“Berarti, kau menulis untuk melibatkan diri dalam budaya pop?” Andi ingin memastikan teori Hadi.
“Ya, saya hendak masuk ke dalam hiruk pikuk budaya pop, dengan audiens yang secara emosi mudah galau, secara nalar mudah seragam. Cerpen yang “terlalu bersemangat emansipatif” akan gagal, itu kalau kau berkehendak menggelorakan api Realisme Sosial,” pungkas Hadi.
“Cerita pendek Meneruskan Takdir adalah kisah hidup faktual saya sendiri dengan sedikit dibubuhi fiksi. Itu cerpen yang kalian bisa sebut mini-biography. Saya berasal dari suku sungai, dibesarkan dua perempuan luar biasa. Perjuangan mereka membuat saya bisa berdiri disini, bisa bergaul ide dengan penulis-penulis besar sastra, dan menggunakan cara mereka memahami cerita keseharian,” tambahnya lagi.
“Saya ingin member bobot Realisme Etnografis kedalam Realisme Sosial. Bukan sebagai ide tandinga, namun sebatas memperkuat kapasitas literer dalam karya cerpen barusan. Bila tidak, seperti ide Andi, saya merasa jika Realisme Sosial menjadi asal berpihak dan marah-marah, maka ia membuat cerpen jatuh derajat seburuk pamflet politik.”
Andi tak lagi bicara. Seluruh peserta diskusi tidak berkata-kata. Si dosen bertepuk tangan.
***
[2017. DAS Katingan, Kalteng, Maret]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H