“Nang, istrimu…Nang.”
Aku menatap ke asal suara. Purnomo sedang pucat pasi disana. Monologku buyar.
Aku hanya menatapnya. Cemas Purnomo mencoba menular mataku.
“Istrimu di UGD, Nang. Sekarat!”
Aku masih menatapnya.
“Kepalanya pecah, perutnya sobek menganga, Nang. Di keroyok 12 istri Pringgo.”
Aku terus ingat, betinaku yang digilas ojek belum kumakamkan dengan layak.
Suara cemas Purnomo hanya seperti sandiwara radio.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!