara”. Khususnya O, yang mengikhlaskan dirinya sebagai aktor topeng monyet sebab percaya monyet hanya bisa menjadi manusia—agar dapat menikah dengan Kaisar Dangdut yang diyakini O sebagai jelmaan Entang Kosasih—harus belajar pada tindak tanduk manusia. O mengikhlaskan dirinya menempuh jalan penderitaan dalam dunia gembel yang keras.

Dengan cara begitu, Eka membuat saya mengalami inversi atau pembalikan sudut pandang.

Dunia hewan, yang biasanya menjadi sekunder atau menjadi inti cerita karena bercerita dunianya sendiri, dalam persilangan kisah dengan dunia manusia dibuatnya sejajar. Dalam O, keduanya sama bermakna, sama memiliki narasi yang harus disimak sejajar. Tragedi dunia manusia sama bermakna dengan tragedi dalam dunia binatang. Jejak perjuangan binatang, seperti O yang hendak menyusul kekasihnya atau anjing Kirik yang mencari ibunya, sama bermaknanya dengan seorang anak jalanan yang mencari keberadaan keluarganya. Keduanya harus sama dihayati dan dihargai.

Inversi ini mungkin tidak secanggih teknik inversi yang dilakukan Marx terhadap konsep alienasi Ludwig Feuerbach.

Feuerbach menilai keterasingan manusia dikarenakan ia membangun konsep tuhan sebagai ideal kemanusiaannya yang abstrak dan terpisah. Baginya, Tuhan adalah pelarian diri manusia yang kongkrit. Sedangkan Marx mengatakan tidak, keterasingan itu adalah sekunder. Yang primer, penyebab utamanya, adalah keterasingan muncul oleh karena manusia terlepas dari kontrol atas alat-alat produksi ekonomi.

Inversi yang terjadi kepada saya melalui O adalah bahwa dunia hewan yang sering dipaksa untuk dipahami dengan “kehendak positivistis” (mengontrol dan mengatur alias dominasi) adalah cara pandang sesat yang berbahaya. Ini bukan karena perkara Animal Right’s, namun justru karena ia tak sepenuhnya bisa dipahami. Manusia bukan satu-satunya yang memiliki misteri dan hidup di bumi.

Karena itu, dunia hewan menyisakan cerita yang tidak sepenuhnya bisa dipahami sebagaimana dunia manusia. Lantas mengapa masih ada kepala yang berpikir dengan kehendak mengendalikan mereka dan terus merasa diri superior?

Saya percaya sastra membantu memperkaya jiwa, meluaskan cakrawala. Terimakasih O!

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun