Namun ternyata itu tidak menjadi mudah sebagai tindakan yang selaras pada ruang batinmu sebab ternyata, secara nyata, kesimpulan dalam pikiran itu justru membawamu dalam perang batin serupa pecandu narkotik yang berkali-kali gagal mengatakan pada dirinya STOP! Dan juga karena itu, kemudian, mulai bersemi perasaan ganjil dimana dalam jengah itu kau juga dihidupi rasa rindu atas vote dan komentar-komentar yang sudah terlanjur kau simpulkan sebagai sekedarnya dan tidak menghargai proses kreatif dibalik karya-karyamu.
Kau yang Keenam.
Dalam keganjilan perasaan yang muncul akibat perang batin itu kau dipaksa untuk meremuk dan membentuk dirimu, seolah saja kau adalah tampilan mini dari gerak besar dunia yang terglobalisasi dimana seharusnya, dalam dialog dirimu pada msa-masa jengah namun rindu, menemukan kondisi untuk segera keluar dari penjara pengertian lama tentang “respon yang sekedarnya atas karya-karyamu” atau “citra diri serba bisa” atau juga “penguasa HEADLINE” yang kini terbaca sebagai judul-judul bermata ganda: menyanjung sekaligus menikam, mengangkat sekaligus membanting dirimu sendiri yang kemudian membawa ingatanmu kembali pada mengenali lagi Kau yang Pertama dimana dari pengembaraan ingatan atas sejarah menulismu, kau berusaha mencari energi pada masa lalu demi menyelamatkan kesadaran yang kini dipeluk kebingungan yang sepi!
Kau yang Ketujuh.
Kebingungan yang sepi kini telah menjadi sebab paling patut disalahkan dari kebiasaanmu duduk berjam-jam dalam ritus “plung” di WC, tanpa berita dan tanpa cerita! Di WC dengan cermin besar yang bergambar wajahku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H