Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Film Cold War II, Membaca Tiga Pola Operasi Perebutan Politik

23 September 2016   14:42 Diperbarui: 23 September 2016   14:55 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Ya iya. Film berdurasi 110 menit memang bersemangat jagoan masih orang baik-baik. Lantas apa yang bisa dicocok-cocoki dengan sejarah politik kekiniaan kita?

Tiga Pola Operasi

Ini yang bisa dipelajari. Barangkali tidak penting tapi perlu seperti slogan kanal berita di facebook bermerek PepNews. Tiga indikasi yang perlu diperhatikan dalam menyimak perebutan kekuasaan yang menyembunyikan “kotor permainannya” di balik gaduh polemik. Jadi tidak melulu soal pergantian pucuk pimpinan polisi atau panglima TNI.

Pola operasi seperti ini juga dipakai pada banyak konteks perebutan sumberdaya ekonomi dan politik dalam tubuh negara.

Pertama, selalu ada operasi atau skenario untuk menciptakan delegitimasi atas satu kepemimpinan yang sah. Delegitimasi itu dengan menciptakan instabilitas secara kasar dan kasat mata, seperti kehadiran kriminal yang tangguh dan menimbulkan terror dimana-mana.

Atau, kamu bisa masukkan demonstrasi yang seolah tak pernah lelah dan di-blow up pemberitaan tanpa iklan. Atau mendesain operasi yang lebih mengerikan, seperti kerusuhan dan perang sipil.

Sejarah perebutan kekuasaan di negeri kita sudah mengalami adu metode yang seperti di atas ini.

Kedua, tentu saja di dalam institusi yang menjadi target perebutan itu sudah terpenuhi syarat-syarat untuk implosi (ledakan di dalam). Kondisi meledak di dalam ini akan membuat institusi itu berhenti berfungsi dan menjadi sasaran dari kemarahan masyarakat yang cemas dihajar instabilitas. Ujungnya tentu saja, kebijakan memotong pucuk pimpinannya.

Secara teoritis, kalau kita membaca tesis Erick Hiariej yang berjudul Materialisme Sejarah Kejatuhan Soeharto (IRE Press, 2005), ia menunjukkan “kondisi-kondisi material” yang menyebabkan jatuhnya negara orde baru. Erick Hiariej menunjukkan ledakan di dalam tubuh negara dengan menggunakan terma kontradiksi-kontradiksi modal dan birokrat.

Ketiga, bangun konsensus atau disensus politisi. Ini factor yang juga penting menentukan kearah mana perebutan itu akan berujung. Dalam CW 2, jika saja konsensus terbangun baik antara Oswald dan Lee+mantan Komisaris—artinya sharing kekuasaannya dipandang cukup mewakili—maka Lau dipastikan terjungkal. Yang sebaliknyalah yang terjadi: disensus, Oswald lebih memilih bersekutu dengan Lau yang secara formil masih powerful.

Dalam sejarah politik nasional kita, perkara konsensus dan disensus ini merupakan salah satu motor yang mendorong perubahan. Terlebih sesudah Suharto berakhir, kekuatan-kekuatan politik tidak lagi monopolisitik. Konsensus harus banyak dilakukan demi mencapai puncak kekuasaan bahkan dengan cara mengkhianati konsensus sebelumnya seperti yang terjadi pada poros itu tuh…

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun