Ada seekor tikus betina yang memiliki kemampuan membaca peristiwa dari masa depan. Ada Kaisar Dangdut yang lelah dengan kemunafikan moral dan popularitas lantas jatuh hati pada suara perempuan dalam layanan kencan online. Ada perempuan, istri yang suaminya membenci anjing habis-habisan. Ada banci yang tak pernah bisa membenci kekasinya, si penipu yang hanya datang ketika butuh pertolongan. Banci pinggir jalan yang membawa O berjumpa si Kaisar.
Pendek kata, jalinan ceritanya sangat kompleks. Cara pandang pun dipaksa untuk tidak tunggal.
Sebab itu, sementara ini dapatlah dikatakan O mewakili narasi persilangan dunia monyet dan dunia manusia dengan masalah-masalah yang berbeda-beda namun terikat dalam energi yang sama: perjuangan cinta, ambisi, dendam serta kemalangan dan tragedi yang menyertai. Tidak ada happy ending yang klise.
Sehingga, walau berjudul O, Eka membuat pembaca tidak hanya penasaran dengan perjuangan O. Semua tokoh berikut dunianya dalam novel bertotal 470 halaman adalah subyek di perjuangan dunianya masing-masing, perjuangan mencapai bahagia. Sebab itu, imajinasi dan geliat rasa yang hadir di benak pembaca pun dibuat tidak tunggal atau sekedar “catatan kaki, ampas semata” dari narasi inti bernama O.
Eka membuat jalinan dunia manusia dan dunia hewan itu dalam pelukisan kisah yang memiliki berjejali dalam kerumitan emosi dan pengertian. Dunia manusia bukan saja tak sederhana yang tampak oleh mata telanjang. Selalu ada hal-hal tak terduga, peristiwa yang tiba-tiba hadir, dan menciptakan kemungkinan baru. Demikin pula dunia hewan. Moralisme individual yang serba hitam putih dan cara pandang yang sejenis dipastikan akan muntah membaca novel seperti ini.
Hal menakjubkan lain adalah Eka membuat dunia monyet dalam representasi O dan Entang Kosasih begitu “hidup dan berbicara”. Khususnya O, yang mengikhlaskan dirinya sebagai aktor topeng monyet sebab percaya monyet hanya bisa menjadi manusia—agar dapat menikah dengan Kaisar Dangdut yang diyakini O sebagai jelmaan Entang Kosasih—harus belajar pada tindak tanduk manusia. O mengikhlaskan dirinya menempuh jalan penderitaan dalam dunia gembel yang keras.
Dengan cara begitu, Eka membuat saya mengalami inversi atau pembalikan sudut pandang.
Dunia hewan, yang biasanya menjadi sekunder atau menjadi inti cerita karena bercerita dunianya sendiri, dalam persilangan kisah dengan dunia manusia dibuatnya sejajar. Dalam O, keduanya sama bermakna, sama memiliki narasi yang harus disimak sejajar. Tragedi dunia manusia sama bermakna dengan tragedi dalam dunia binatang. Jejak perjuangan binatang, seperti O yang hendak menyusul kekasihnya atau anjing Kirik yang mencari ibunya, sama bermaknanya dengan seorang anak jalanan yang mencari keberadaan keluarganya. Keduanya harus sama dihayati dan dihargai.
Inversi ini mungkin tidak secanggih teknik inversi yang dilakukan Marx terhadap konsep alienasi Ludwig Feuerbach.
Feuerbach menilai keterasingan manusia dikarenakan ia membangun konsep tuhan sebagai ideal kemanusiaannya yang abstrak dan terpisah. Baginya, Tuhan adalah pelarian diri manusia yang kongkrit. Sedangkan Marx mengatakan tidak, keterasingan itu adalah sekunder. Yang primer, penyebab utamanya, adalah keterasingan muncul oleh karena manusia terlepas dari kontrol atas alat-alat produksi ekonomi.
Inversi yang terjadi kepada saya melalui O adalah bahwa dunia hewan yang sering dipaksa untuk dipahami dengan “kehendak positivistis” (mengontrol dan mengatur alias dominasi) adalah cara pandang sesat yang berbahaya. Ini bukan karena perkara Animal Right’s, namun justru karena ia tak sepenuhnya bisa dipahami. Manusia bukan satu-satunya yang memiliki misteri dan hidup di bumi.
Karena itu, dunia hewan menyisakan cerita yang tidak sepenuhnya bisa dipahami sebagaimana dunia manusia. Lantas mengapa masih ada kepala yang berpikir dengan kehendak mengendalikan mereka dan terus merasa diri superior?