Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Bapak Ingin Punya Mobil

3 Januari 2017   10:33 Diperbarui: 3 Januari 2017   19:37 2129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petani Tua dan Sepeda Ontel | kfk.kompas.com

“Bapak ingin punya mobil.”

Saya tak membalasnya, diam dan memandang jauh ke tenda-tenda pedagang kecil yang memberi warna-warni siang yang sedang tergelincir pelan-pelan. Kami baru selesai sholat lalu duduk menghadap alun-alun keraton yang sedang ramai. Hari ini memang masih dalam rangkaian bulan Maulud.

Bapak kemudian menjadi nostalgis.

Ia berkisah masa kecilnya yang menumpang kereta barang demi bisa menyaksikan perayaan Maulud. Bersama teman-temannya, mereka selalu berusaha bisa hadir dan menjadi saksi dari tiap keramaian peringatan kelahiran Nabi yang menjadi penutup dari agama-agama Ibrahim.

“Bapak memang punya uang?”

Bapak hanya terkekeh. Matanya sekilas berair. Saya tak tahu apakah ia mengenang masa kecilnya yang sulit: besar dalam keluarga dimana bapaknya yang seorang veteran perang revolusi dan ibunya yang hanya pedagang makanan kecil di pasar. Ketika perang selesai, bapaknya menjadi tukang kayu dan kembali sebagai petani. Sedang ibunya tetap seperti sebelum zaman pergolakan.

Atau mungkin sedang mengenang kenakalan yang belum sempat diceritakan, atau mungkin sebaiknya tidak diceritakannya kepada saya. Saya curiga, Bapak dan teman-temannya itu tidak membayar setiap kereta barang yang mereka tumpangi.

Saya ingat ketika masih berseragam merah putih setiap pagi, kecuali hari libur, pernah tidak membayar ongkos angkot. Waktu itu saya memang kehabisan uang, jajan melebihi porsi karena rasa lapar yang sangat sesudah bermain sepak bola di jam istirahat. Setiap hari saya harus bermain bola dan setiap hari juga, saya kehabisan uang untuk membayar angkot.

Tapi baru kali itu saya tidak membayar ongkos angkot. Sungguh. Begitu supir menghentikan laju roda di depan gang yang menjadi pintu keluar dari pemukiman di pinggir bukit dengan hamparan kacang tanah di lerengnya, saya berlari kencang hingga hilang di tikungan paling ujung.

Saya menceritakan pengalaman mendebarkan ini kepada Bapak.

“Kamu sekarang ke pinggir jalan dan tunggu sampai angkot itu lewat. Bayar ongkosnya!” perintahnya dengan nada tinggi sembari menyerahkan selembar uang berwarna hijau bergambar orangutan.

Saya shock. Saya berpikir ini adalah kenakalan kecil yang membanggakan dan seharusnya diceritakan. Ada ketegangan yang terlarang namun terus membujuk untuk mengulang, seperti candu. Ternyata Bapak menghendaki yang sebaliknya.

“Bapak membayar kereta?”

Saya mengejar lagi dengan pertanyaan yang sama.

“Ya, kadang membayar, kadang tidak. Tergantung petugas gerbongnya,” jawab Bapak. Matanya masih tetap menerawang. Masih bernostalgia sendirian.

Sebenarnya Bapak jarang berdiam seperti ini manakala sedang mengenang masa kecilnya. Mengenang masa sulit dan berjuang menjaga hidup agar tidak terpuruk sebagai riwayat kegagalan. Terlebih ketika memiliki istri, anak-anak, dan cucu. Ia ingin menjadi suami, bapak dan kakek yang dibanggakan turunannya. Sebagaimana ia membanggakan kakek dan nenek. Karena itu, ia selalu memiliki cerita dengan pesan-pesan yang kuat.

Misalnya saja Bapak pernah tiba-tiba duduk berjongkok di tanah berpasir, di dekat kebun jati kami.

Bapak kemudian menceritakan filosofi rumah dalam kebudayaan leluhurnya. Mengapa bentuk atapnya seperti itu dan mengapa susunan ruang di dalam rumah harus begitu. Ada nilai-nilai yang bukan saja berkaitan dengan dunia sosial tetapi juga dunia yang sakral.

Bapak pernah pula bercerita tentang asal usulnya leluhurnya, dari garis kakek pun nenek. Awalnya memang dipicu oleh pertanyaan saya, “Sebenarnya kita ini datang dari mana?”

Saya bertanya begini karena kagum sama Ibu. Ibu saya menguasai betul silsilah keluarganya, ke atas mau pun yang sudah melebar ke samping, beranak pinak menyebar dimana-mana. Karena itu ketika saya sudah merantau sendiri—tentu saja sebagai manusia dewasa, seorang suami sekaligus memiliki seorang anak—ibu akan memberitahu ada keluarganya disini dan kalau bisa, saya harus bersilaturahmi.

Bapak sebenarnya pernah bercerita keluarganya yang tersebar dimana-mana, jenis keturunan perantau juga, sama seperti ibu. Bapak bahkan memendam keinginan untuk mengunjungi mereka satu demi satu, khususnya yang memahami benar sejarah silsilah, demi memenuhi penggal riwayat masa lalunya yang dirasakan masih kurang dipahami. Akan tetapi waktu dan kesempatan belum tersedia dan ketika sekarang, sesudah pensiun, Bapak sudah tak cukup tangguh jika harus bepergian dengan bis atau kereta.

“Akan banyak memakan waktu dan tubuhku sudah tak kuat menanggung lelah karena jauh perjalanan,” katanya.

Atau Bapak akan bercerita dengan sangat bersemangat tentang mengapa kebun ditanam pohon jati, kelapa, mangga dan yang lainnya. Sebagai turunan kakek, ia mewarisi darah petani yang selalu bergairah sekalipun sebagian hidupnya dihabiskan dengan menjadi guru kecil di sebuah negeri yang jauh di Timur sementara adik lelakinya yang bungsu lebih memilih menjadi sisi lain kakek, sebagai marinir.

Di Timur, negeri dengan kebudayaan dan masyarakat yang berbeda, banyak hal memaksa Bapak harus belajar dan lambat-laun, menurut saya, Bapak lebih Timur ketimbang seperti manusia dari salah satu lokasi peradaban di sebelah Barat. Ditambah lagi istrinya, ibu saya, juga orang dari Timur dan kami semua lahir di Timur. Lengkaplah sudah.

Mungkin karena terlalu banyak menghabiskan waktu juga memiliki anak-anak yang tumbuh besar tidak di negeri leluhur, Bapak sering berbagi cerita tentang kebudayaan tanah lahirnya. Bapak jelas menginginkan keseimbangan kesadaran sejarah dan budaya. Bapak berharap saya dan adik-adik tidak tercerabut dari sebelah akar yang tumbuh bersilangan dengan akar leluhur ibu yang Timur. Apalagi sekarang di masa pensiun dan kembali ke kampung halamannya, Bapak memiliki banyak waktu. Dan masih sehat.

“Rizki sekarang sudah bisa ngomong apa?”

Tiba-tiba Bapak bertanya cucunya yang baru berusia setahun, anak saya. Saya tersadar, Bapak sudah kembali dari masa lalu.

“Sudah bisa menyebut Opa dan Oma,” jawab saya. Tersenyum. Bapak juga.

 “Kamu sudah tahu mengapa Bapak ingin punya mobil?”

Saya mengangguk, rasanya sudah.

Penggal riwayat silsilah yang belum lengkap. Itu utang cerita yang ingin dipenuhi Bapak agar kami, generasi milenial, tidak tumbuh dari masa lalu yang kabur di tengah era serba bercampur.

“Yuk, ke masjid. Sebentar lagi Magrib.”

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun