Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[FITO] Lelaki Meragu Kenang

25 Agustus 2016   11:21 Diperbarui: 25 Agustus 2016   11:29 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa yang akan dia kenang saat renta menjarah tubuh dan kemalangan merampok bahagia hampir tanpa ada sisa di ingatan?

Pertanyaan yang selalu menggenang di muak hatiku setiap melihat wajahnya yang menyamarkan kepiluan. Kepiluan yang ia samarkan lewat keriput yang terus serakah melukis gurat di wajah menghitamnya. Juga terlatih ia samarkan pada bungkuk tulang yang terus menginjak tegak dayanya menantang terik.

Satu-satunya yang membuat salut, di mataku, adalah tegarnya yang terus menolak menyerah. Tapi aku enggan mengakuinya.

“Walau hanya memungut sampah, jangan pernah berbohong dan mencuri!”

Tegasnya suatu ketika.

“Pemulung hanya jalan lain manusia untuk menghadapi hidup sementara. Jangan menggadaikan harga diri karena perut laparmu.”

Tambahnya lagi.

Sejujurnya aku sudah tak sudi menjadi saksi hidupnya.

Setiap pagi ketika ia sudah bersiap dengan baju kucel, sarat noda hitam, bau, juga topi capingnya, aku pasti memalingkan muka. Ketika ia pulang menjelang malam, aku akan pura-pura tak mendengar salamnya sebelum masuk. Aku tak suka.

Tak pernah aku bersetuju pada ketegaran yang dibenar-benarkan semulia itu. Bagiku pemulung hanya mulia di kitab-kitab suci. Tidak  ada kemulian dunia untuk pemungut sampah. Pemulung tidak lebih dari manusia terbuang bersama sisa-sisa dan busuk. Apa bedanya dengan anjing dan kucing?

“Terus kalau tak jadi pemulung, aku mesti kerja apa?”

Pernah dengan lembut ia menegur kemuakanku yang mencapai histeris. Pada lima tahun lalu, saat dimana sejarah rasa muak ini dimulai. Aku baru saja ditandu pulang dengan tubuh sekaku mayat salah sasaran. Hanya sorot mata yang menandakan aku masih berjiwa. Aku buruh harian yang baru ditimpa mesin dari lantai tiga.

Sejak itu, ketakberdayaanku berbuah umpat caci setiap pagi. Sumpah serapah kepada nasib setiap malam menyulam gigil. Sejak ia memutuskan menanggung semua tanggung jawabku. Keputusan yang membawa umpat caci dan serapah nasib menjadi kemuakan tiada putusnya. Tanda harga diriku yang terus hancur tak berdaya.

Apa ia akan mengenang aku, suaminya yang celaka?

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun