“Nang, istrimu…Nang.”
Aku menatap ke asal suara. Purnomo sedang pucat pasi disana. Monologku buyar.
Aku hanya menatapnya. Cemas Purnomo mencoba menular mataku.
“Istrimu di UGD, Nang. Sekarat!”
Aku masih menatapnya.
“Kepalanya pecah, perutnya sobek menganga, Nang. Di keroyok 12 istri Pringgo.”
Aku terus ingat, betinaku yang digilas ojek belum kumakamkan dengan layak.
Suara cemas Purnomo hanya seperti sandiwara radio.
***
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!