Pernah dengan lembut ia menegur kemuakanku yang mencapai histeris. Pada lima tahun lalu, saat dimana sejarah rasa muak ini dimulai. Aku baru saja ditandu pulang dengan tubuh sekaku mayat salah sasaran. Hanya sorot mata yang menandakan aku masih berjiwa. Aku buruh harian yang baru ditimpa mesin dari lantai tiga.
Sejak itu, ketakberdayaanku berbuah umpat caci setiap pagi. Sumpah serapah kepada nasib setiap malam menyulam gigil. Sejak ia memutuskan menanggung semua tanggung jawabku. Keputusan yang membawa umpat caci dan serapah nasib menjadi kemuakan tiada putusnya. Tanda harga diriku yang terus hancur tak berdaya.
Apa ia akan mengenang aku, suaminya yang celaka?
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H