Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Akhir Kau dalam Sebuah WC

4 Oktober 2016   08:24 Diperbarui: 4 Oktober 2016   17:01 395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Melancholia and the Cartesian Subject | cengizerdem.wordpress.com

Kau yang Pertama.

Kau yang selalu menyediakan pikiran dengan kanal-kanal berita politik begitu terjaga dari tidur malam, atau, bahkan sejak malam kau telah mengendapkan berita-berita itu dalam pikiran yang bekerja menghubungkan isi berita dalam hubungan-hubungan logis pendapatmu sendiri dan menunggu pagi segera tiba untuk menuliskannya sebab dalam hatimu, kalau tengah malam, pembaca sepi karena kau menulis untuk dibaca atau paling kurang diberikan vote dan ketika oleh pengasuh yang bekerja sebagai petugas ronda yang mengawasi hilir mudik tulisan yang jumlahnya bisa banyak sekali terhadap berita yang sama kau baca memberikanku status highlight lantas HEADLINE, kau tetiba disergap kegembiraan yang menyunggingkan senyum di bibirmu yang belum lagi hilang pahit kopinya lantas semuanya tampak manis dan indah di matamu manakala kau mengangkat tatap dari layar gadget atau personal computer.

Kau yang Kedua.

Kau telah menjadi jenuh dengan komentar berulang berita-berita politik atau, barangkali lebih pasnya, kau mulai merasa bahwa menulis politik tidak cukup tajam hanya dengan membaca berita lantas dikait-kaitkan secara logis dimana pendapatmu menemukan “cahaya kritis” yang tidak dibaca orang lain sebagaimana tergambar dalam banyak tulisan yang lahir dari berita yang sama dengan kau baca lantas kau memilih untuk sedikit menunda terburu-buru dengan mencari referensi yang lebih bisa menjelaskan atau mengangkat hubungan-hubungan logis pada kerangka memaknai yang lebih mendasar dan cahaya kritis yang tidak terbayangkan oleh cara memaknaimu sebelumnya yang itu artinya juga menjadi berbeda dengan cara memaknai pada tulisan-tulisan kebanyakan sehingga para penjaga malam tulisan-tulisan itu akan selalu memberimu HEADLINE karena, mungkin, mereka telah makin salut dengan cahaya kritis padamu.

Kau yang Ketiga.

Kau yang telah pula dikenal dengan status “PENGUASA HEADLINE” kanal politik lantas, tiba-tiba dalam hatimu, muncul gairah mencoba menjajaki pengalaman baru pada  “yang non politik” dengan menjajal kanal lain yang memungkinkan kau mengalami pengalaman berbeda bernarasi sehingga dengan begitu, bukan soal kau mengalami perluasan strategi narasi, akan tetapi agar bisa membuktikan diri berkali-kali sebagai sedikit saja yang diakui serba bisa oleh banyak orang yang masih kelelahan dengan, jangankan berstrategi narasi, menemukan “cahaya kritis” semudah menghembus nafas seperti yang sudah kau miliki sungguh terseok-seok dank arena itu juga kau merasa sedang memberi contoh bagaimana sebaiknya bergulat tulisan dalam era sharing generasi milenial yang menolak dominasi expert’s system.

Kau yang Keempat.

Kau mulai merasa telah berhasil menjadi penulis serba kanal yang ditandai dengan tak pernah sepinya vote juga komentar yang tak jarang sekedarnya saja yang itu juga sama berarti tidak dengan membaca tubuh tulisan yang kau kerjakan dengan sungguh-sungguh melelahkan pikiran tapi kau tetap menikmatinya sebagai bentuk penghargaan paling minimalis atas proses kreatif di balik sebuah karya yang merangkum pengertian-pengertian kritis atas banyak peristiwa sehingga kemudian.

Lambat namun pasti, kau merasa kualifikasimu sekarang adalah sebagai penilai otoritatif atas tulisan-tulisan lain yang bersilewaran dengan semangat membara atau sekedar kesaksian-kesaksian lesu yang bertutur serupa manusia mabuk terlebih ketika sebuah momentum politik tertentu telah lewat masa pakainya dan kemudian, dalam puncak kesimpulan dirimu yang tengah merasa sebagai penulis cukup otoritatif itu, pelan-pelan dihinggapi sejenis jengah yang terus menerus setajam pisau yang mengoyak semangatmu hingga kemudian mengunci cahaya kritis yang dulu begitu mudah hadir seperti menghembus nafas.

Kau yang Kelima.

Adalah yang mulai tak lagi rajin menyusun kata dan mempublikasikan termasuk juga mulai enggan berkeliling pada tulisan-tulisan lain yang makin terbaca tidak membantu banyak terhadap apa yang telah terbentuk di kepalamu sehingga saat bersamaan juga terus tumbuh membesar kesimpulan yang makin pasti bahwa ini sudah saatnya untuk berhenti!

Namun ternyata itu tidak menjadi mudah sebagai tindakan yang selaras pada ruang batinmu sebab ternyata, secara nyata, kesimpulan dalam pikiran itu justru membawamu dalam perang batin serupa pecandu narkotik yang berkali-kali gagal mengatakan pada dirinya STOP! Dan juga karena itu, kemudian, mulai bersemi perasaan ganjil dimana dalam jengah itu kau juga dihidupi rasa rindu atas vote dan komentar-komentar yang sudah terlanjur kau simpulkan sebagai sekedarnya dan tidak menghargai proses kreatif dibalik karya-karyamu.

Kau yang Keenam.

Dalam keganjilan perasaan yang muncul akibat perang batin itu kau dipaksa untuk meremuk dan membentuk dirimu, seolah saja kau adalah tampilan mini dari gerak besar dunia yang terglobalisasi dimana seharusnya, dalam dialog dirimu pada msa-masa jengah namun rindu, menemukan kondisi untuk segera keluar dari penjara pengertian lama tentang “respon yang sekedarnya atas karya-karyamu” atau “citra diri serba bisa” atau juga “penguasa HEADLINE” yang kini terbaca sebagai judul-judul bermata ganda: menyanjung sekaligus menikam, mengangkat sekaligus membanting dirimu sendiri yang kemudian membawa ingatanmu kembali pada mengenali lagi Kau yang Pertama dimana dari pengembaraan ingatan atas sejarah menulismu, kau berusaha mencari energi pada masa lalu demi menyelamatkan kesadaran yang kini dipeluk kebingungan yang sepi!

Kau yang Ketujuh.

Kebingungan yang sepi kini telah menjadi sebab paling patut disalahkan dari kebiasaanmu duduk berjam-jam dalam ritus “plung” di WC, tanpa berita dan tanpa cerita! Di WC dengan cermin besar yang bergambar wajahku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun