Nenek Ida mengambil barang yang baru diutangnya ke warung Kai Ari. Kai Ari masih saudara seayah dengan almarhum suaminya. Yanto terus duduk di samping.
“Kamu belajar dulu, Nenek hendak menanak nasi dan menyiapkan lauk. Nanti kalau sudah siap, baru kita makan ya.”
Makan malam sesungguhnya kegiatan yang tidak lazim. Di kampung mereka, setiap rumah tangga selalu makan sebelum Magrib menjelang.
“Nek…”
“Iyaa, besok Nenek akan pulang lebih cepat. Tadi Nenek ketemu anak sungai yang banyak haruannya. Mudah-mudahan tiba kemarau, kita bisa dapat lebih banyak.”
Yanto terus ke ruang depan membawa satu pelita. Mengambil buku di dalam tasnya, ia mulai terbenam membaca.
Nenek Ida mengambil haruan lantas digaraminya di sebuah baskom plastik. Beras sekilo dipisahkannya menjadi dua bagian, bagian pertama dimasukkan ke dalam panci yang sudah diisi air sedang sisanya digantungnya di dinding dalam bungkusan plastik hitam. Ia membilasnya tiga kali beras di dalam panci keperakan dan meletakkan pada tatakan besi yang sejak tadi dipanasi oleh kayu bakar menyala.
Ikan haruan yang sudah digaraminya kemudian dipisah pula. Ia hanya mengambil dua ekor untuk dibakar. Sisanya disimpan untuk persediaan besok hari. Besok akan dijemur, dibikinnya menjadi ikan garam. Lebih awet dan tahan lama.
Sembari menunggu beras berubah wujud menjadi nasi siap disantap, nenek Ida menyusul Yanto di ruang depan. Nenek Ida sering menemani bocah SMP ini belajar. Sesekali, ia meminta Yanto membacakan deretan huruf dalam buku di depan cahaya yang remang.
“Belajar apa, Nak?”
“Matematika, Nek. Hitung-hitungan.”