Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

[Puisi] Seusai Castro

28 November 2016   14:35 Diperbarui: 28 November 2016   16:43 695
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kematian telah pula bertamu di senja perlawananmu, Kamerad!

Di kamar, ketika tarian pergi dari jalanan, harum cerutu berkabung.
Bersama keris dan peci, titipan Bung Besar.
Serta sejarah yang akan menjadi jendela ke masa lalu.

Apa yang akan kalian percakapkan disana?
Nasihat Bung Besar tepat adanya,
bahwa melawan dikte adidaya, kemandirian adalah syarat mula-mula?

Lalu kau akan mengingatkan, 

“Aku menjalankan pesanmu, Bung!
Dan lihatlah, kami diembargo, aku diancam ratusan usaha pembunuhan yang kekanakan,
diktator adalah aku, pelanggar hak azasi di pinggir tentakel kapitalisme. 

 Kuba masih tak mati, sejarah perlawanan tidak berhenti Bung!

Tidak bermakna bagi mereka jika keras kepalaku membela Palestina. Bahkan kala bencana,
rezim despotik ini mengirim kemanusiaan ke negerimu.
Tidak mengirim komunisme. Aku tetap saja terkutuk terakhir yang menentang dominasi Barat.”

Tanyakan Kamerad, apa yang terjadi dengan tanah tumpah darahnya?
Tanyakan juga bagaimana dengan anak-anak bangsanya hari ini? 

Generasi hidup di masa tenang. Miskin renungan kaya kegaduhan,
merayakan kebebasan di bunuh diri tanggungjawab, ramai perselisihan di tiang gantung argumentasi,
rapuh perbedaan dalam ketakutan dialog. Dan marah fitnah lekas membakar kepala.
Politik membusuki dirinya setiap pemilu. Hukum mengasah diri tajam ke bawah.

Bung Besar akan terdiam, bukan? 

Dia memang tangguh api pada gelap kolonialisme:
jalan pengasingan derita yang membentuk keberanian menertawakan mati.
Kehendak merdeka yang selalu membakar hati jelata di setiap rapat akbar
Meremukkan bisu dinding penjara.

Tapi hatinya mudah tersedu di depan perpecahan bangsa; bahaya di pusat nation-buildingnya dulu.
Seperti kala menerima senjakalanya sendiri.

Aku rasa ia akan menangis, Kamerad.

Tapi tolong, kesedihan biarlah menyimpan sesaknya pada kalian sahaja.

Sedang kamarmu itu,
ketika waktu memaksa keris dan peci Bung Besar semakin lusuh
tetaplah membuka jendelanya:
lidah api Putera Fajar yang membakar lemah cinta tanah airku.

[Kota Hujan, Penghujung November 2016]

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun