Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Sandiwara Radio

4 November 2016   10:33 Diperbarui: 4 November 2016   14:50 791
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baru saja, ayamku mati digilas roda pengojek yang melaju. Diboncengannya, perempuan dengan perut besar sedang histeris, “Suamiku sudah tidak bertelur di rumah." Sebab tak tahu harus bagaimana, polisi menyewa jasa transport daring mengantar perempuan itu ke rumah penyembuh korban selingkuh.

Betinaku itu satu-satunya piaraan yang tersisa sejak hidup di rumah bagiku adalah kesaksian tanpa kenangan atau kenangan tanpa ingatan. Kata Pringgo, temanku yang ahli menyamarkan kebuayaan dalam dirinya, “Dengan beternak kau boleh belajar menghargai hidup manusia. Sekalipun kisahnya hanya pengulangan sia-sia.” Aku mengikuti terawangan Pringgo.

Tak lama kemudian, seorang perempuan yang wajahnya lebih pucat dari kulit langsat kesurupan di halaman rumah. Belum lagi betina yang mati tergilas itu kumakamkan dengan layak, ia membuat kematian menjadi lebih gerah. Histeris berteriak di wajahku. “Istrimu telah menjadi sundal di pasar. Dasar, lelaki bejat !” Ini perempuan yang kesekian datang mengutukiku seperti ini.

Sejujurnya aku bingung, yang sundal siapa, yang bejat kok aku? Mengapa mereka harus berpasangan lantas mudah sekali menjadi terkutuk keparat?

Untung saja masih ada polisi yang tadi. Dua kali, dengan jasa antar yang sama, perempuan yang mendadak orang suci ini diantar pula ke rumah perawatan korban kebejatan. Letaknya bersebelahan dengan rumah yang pertama.

Aku masih bingung. Mengapa orang mudah histeris kala kehilangan, kecewa atau terluka hatinya? Sejak kapan mereka datang ke muka bumi dengan stempel kepemilikan?

Aku belum lama kehilangan istriku, lahir dan batin. Kini ayam betinaku.

Aku pada akhirnya menerima itu selayaknya jalan cerita pada sandiwara radio yang bersambung terlalu lama. Di depan sandiwara radio, telinga diam mendengar, pikiran membayang kemana-mana. Hanya dengan bergantung pada suara. Mata bukan saja tidak melihat, kadang-kadang, ditutup agar lebih bisa khusyuk memeram suara.

Ketika sandiwara radio itu selesai, telinga-telinga pergi ke warung kopi. Duduk berjam lama untuk membicarakan suara yang baru saja tertanam di kepalanya. Mereka hanya bercerita yang sama dengan emosi yang berbeda.Tak ada suara baru, tapi mereka nyaman seperti itu.

Emosi yang berbeda pada cerita yang sama! Ini perkaranya. Inilah persoalan beratku. 

Karena itu aku sering bertanya pada Pringgo, bagaimana resep hidup sebergairah dirinya.

Pringgo, temanku yang pandai sekali menyamarkan kebuayaannya, sudah beranak banyak sekali  dari banyak rahim perempuan. Tetangga-tetangga kami sering menggunjing Pringgo. Kata mereka dia bisa begitu karena sedang menempuh laku kebatinan tertentu. Aku setengah saja percaya.

Pringgo memang lemah mengendalikan syahwatnya yang tidak bisa sehari saja melemah. Ketika aku bertanya padanya, “Nggo, kamu sedang menempuh laku apa?”

Pringgo hanya tersenyum, sepertinya aku teman kesekian yang bertanya sama.

“Dalam puncak pergumulan tubuh, kau seperti terbang. Senyap dalam suasana yang entah apa tapi serasa lepas dari beban-beban tubuh.”

Aku masih tidak mengerti apa maksud penjelasan begitu. Aku sudah tidur sendiri dan terus saja begitu. Apalagi sejak malam penuh naik darah istriku.  

Istriku pergi di malam pertama sesudah janji nikah. Dia mendadak pecah emosi sesudah melihat koleksi poster tubuh sejenis dirinya yang tanpa benang dengan ekspresi menantang. Dia marah untuk sesuatu yang aku tidak mengerti, mengapa harus marah pada poster? Lagi pula, poster seperti begitu banyak dijual murah oleh mereka yang sudah lelah memelotoinya.

Sejak kemarahan poster, ia berniat membalasku. Ia pergi, bertualang, dan selalu saja ada yang datang, berteriak histeris, dengan kata-kata istrimu sundal, dasar lelaki bejat! Aku mendengarnya dan seperti kala melihat poster, melihat tubuh tanpa benang yang tak butuh disahuti balik.

Kata tetanggaku, Purnomo, aku sudah mati rasa.

Purnomo memang tetangga sebelah dinding pada atap yang sama. Sehingga ketika Purnomo sedang membujuk tubuh istrinya yang ogah-ogahan, aku bisa membayangkan wajahnya yang berjuang melawan kesal. Hanya dari suara, seperti di depan sandiwara radio.

Hanya membayangkan, kemudian tertidur lantas bangun dengan ingatan yang samar, tadi malam di dinding sebelah apa yang sedang terjadi pada Purnomo? Besok malam akan begitu, selalu begitu. Purnomo yang selalu gagal merayu tubuh.  Suara-suara Purnomo telah menjadi detak detik di jam dinding yang sama.

Aku tak bisa meresapi betapa menderitanya Purnomo. Atau istrinya, yang setiap subuh sudah berkeringat di pasar sayur sedang suaminya sibuk mengelus ayam jagonya. Pergulatan malam-malam mereka hanya suara yang sama saja. Aku heran, mengapa mereka bertahan?

“Nang, istrimu…Nang.”

Aku menatap ke asal suara. Purnomo sedang pucat pasi disana. Monologku buyar.

Aku hanya menatapnya. Cemas Purnomo mencoba menular mataku.

“Istrimu di UGD, Nang. Sekarat!”

Aku masih menatapnya.

“Kepalanya pecah, perutnya sobek menganga, Nang. Di keroyok 12 istri Pringgo.”

Aku terus ingat, betinaku yang digilas ojek belum kumakamkan dengan layak.

Suara cemas Purnomo hanya seperti sandiwara radio. 

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun