Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Cerita Bakso Aan Mansyur

17 Maret 2017   17:15 Diperbarui: 18 Maret 2017   04:01 905
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: daonlontar.blogspot.com

Saya tahu saya sudah terlambat dan banyak kesempatan terlewatkan. Karena saya memilih disibukkan oleh sesuatu yang lain. Sesuatu yang--kau mungkin pernah mengalami juga--dengannya kesadaran menjadi lebih bersemangat menemukan hal-hal bermakna, pengalaman yang mendewasakan, cara pandang yang tidak tunggal: tentang dunia, orang-orang, masa lalu, kekinian, cinta dan penderitaan, tragedi dan humor, dan tentu saja, siapa saya. 

Saya bicara tentang sastra. Penulis sastra tanah air, persisnya. 

Tentulah ini bukan tulisan pertama tentang pegiat sastra tanah air. Sebelumnya saya pernah menulis kesaksian untuk daya puitika Joko Pinurbo (Jokpin) yang itu pun hanya sekelas catatan kaki dari teks utama yang membongkar kualitas puitika Jokpin buah permenungan Ignas Kleden, sosiologi beraliran rasionalisme-kritis yang menghantam tesis involusi mendiang Clifford Geertz. 

Kau sudah menduga mengapa saya menyebut Jokpin dan Ignas Kleden? Bahkan Geertz dalam pembicaraan tentang kulitas karya sastra? Apakah saya sedang secara sengaja membawa nama-nama besar untuk menakut-nakuti atau membuatmu sudah terlanjur serius sementara yang tertulis hanyalah catatan omong kosong kelas kambing dan buang-buang waktu? Sabar sejenak, kesimpulanmu biarlah datang di belakang. Di kalimat terakhir tulisan ini.

M. Aan Mansyur. Dia penyair muda dari Sulawesi Selatan, kelahiran Bone, yang menggarap puisi di Ada Apa Dengan Cinta 2. Puisi berjudul Tak Ada New York Hari ini. Beberapa tahun yang lewat, saya pernah berkunjung ke Bone. Bodoh sekali, saat itu, saya belum mengenal karyanya. 

Tapi saya tidak membahas 'Tak Ada New York'. Saya sudah ke Gramedia, menemukan buku itu di rak buku terbaru, membaca beberapa puisinya dan tidak membeli. Tidak ada "panggilan puitika" untuk membawanya ke rak buku, mungkin nanti, ketika kebanyakan kepala mulai lupa, saya berharap masih ingin membelinya. Dan masih dicetak ulang.

Sebaliknya, saya justru ingin menulis sedikit pandangan atas satu cerita pendeknya yang termuat dalam Kukila, Kumpulan Cerita (Gramedia Pustaka Utama; cet.II, 2013). Kumpulan cerita yang secara tidak sengaja saya temukan di toko buku Toga Mas, Yogyakarta, setahun lalu. Cerita itu berjudul Lima Pertanyaan Perihal Bakso.

Kau tentu tahu jika bakso adalah makanan yang popularitasnya sejajar dengan nasi goreng. Dengan pas, Aan menyebut bakso sebagai makanan nasional para anak muda. Tapi, tentu, dalam ceritanya, bakso tidaklah tentang makanan dalam dirinya. Bakso adalah kisah dunia manusia yang tidak sederhana.

Dalam teknik berkisahnya, cerita ini bergaya dialogial, memberi kesan dua orang yang bercakap-cakap dengan sudut pandang orang pertama, aku. Si Aku pusat yang bertutur, tutur yang dipicu oleh lima pertanyaan. Saya akan mencuplik pertanyaan dan penggal jawaban-jawaban menarik yang saya pilih. Artinya, jawaban si Aku di setiap pertanyaan tidak semuanya dimuat-ullang. Hanya jawaban-jawaban dengan tekanan yang khas. Yang menunjukkan di dalam cerita bakso,  Aan sedang melukis dunia manusia yang rumit, tidak melulu asmara anak muda yang cinta-cintaan atau sedih-sedihan melulu. 

Mari simak dialog itu sejenak.

Pertanyaan (1), Sejak kapan ada warung bakso di kota kabupaten ini? Jawab Aku: Kamu tahu saya tidak suka menghafal tanggal-bulan-tahun. Tanggal lahir ibu saya dan kamu adalah pengecualian. Angka-angka semacam itu selalu mengingatkan saya pada jumlah korban dan kesedihan-kesedihan.

Pertanyaan (2), Kenapa anak muda di kota ini senang makan bakso? Jawab Aku: Saya semata-mata tahu bakso adalah makanan nasional para anak muda, tanpa pernah tahu kenapa bisa demikian. Kira-kira sama dengan ketidaktahuan saya kenapa semua gerbang, pagar, dinding rumah, dan kantor saat itu harus berwarna kuning.

Pertanyaan (3), Kenapa kantin sekolah kita juga menjual bakso? Jawab Aku: Kenapa kamu tidak bertanya kepada guru sejarah dan ekonomi, guru sosiologi, guru antropologi atau kepala sekolah? Siapa tahu ada hubungannya dengan program transmigrasi, ekonomi rakyat dan koperasi, atau gerakan politik tertentu. Kepada saya, tanya saja tentang berapa kali saya mencuri uang dari bawah kasur nenek dan dompet ibu saya agar bisa mentraktir kamu makan bakso. Sebab hal-hal memalukan seperti itu saya lakukan agar kamu mau menerima saya sebagai pacar. 

Pertanyaan (4), Betulkah para penjual bakso itu mempunyai jimat penglaris? Jawab Aku: Saya cuma tahu bahwa pemerintah suka sekali menyebar mitos agar kita percaya dan takut kepada bermacam-macam proyek mereka. Apakah kamu pikir penjual bakso itu sama dengan pemerintah? Penjual bakso barangkali tidak gemar korupsi....Tapi, hei, saya sudah senang melihat kamu sebagai seorang istri, berpakaian hamil, meski sahabat saya yang beruntung menjadi suamimu. 

Pertanyaan (5), Saya penasaran, betulkah kamu betul-betul tidak suka makan bakso? Jawab Aku: ...Saya punya puluhan warung bakso. Saya berusaha mengekalkan kamu.

Cerita bakso dalam model dialogial di atas begitu memikat saya karena Aan menyusun cerita yang berdiri dalam dialog dunia kecil yang subyektif dan dunia besar yang obyektif. 

Dunia kecil subyektif adalah dunia si aku, dunia yang menggambarkan jiwa dimana pada masa mudanya, begitu jatuh cinta pada sosok yang membuatnya melakukan hal-hal memalukan berulang kali. Si Aku yang bahagia melihat pacar masa mudanya itu dalam pakaian hamil sebagai istri sahabatnya. Si Aku, yang jelas tidak pernah pergi dari kenangan masa muda, yang karena itu memiliki puluhan warung bakso, "untuk mengekalkan kamu!"

Sedang dunia besar obyektif tergambar tentang kota yang saat itu, entah mengapa, semua gerbang, pagar, dinding rumah, dan kantor saat itu harus berwarna kuning. Atau dunia dimana pemerintah suka sekali menyebar mitos agar kita percaya dan takut kepada bermacam-macam proyek mereka.  

Singkat kesimpulan sementara, di kepala saya, di cerita bakso ini, ada kota, politik, asmara muda, dan ada cinta yang manis sekaligus getir. Ada penggal historis dalam kisah asmara anak muda di negeri ini dimana terpantul jejak rezim politik dengan kehendak mengontrol semua (menjadi kuning). Sementara, asmara yang ditulis dari mangkuk-mangkuk bakso adalah romantika yang manis (tentang kamu) sekaligus getir, bukan saja lahir dari kehidupan rezim seperti itu tetapi terus bertahan melampaui umur politik si rezim. 

Apakah terhadap rezim politik yang demikian ambisius mengontrol--sesuatu yang sakit, sejujurnya-- ada kerinduan yang ganjil seperti dalam psikologi Aku? Itukah yang hendak dipesankan penyair yang juga memiliki gairah dan kerja-kerja aktivisme sosial ini? Entahlah. 

Yang jelas, hal kedua lain yang penting bagi saya, teknik tutur dalam Lima Pertanyaan Perihal Bakso adalah sejenis teknik tutur yang khas sosiologi. Teknik yang bisa disebut dengan penggunaan imajinasi sosiologis, konsep yang diperkenalkan oleh C. Wrigth Mills. Sederhananya, imajinasi sosiologi adalah kemampuan penutur untuk melihat dan melukiskan pergulatan antara dunia kecil-subyektif dengan dunia-makro obyektif. Pergulatan antara individu dan struktur besar di luar dirinya. Pergulatan dunia makna seseorang di tengah bentang kompleks masyarakat dan kota. Apa yang individual selalu sosial, pun sebaliknya. Aan menunjukkan itu dalam cerita bakso. 

Hal penting lainnya, kapasitas kepenyairan Aan membuat cerita bakso yang menyilangkan dunia individu dan sosial begitu nikmat diselipi ungkap bahasa puitis sehingga ia tidak ternikmati sebagai kritik politik atau romantisme mewek yang menjemukan. Karena itu, Aan sukses membuat cerita bakso sebagai jumpa pengalaman yang romantis sekaligus "politis". Ini yang membikinnya begitu menginspirasi.

Sekarang, apa kesimpulan yang sekarang bekerja di kepalamu? 

Semoga tidak sedang buang-buang waktumu dan tidak benar-benar kehilangan waktuku untuk memperbaiki keterlambatan. 

Tabik. 

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun