Materi-materi dalam Mop tentu saja bervariasi. Ada yang bisa menertawakan kekonyolan. Mengolok-olok sikap romantis. Menyindir kekuasaan. Atau juga "agak cabul". Tapi jangan abaikan kalau ada banyak yang beraroma rasisme.Â
Saya contohkan Mop Papua yang mengolok-olok sikap romantis muda-mudi. Ceritanya saya kutip dari sini:
Yakob lamar kekasihnya Mina dengan kata-kata mutiara.
"Sayang tanpa kau, segalanya gelap gulita dan suram, angin melambaikan hujan, lalu munculah mentari, kau seperti pelangi dan mentari yang hangat untuk saya..."
Mina balas: "Yakob sebenarnya kau lamar saya atau kasih laporan cuaca...?"
[Ko makan itu puisi Yakob!--kata-kata ini dari saya]
Jadi Mukidi membuat saya nostalgis.
Hal kedua yang saya catat dari perjumpaan dengan Mukidi adalah Mop atau humor daur ulang gaya pada umumnya, menurut saya, tidak harus melahirkan proses berpikir atau orang menjadi mendapat pelajaran (kebajikan) karenanya.Â
Humor hanya perlu membantu kita senyum-senyum sendiri. Entah karena menertawakan masyarakat, menertawakan aparat pemerintahan, menertawakan politisi yang bloon, menertawakan usia senja, atau menertawakan diri sendiri: ternyata saya pernah berbuat seperti di Mop ini!
Karena cerita lucu adalah sebuah cara untuk piknik sejenak dari rutinitas hidup yang menjenuhkan atau peristiwa-peristiwa yang saya sebut sebelumnya di atas. Sebuah cara yang murah meriah untuk sejenak melemaskan otot-otot pikiran yang barangkali sudah terlalu serius atau terbelah ke dalam polarisasi (politik) yang tidak sepenuhnya kita mengerti mengapa sikap terbelah ini harus terus dipertahankan.
Selain itu, dari membincangkan Mukidi, hal ketiga yang juga baik menurut saya: cerita lucu juga menuntun kita untuk terus berakrab diri dengan kita yang manusia.