Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Cerita Bakso Aan Mansyur

17 Maret 2017   17:15 Diperbarui: 18 Maret 2017   04:01 905
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: daonlontar.blogspot.com

Pertanyaan (2), Kenapa anak muda di kota ini senang makan bakso? Jawab Aku: Saya semata-mata tahu bakso adalah makanan nasional para anak muda, tanpa pernah tahu kenapa bisa demikian. Kira-kira sama dengan ketidaktahuan saya kenapa semua gerbang, pagar, dinding rumah, dan kantor saat itu harus berwarna kuning.

Pertanyaan (3), Kenapa kantin sekolah kita juga menjual bakso? Jawab Aku: Kenapa kamu tidak bertanya kepada guru sejarah dan ekonomi, guru sosiologi, guru antropologi atau kepala sekolah? Siapa tahu ada hubungannya dengan program transmigrasi, ekonomi rakyat dan koperasi, atau gerakan politik tertentu. Kepada saya, tanya saja tentang berapa kali saya mencuri uang dari bawah kasur nenek dan dompet ibu saya agar bisa mentraktir kamu makan bakso. Sebab hal-hal memalukan seperti itu saya lakukan agar kamu mau menerima saya sebagai pacar. 

Pertanyaan (4), Betulkah para penjual bakso itu mempunyai jimat penglaris? Jawab Aku: Saya cuma tahu bahwa pemerintah suka sekali menyebar mitos agar kita percaya dan takut kepada bermacam-macam proyek mereka. Apakah kamu pikir penjual bakso itu sama dengan pemerintah? Penjual bakso barangkali tidak gemar korupsi....Tapi, hei, saya sudah senang melihat kamu sebagai seorang istri, berpakaian hamil, meski sahabat saya yang beruntung menjadi suamimu. 

Pertanyaan (5), Saya penasaran, betulkah kamu betul-betul tidak suka makan bakso? Jawab Aku: ...Saya punya puluhan warung bakso. Saya berusaha mengekalkan kamu.

Cerita bakso dalam model dialogial di atas begitu memikat saya karena Aan menyusun cerita yang berdiri dalam dialog dunia kecil yang subyektif dan dunia besar yang obyektif. 

Dunia kecil subyektif adalah dunia si aku, dunia yang menggambarkan jiwa dimana pada masa mudanya, begitu jatuh cinta pada sosok yang membuatnya melakukan hal-hal memalukan berulang kali. Si Aku yang bahagia melihat pacar masa mudanya itu dalam pakaian hamil sebagai istri sahabatnya. Si Aku, yang jelas tidak pernah pergi dari kenangan masa muda, yang karena itu memiliki puluhan warung bakso, "untuk mengekalkan kamu!"

Sedang dunia besar obyektif tergambar tentang kota yang saat itu, entah mengapa, semua gerbang, pagar, dinding rumah, dan kantor saat itu harus berwarna kuning. Atau dunia dimana pemerintah suka sekali menyebar mitos agar kita percaya dan takut kepada bermacam-macam proyek mereka.  

Singkat kesimpulan sementara, di kepala saya, di cerita bakso ini, ada kota, politik, asmara muda, dan ada cinta yang manis sekaligus getir. Ada penggal historis dalam kisah asmara anak muda di negeri ini dimana terpantul jejak rezim politik dengan kehendak mengontrol semua (menjadi kuning). Sementara, asmara yang ditulis dari mangkuk-mangkuk bakso adalah romantika yang manis (tentang kamu) sekaligus getir, bukan saja lahir dari kehidupan rezim seperti itu tetapi terus bertahan melampaui umur politik si rezim. 

Apakah terhadap rezim politik yang demikian ambisius mengontrol--sesuatu yang sakit, sejujurnya-- ada kerinduan yang ganjil seperti dalam psikologi Aku? Itukah yang hendak dipesankan penyair yang juga memiliki gairah dan kerja-kerja aktivisme sosial ini? Entahlah. 

Yang jelas, hal kedua lain yang penting bagi saya, teknik tutur dalam Lima Pertanyaan Perihal Bakso adalah sejenis teknik tutur yang khas sosiologi. Teknik yang bisa disebut dengan penggunaan imajinasi sosiologis, konsep yang diperkenalkan oleh C. Wrigth Mills. Sederhananya, imajinasi sosiologi adalah kemampuan penutur untuk melihat dan melukiskan pergulatan antara dunia kecil-subyektif dengan dunia-makro obyektif. Pergulatan antara individu dan struktur besar di luar dirinya. Pergulatan dunia makna seseorang di tengah bentang kompleks masyarakat dan kota. Apa yang individual selalu sosial, pun sebaliknya. Aan menunjukkan itu dalam cerita bakso. 

Hal penting lainnya, kapasitas kepenyairan Aan membuat cerita bakso yang menyilangkan dunia individu dan sosial begitu nikmat diselipi ungkap bahasa puitis sehingga ia tidak ternikmati sebagai kritik politik atau romantisme mewek yang menjemukan. Karena itu, Aan sukses membuat cerita bakso sebagai jumpa pengalaman yang romantis sekaligus "politis". Ini yang membikinnya begitu menginspirasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun